Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kala Membikin Sekolah karena Ingin Mengeruk Uang

3 April 2020   06:44 Diperbarui: 3 April 2020   07:12 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, kompas.com

Saya selalu berpikir, sekolah (formal) hendaknya dibatasi saja. Dibatasi sesuai dengan rata-rata jumlah siswa di satu tempat. 

Sebab, ketika sekolah tak dibatasi kemungkinan yang terjadi adalah pertarungan dagang  antarsekolah lebih mengemuka daripada niat tulus untuk mentransfer ilmu dan akhlak.

Tak dapat dipungkiri, bahwa zaman sekarang adalah zaman tentang pertarungan mencari uang. Saking akutnya, maka ucapan Voltaire kadang memang benar adanya. 

Filsuf Prancis di masa pencerahan itu pernah bilang, "apabila kita bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya". Sepenangkapan saya adalah bahwa ketika sudah berbicara uang, maka siapapun akan menempatkan uang sebagai kepentingan utamanya.

Zaman seperti ini membuat semua aspek berpotensi hanya mencari uang, tak terkecuali pendidikan. Niat awal dan utama orang membangun sekolah adalah ingin ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Apa benar begitu? Saya tentu tak tahu. Tapi jika semakin lama sekolah hanya untuk mencari profit berlebih, tentu dasar awal membangun sekolah bisa kembali dipertanyakan.

Karena yang dipikir sekolah "dagang" itu adalah bagaimana membangun sekolah kelas atas, dengan biaya selangit. Membangun sekolah dengan menarik uang dari siswa dengan bermacam cara. 

Kalau perlu atas nama ilmu, anak TK study tournya ke puncak Himalaya! Waduh... mahal sekali ya? Kalau sudah seperti itu, kesan yang tertangkap adalah bahwa pendidikan formal memang tujuan utamanya mencari untung, khususnya keuntungan dicari dari duit para siswanya.

Jika gambaran pendidikan seperti itu, maka akan banyak kesimpulan yang dibuat. Pertama akhirnya tiap sekolah menempatkan diri sebagai merek dagang dan pedagang yang saling bersaing. Bagaimana agar bisa mendapatkan anak didik sebanyak-banyaknya. 

Maka, jauh sebelum masa penerimaan siswa baru dibuka, setiap elemen sekolah gencar memburu siswa. Saling sikut pun bisa terjadi. Sekolah A menjelekkan sekolah B dan sebaliknya. Pokoknya, bagaimana agar siswa yang didapatkan sangat banyak.

Kedua, pertarungan itu akan memunculkan sekolah kaya dan sekolah miskin. Sekolah kaya, karena banyak siswanya maka banyak penghasilannya. Karena banyak penghasilannya bisa membangun beberapa gedung baru. Tak peduli jika gedung barunya itu awalnya adalah area hijau atau area sawah yang tak boleh dibuat bangunan.

Guru-guru dari sekolah kaya akan sangat sejahtera secara finansial. Bisa jadi karena saking sejahteranya, mengajarnya begitu-begitu saja. Tak ada upaya untuk menaikkan kualitas. Kenapa begitu? Mungkin beliau menjadi guru karena satu-satunya alasan adalah ingin mendapatkan gaji. Ketika gaji sudah menyamankan ya sudahlah, mengajar sebiasanya.

Namun, di sisi lain ada sekolah miskin. Sekolah miskin adalah sekolah yang minim bangunan dan minim murid. Dalam satu tahum ajaran paling hanya ada 6 sampai 10 murid. Guru-gurunya juga cenderung tak sejahtera. Karena tak sejahtera maka jangan salahkan ketika ada guru yang double job. 

Akhirnya pendidikan murid dinomorduakan. Nah coba bayangkan jika guru yang sangat sejahtera dan guru yang kurang sejahtera memiliki tabiat sama. 

Yang sejahtera makin asal-asalan ngajar karena sejahtera dan yang tak sejahtera lebih memikirkan pekerjaan lainnya daripada pendidikan muridnya. Kedua pihak itu sama-sama mengesampingkan proses pendidikan. Maka, hancur kan jadinya.

Ketiga, karena persaingan institusi pendidikan yang tak terkendali itu, akhirnya ada sekolah yang tutup karena kekurangan murid dan bangunan yang tua tak terurus. Karena sekolah yang merana ini tutup, maka murid dari kelas ekonomi bawah mau sekolah di mana? Kan repot jadinya.

Semua itu bisa terjadi ketika sekolah didirikan dengan niat utama mencarin keuntungan. Jika dikatakan bahwa niat membangun sekolah untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, maka itu hanya manis di bibir saja karena faktanya mereka lebih serius untuk memperkaya diri dan secara tak sadar membunuh yang lainnya. 

Tak masalah sebenarnya jika elemen di sekolah untuk mencari keuntungan, tapi bukan menjadi hal utama dan mengesampingkan nilai pendidikan. 

Mencari keuntungan sewajarnya saja karena menurut saya salah satu nilai pendidikan adalah untuk tidak serakah. Orang semakin berilmu wajarnya semakin sadar bahwa ada orang lain yang harus dibantu, bukan dibinasakan.

Maka, saya kembali ke tulisan awal. Jumlah sekolah dibatasi per wilayah sesuai dengan rata-rata anak usia sekolah. Sekolah juga dilarang mengeksploitasi kekayaannya untuk menambah jumlah murid atau kelas. 

Misalnya begini, karena sebuah sekolah kaya, maka membuat kelas 1 SD sampai empat kelas. Ini jelas akan mematikan sekolah lain. Maka dibatasi saja bahwa setiap sekolah maksimal hanya menerima siswa baru 2 kelas.

Aturan-aturan pada sekolah itu penting agar tak ada pembunuhan sekolah atas nama kualitas. Saya juga berpendapat, jika memang ingin mengeruk keuntungan tanpa batas jangan melalui jalur pendidikan. 

Masih banyak sektor lain yang bisa jadi ajang mengeruk untung, seperti sektor industri dan perdagangan. Aneh ketika ada pihak mengeruk keuntungan finansial sejadi-jadinya atas nama mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa atau memperbudak pendidikan? (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun