Mohon tunggu...
Hidayah Sunar
Hidayah Sunar Mohon Tunggu... -

pembaca apa saja, pengamat fenomena sosial, pejalan pelit

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Masihkah Indonesia Negara Agraris?

4 Desember 2018   07:58 Diperbarui: 4 Desember 2018   10:32 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak-anak Indonesia sejak dini didongengi bahwa negaranya adalah negara agraris. Negara hijau di mana tongkat kayu dan batu bisa menjadi tanaman. Tapi benarkah demikian? Kita memang masih menemui lahan hijau di mana-mana. Perkebunan menjadi pemandangan yang familiar di berbagai daerah. Atau setidaknya itu yang dapat kita lihat dari foto dan video yang ditampilkan berbagai media. Namun mengapa di sana-sini kita temui juga masalah-masalah klasik yang tak silih berganti muncul setiap tahunnya?

Satu waktu suatu komoditas pertanian dikeluhkan kelangkaannya, lalu dibahas-bahas kenaikan harganya, orang pusing dengan solusinya, kemudian diperdebatkan ketika ada pihak yang mengimpornya. Konsumen menjerit. Pada musim lain, sekonyong-konyong komoditas yang sama membanjir di pasaran, harga merosot tajam, hasil panen dibuang-buang tanpa ada yang menginginkan.  Saat itu giliran para petani menjerit. Bagaimana hal seperti ini terjadi?

Kita dihibur dengan berita mengenai surplusnya neraca perdagangan komoditas pertanian dari waktu ke waktu. Jika neracanya surplus, seharusnya persediaan komoditas pertanian terjaga sehingga tidak ada kelangkaan dan tidak perlu dilakukan impor bukan? Tunggu dulu. Mari kita lihat bagaimana angka yang menunjukkan surplusnya neraca itu diperoleh.

Contohnya dapat kita cermati pada Neraca Perdagangan Pertanian Menurut Sub Sektor Periode Tahun 2010-2013 berikut ini. Berdasarkan data tersebut, jika kita melihat perhitungan akhirnya, neraca perdagangan pertanian surplus dengan volume surplus 46 juta ton dan nilai USD 79 juta. Tetapi ketika kita lihat pada masing-masing sub sektor, akan kita temukan di mana letak permasalahannya. Data tersebut menunjukkan bahwa subsektor pertanian yang mengalami surplus sebenarnya adalah subsektor perkebunan saja. Subsektor perkebunan meliputi tanaman yang dapat dikategorikan sebagai tanaman industri. Sementara subsektor yang menjadi penopang ketahanan pangan masyarakat yaitu subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan justru mengalami defisit (dalam tabel ditulis dengan angka di dalam kurung yang berarti minus).

bps2014
bps2014


Defisitnya neraca perdagangan untuk subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan ini menunjukkan bahwa nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor untuk subsektor-subsektor tersebut. Impor dilakukan karena produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan.  Kebutuhan pangan adalah kebutuhan mendasar masyarakat yang tidak dapat ditekan begitu saja, sehingga ketika angka produksi terbatas, impor adalah pilihan yang harus dilakukan. Namun jika hal ini dibiarkan, maka lingkaran permasalahan yang sama akan terus terjadi.

Subsektor perkebunan dengan nilai surplusnya yang besar tidak bisa disalahkan atas kesalahan kesan yang diperoleh dari data neraca perdagangan pertanian. Yang perlu diperbaiki adalah kondisi neraca subsektor yang lain sehingga nantinya neraca perdagangan setiap subsektor benar-benar surplus. Angka kebutuhan pangan akan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk, sehingga kapasitas produksi tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan harus terus ditingkatkan. Apakah upaya peningkatan kapasitas produksi sudah dilakukan?

Salah satu faktor yang menentukan kapasitas produksi pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan dan hortikultura, adalah luas lahan.  Berdasarkan Statistik Lahan Pertanian 2012-2016 dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian (2017), luas lahan pertanian memang relatif stabil. Namun lahan sementara yang tidak diusahakan terus berkurang dari tahun ke tahun. Dan pengurangan itu tidak sebanding dengan penambahan lahan pertanian. Patut diduga, lahan yang tadinya tidak digunakan dan sebenarnya berpotensi menambah jumlah lahan pertanian itu justru dialihfungsikan untuk kegunaan lain seperti pemukiman, industri, atau pariwisata.  

dok bps
dok bps

Tidak meningkatnya lahan pertanian berujung pada tidak meningkatnya kapasitas produksi. Dan dengan semakin meningkatnya kebutuhan pangan, defisit dalam neraca perdagangan akan terus berlanjut. Diperlukan upaya-upaya agar lahan pertanian dapat terjaga bahkan meningkat luasnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun