Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menguatkan Pendidikan Karakter dan Memajukan Budaya Literasi

30 April 2018   16:37 Diperbarui: 1 Mei 2018   03:51 7407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: countrydetail.com

Kita ingin anak-anak Indonesia menumbuhkan kedua bagian karakter ini secara seimbang. Kita tak ingin anak-anak Indonesia menjadi anak yang jujur tapi malas, atau rajin tapi culas. Keseimbangan karakter baik ini akan menjadi pemandunya dalam menghadapi lingkungan perubahan yang begitu cepat.

PPK sudah diterapkan di sekolah baik dalam kegiatan pembiasaan, kegiatan pembelajaran (intrakurikuler), maupun kegiatan ekstrakurikuler. Hal ini sebenarnya bukan hal yang baru, karena sebelum digulirkannya PPK pun, sekolah-sekolah sudah banyak yang menerapkan hal tersebut, hanya istilah dan fokusnya saja yang berbeda. PPK saat ini fokus pada 5 (lima) nilai, yaitu, (1) religius, (2) nasionalis, (3) integritas, (4) mandiri, dan (5) gotong royong.

Masing-masing nilai tersebut memiliki sub-sub nilai. Nilai religius memiliki subnilai; cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antarpemeluk agama dan kepercayaan, antibully dan kekerasan, persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, mencintai lingkungan, melindungi yang kecil dan tersisih.

Nilai nasionalis memiliki subnilai; mengapresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul, berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, disiplin, menghormati keberagaman budaya, suku, dan agama. Nilai integritas memiliki subnilai; kejujuran, cinta pada kebenaran, setia, komitmen moral, antikorupsi, keadilan, tanggung jawab, keteladanan, dan menghargai martabat individu (terutama pengandang disabilitas).

Nilai mandiri memiliki subnilai; etos kerja (kerja keras), tangguh, tahan banting, daya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Nilai gotong royong memiliki subnilai; menghargai, kerja sama, inklusif, komitmen atas keputusan bersama, musyawarah mufakat, tolong-menolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, antikekerasan, dan sikap kerelawanan. (Komalasari dan Saripudin, 2017 : 9-10).

Tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan semakin kompleks seiring dengan perkembangan IPTEK dan globalisasi, serta HAM, tentunya upaya yang dilakukan oleh sekolah harus semakin sungguh-sungguh. Tantangan lain dalam implementasi PPK adalah kurangnya keteladanan baik dari pemimpin, tokoh politik, pendidik, masyarakat, termasuk orang tua, sehingga PPK kurang berjalan dengan optimal. Oleh karena itu, perlu kepedulian semua pihak dalam implementasinya. Bukan hanya mengandalkan sekolah.

Untuk mempertegas implementasi PPK, maka presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Saat ini dikenal PPK berbasis keluarga, PPK berbasis kelas, PPK berbasis sekolah, dan PPK berbasis masyarakat. Apapun istilahnya, itu hanya semacam pembagian peran saja dalam PPK. PPK dilakukan mulai dari lingkungan yang paling kecil (keluarga), lembaga pendidikan formal (kelas/sekolah), dan lingkungan masyarakat secara umum.

Kaitannya dengan budaya literasi, sejak tahun 2015 Kemdikbud telah meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai bagian kegiatan Penumbuhan Budi Pekerti. Dasar hukumnya adalah Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Pembiasaan membaca buku non teks dilakukan selama 15 menit dilakukan sebelum pembelajaran dimulai. Tujuannya untuk meningkatkan minat baca siswa. Setelah minat baca, diharapkan daya bacanya pun meningkat.

Berdasarkan pengamatan saya di beberapa sekolah di Jawa Barat dan diskusi dengan sesama pegiat literasi, pelaksanaan GLS di sekolah saat ini ada yang sudah berusaha untuk konsisten, tapi ada juga yang mulai redup seiring dengan "kelelahan" guru penggeraknya. Ditambah pelaksanaan GLS dihadapkan pada kendala baik kendala sarana dan prasarana maupun komitmen atau dukungan baik dari pemerintah daerah, kepala sekolah, dan guru-gurunya. Selain itu, diakui atau tidak, GLS masih banyak dilaksanakan secara seremonial, formalistik, serta berparadigma "proyek", sehingga ketika berbagai kegiatan pelatihan GLS selesai dilaksanakan, maka selesai pula gema GLS.

Implementasi GLS dihadapkan pada beberapa tantangan, baik kaitannya dengan komitmen, kondisi SDM, dan kondisi sarana dan prasarana. Selain itu, juga godaan gawai dan TV yang banyak menghadirkan hiburan yang lebih menggoda untuk dimainkan atau ditonton daripada membaca buku. 

Komisioner Bidang Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Agatha Lily menyampaikan bahwa waktu yang dihabiskan anak-anak menonton TV lebih lama dari waktu belajarnya. Jumlah jam anak menonton, naik dari 35 sampai 46 jam dalam seminggu, bahkan kalau dikalkulasikan sampai 1.600 jam setahunnya. Ini kalau dibandingkan dengan jam belajar dia disekolah hanya 800 jam," kata Agatha Lily, di Kantor KPAI Jakarta Pusat, Jumat (Republika, 26/9/2014).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun