Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendidik dan Filosofi Bercocok Tanam

2 Februari 2018   14:22 Diperbarui: 2 Februari 2018   15:56 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Thinkstockphotos.com)

Mendidik anak atau siswa tak ubahnya menanam. Kalau ingin hasilnya baik, maka perlu dipersiapkan dan diurus dengan sebaik-baiknya. Jika bertaninya asal-asalan, maka hasilnya pun tentu tidak baik. Bahkan tanamannya bisa mati. Seorang petani akan memperhatikan musim tanam. Kapan musim hujan dan kapan musim kemarau. Memilah dan memilih mana tanaman yang cocok ditanam di musim hujan dan mana tanaman yang cocok ditanam di musim kemarau.

Dia pun mempersiapkan bibit unggul. Menyemainya dan menanamnya pada saat yang tepat dengan cara yang tepat pula. Setelah ditanam, maka tanaman dipelihara dengan telaten. Disiram dengan teratur pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Diberikan pupuk agar tidak terkena hama, lalu rumput-rumput liar pun dibersihkan agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. 

Sang petani dengan sabar menunggu tanamannya tumbuh dengan baik hingga siap untuk dipanen. Sungguh luar biasa perjuangan seorang petani hingga dapat memanen hasil yang baik.

Filosofi bertani dapat kita contoh dalam mendidik anak. Semuanya harus dipersiapkan dan sabar dengan proses yang dilalui hingga berhasil. Perkawinan merupakan pintu gerbang atau  tahap persiapan dalam mendidik anak, karena salah satu tujuan perkawinan adalah mendapatkan keturunan.

Agama Islam memberikan tuntunan ketika pasangan suami istri akan melakukan hubungan badan. Ketika janin tumbuh di rahim istri, maka proses pendidikan (calon) anak pun dimulai. Kedua orang tua banyak berdoa, sang calon ibu memakan cukup nutrisi yang bergizi untuk nanti juga sebagai nutrisi bagi sang jabang bayi, menjaga kesehatan fisik dan mental. Dan calon ayah pun memberikan nafkah dari rezeki yang halal.

Sambil menunggu kelahiran bayi, calon ayah dan ibu mendoakan sang janin yang ada dalam kandungan ibu agar sehat, diberikan garis kehidupan yang baik oleh Allah, dilancarkan saat melahirkan, dan menjadi anak yang saleh atau salehah. Pada saat lahir, kehadiran sang bayi disambut gembira oleh orang tuanya. Handai taulan, sanak saudara, dan sahabat pun memberikan selamat dan mendoakannya.

Bayi lalu diurus dengan senang hati. Dijaga dengan hati-hati, ibarat endog beubereumna,supaya tetap sehat, dan tidak terkena penyakit. Bayi disimpan di tempat aman, jauh ditutup dengan kelambu agar tidak digigit nyamuk. Bahkan pada masyarakat Islam tradisional, di dekat bayi juga disimpan kita suci Alquran, panglai, dan bawang putih untuk melindungi bayi dari gangguan jin.

Sang bayi pun semakin besar dan menjelma menjadi anak-anak yang lucu hingga suatu waktu dimasukkan ke lembaga pendidikan formal atau sekolah, dan tentunya telah mendapatkan didikan dari kedua orang tua. Pada saat anak belajar di sekolah, maka tanggung jawab diserahkan kepada guru. seorang guru disamping menjadi seorang pengajar dan pendidik juga berperan sebagai "orang tua" siswa di sekolah. Para siswa dibimbing dengan telaten.

Guru berharap dan berdoa agar murid-muridnya berhasil. Walau kadang tantangan selalu saja ada, baik datang dari diri siswanya itu sendiri seperti rasa malas, kenakalan yang sudah mulai muncul, atau pengaruh pergaulan. Ibaratnya, walau tanaman sudah dijaga, dirawat, diberikan pupuk, dan disemprot anti hama, selalu saja ada gangguan atau hama yang datang. Kalau tidak diantisipasi, maka tanaman bisa berpenyakit, bahkan bisa mati.

Begitu pun dengan siswa, ketika tantangan dalam mendidik muncul, maka disitulah diperlukan kesabaran guru. Guru perlu melakukan pendekatan kepada siswa yang menghadapi kesulitan belajar atau termasuk kategori nakal. Mengadakan dialog dari hati ke hati. Walaupun hal tersebut memang tidak mudah, karena beragamnya karakteristik siswa. 

Ada yang terbuka, dan ada yang tertutup. Di sinilah guru kelas atau guru mata pelajaran perlu bekerjasama dengan guru BK, karena guru BK memiliki kemampuan untuk melakukan pendekatan yang mungkin lebih efektif. Guru pun perlu melakukan komunikasi dengan orang tua untuk membicarakan masalah yang dihadapi oleh anaknya agar ada kesepahaman dan kerjasama antara kedua belah pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun