Mereka menyampaikan bahasa alamnya dan suara komunitasnya. Para pemangku kelisanan tidak membangun konsep, kategori dan analitis objektif yang rumit sebagaimana para kaum melek huruf melakukannya. Kalau komunitas Sedulur Sikep-Samin menyatakan bahwa pabrik semen Kendeng membuat mereka kehilangan air untuk kehidupan mereka, maka itu bukan konsep dan hasil analitis yang ribet. Ide itu adalah realitas yang mereka lihat.
Demikian halnya Amma Toa di Tanah Toa Kajang ketika memerikan tentang Patuntung. Alih-alih Ia menjelaskan seperti kaum melek huruf yang biasa menguraikannya sebagai konsep keyakinan, Amma justru mengatakan bahwa patuntung itu "membenturkan kepala". Amma Toa menyatakan itu, karena demikianlah realitasnya di Tanah Toa; ketika orang membenturkan kepala disebut dengan patuntungi.
Penelitian Romanovich Luvia memperjelas hal ini. Penelitian yang dilakukan di Ubzek dan Kirghizia terhadap orang tuna aksara menunjukkan bahwa pemangku kelisanan sangat susah untuk mendefinisikan secara abstrak-konseptual objek-objek yang ditanyakan kepadanya. Mereka justru memandang aneh, misalnya, pertanyaan yang meminta mendefinisikan apa itu pohon. Mereka hanya menyatakan "pohon itu ya... seperti yang kau lihat sekarang ini". Bagi mereka, melihat pohon itu secara nyata, jauh lebih gamblang memberikan gambaran tentang pohon itu sendiri dari pada membuat definisi tentangnya (J. Ong, 2013).
Cara berpikir para pemangku kelisanan yang demikian ini membuat banyak antropolog menganggap mereka sebagai primitif dengan cara berpikir prelogic (Bruhl, 1923). Mereka dianggap sebagai kelompok The savage mind (berpikir liar). Di Indonesia, ungkapan-ungkapan demikian itulah yang menyertai proses gerakan anti buta huruf yang dicanangkan oleh pemerintah Orde baru dulu.Â
Bahkan lebih dari itu, gerakan melek huruf pemerintah orde baru, berbarengan pula dengan penghancuran segenap tradisi yang berbasis kelisanan. Upacara-upacara pertanian yang dulu berlangsung marak oleh para pemangku kelisanan ini, diremukkan oleh revolusi hijau pemerintahan orde baru. Kebudayaan dan pola berpikir khas lisan digeser bahkan dijungkalkan dengan berbagai kebijakan oleh pemerintah.
Hamparan persoalan pun satu persatu menghampiri komunitas-komunitas lisan ini. Tanah-tanah adat mereka yang hanya ditandai dengan tanda-tanda alam, misalnya pepohonan atau sungai tidak diakui negara. Negara hanya mengesahkan tanah-tanah yang telah disahkan dengan logika keaksaraan.Â
Misalnya tanah yang telah jelas konsep batas-batasnya, dibuktikan dengan sertifikat. Di luar itu kebanyakan diambil alih oleh korporasi atau negara. Gerakan keaksaraan yang didentumkan oleh pemerintah orde baru saat itu betul-betul menjadi lonceng kematian bagi kelisanan dan kehidupan yang ada di dalamnya.
Jelaslah, dengan demikian, lenyapnya kelisanan bukan hanya sekedar sirnanya kebiasaan mentransmisi pengetahuan lewat lisan, namun juga pupusnya segenap cara dan pola berpikir secara lisan. Lebih jauh lagi, adalah remuknya kebudayaan para pemangkunya dan hilangnya akses mereka terhadap tanah dan hutan.Â
Dapatkah digalakkan gerakan sastra lisan (oral literacy) yang tidak hanya menginventarisasi tradisi lisan yang berkembang di masyarakat tapi juga mengakomodasi gaya, logika dan budaya lisan itu ke dalam tulisan. Bisakah pula muncul pengakuan terhadap logika-logika kelisanan sebagai cara berpikir yang benar untuk menentukan hidup masyarakat pemangkunya? Dengan itu kita berharap bahwa gerakan literasi bukanlah upaya untuk melenyapkan kelisanan, tapi justru untuk menguatkannya. Keduanya, seperti dikatakan oleh Ong, berjumpa dalam hubungan yang saling mendukung dan bukannya saling mereduksi. Â Â
(Tulisan ini pernah dimuat di Kala literasi, dengan nama pena saya Ijhal Thamaona)Â