Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengukur Kemenangan Sebuah Debat (Pemilu)

23 Januari 2017   19:55 Diperbarui: 23 Januari 2017   20:09 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masih menarik bagi saya untuk membahas bagaimana debat pilkada kemarin di putaran pertama. Sesungguhnya bagaimana debat akan berlangsung sudah bisa ditebak sejak awal. Ya, memang tidak ada kejutan. Masing masing memperlihatkan latar belakangnya. Paslon I lebih sebagai 'pelajar' yang sedang menjajaki peruntungan di bidang politik (dan sedikit birokrat yang juga mulai berpolitik), paslon II adalah birokrat, dan paslon III adalah dosen. Masing masing sudah punya pendukungnya. Lalu menariknya, justru calon nomor I yang mengklaim sebagai pemenang debat. Hemh.... perlu dihargai. hanya saja, saya belum tahu bagaimana calon ini mengukur kemenangan debatnya.

"Saya sangat yakin saya unggul dalam debat tersebut," ujar Agus di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (14/1/2017)

Persis pernyataan inilah yang membuat saya kemudian bertanya tanya, bagaimana ukuran sebuah perdebatan bisa dikatakan menang. Dari segi latar belakang pendidikan, jelas juga akan terjadi cara melihat kemenangan sebuah debat. AHY adalah lulusan Harvard University dengan IPK 4,0 pada masa pak SBY berkuasa, Ahok adalah lulusan dari Trisakti, lulusan lokal saja, dan secara akademis meskipun Anies tidak mengenyam pendidikan di Harvard University dengan IPK 4, tapi beliau pernah menjadi rektor dan bahkan menteri pendidikan selama beberapa saat.

Saya menganalogikan debat ini seperti pertandingan lari. Yang satu adalah juara kelas, yang satunya juara renang, dan yang satunya pelari. Mereka disuruh berlari. Bisakah ditebak siapa yang menang? Nah, menariknya... yang bisa mengklaim debat unggul kemarin adalah sang mayor lulusan harvard... ibarat ketiga pelari kemarin pemenangnya atau yang mengklaim menang adalah sang juara kelas. Bukan yang terbiasa lari.

Kalau kita perhatikan, bagaimana sebuah debat bisa hidup ya harus dengan latar belakang yang kurang lebih sama. Misalnya, pengacara berdebat dengan jaksa... wuissss... pasti seru.... atau politikus dengan politikus.... seru juga..... atau mantan presiden dengan mantan presiden lainnya... seru juga. Jangan, presiden dengan mantannya... repot. Ibarat silat itu jurus jurusnya seimbang. Nah, dalam debat kemarin jurus jurusnya ga seimbang... sehingga mau tidak mau harus sering keluar ring. Bahasanya pak Anies sih, "bagus... tapi ga nyambung...."

Saya cari cari referensi  apa ukuran sebuah debat bisa dikatakan menang, kok saya tidak nemu yak.... ya akhirnya hanya dengan asar pengalaman saja.... hehehe.... jadi jujur saja saya tidak mendapatkan referensi yang akurat.... sejauh saya mempelajari logika, para filsuf berusaha menjelaskan bagaimana sebuah argumentasi bisa diterima dan dipertanggungjawabkan. Paling tidak argumentasi itu harus logis, sistematis, runtut, rasional dan yang jelas tidak bisa dipertanyakan lagi. 

Maksudnya bisa dipertanggungjawabkan adalah bisa diterima semua pihak secara objektif dari berbagai macam sudut pandang. Dalam sejarah awal tentang debat ini, dulu ada kalangan sophis yang dikritik oleh kaum philosophia dan kemudian dalam dunia filsafat, terjadi perdebatan antara para ilmuwan Yunani kuno tersebut. Kaum sophis adalah mereka yang merasa sudah bijaksana, sudah tahu segalagalanya sedangkan kaum philosohia adalah orang orang yang merasa belum bijaksana yang hanya mencintai kebijaksanaan. Sejarah kemudian mencatat bahwa kaum philosophia inilah yang memegang sejarah keilmuan berikutnya sejak jaman Socrates, Plato, dan Aristoteles. Tapi, dasar perdebatan mereka adalah logika.

Pada saat saya sekolah menengah, ada sebuah kegiatan yang disebut dengan sidang akademi. Saya pikir sekolah sekolah berasrama hampir semuanya menyelenggarakan kegiatan semacam pelatihan untuk public speaking ini. Kadang kadang, sidang akademi dibuat dengan mengundang dari sekolah berasrama yang lain. Public speakingnya bisa memiliki beberapa bentuk, seperti debat, presentasi, diskusi panel, dll. Yang paling panas memang debat. Karena dalam debat, selalu mengejar sampai ke sumber sumber yang digunakan. Misalnya saja, dasar argumentasinya apa. Buku apa yang diacu. Siapa yang menjadi acuan. Seberapa akurat dia bisa dipercaya. Mana yang lebih kompeten dibandingkan dengan tokoh lain. Kenapa tidak menggunakan argumentasi dari tokoh lainnya. Karena umumnya materi materi debat adalah bidang bidang sosial, maka sering tema temanya debateable.

Misalnya saja, kalau tentang politik.... ada yang mengacu pada Thomas Hobbes... sampai pada pertanyaan siapa itu Thomas Hobbes, bagaimana latar belakangnya, bagaimana dia membangun teorinya, mengapa bukan teorinya Machiaveli saja yang digunakan sebagai acuan, dll. Jadi orang orang yang bertanggung jawab dalam debat, atau penampil dan pendebat harus siap dengan sumber sumber akurat, datanya jelas dan terbaca serta terukur. Bagaimana menilainya? Siapa yang akan menang? Sepertinya memang tidak ada garis yang pasti untuk bisa menentukan bagaimana mengukur kemenangannya. Namun yang jelas, kami semua tahu... siapa siapa yang siap dengan materi, yang menguasai bahan, dan tahu arus pemikirannya.

Dalam hal ini, akhirnya teman teman yang hanya menghafalkan seperti layaknya ensiklopedia belum dipastikan bisa menang. Bahkan, sering sering malah bingung sendiri dengan pengetahuannya karena ensiklopedia cenderung hanya mendiskripsikan pikiran pikiran pokok. Diperlukan alur berfikir yang logis dan juga sistematis di sana.

Maka, dalam sebuah debat selain diperlukan sebuah hafalan pengetahuan ensiklopedis, juga dibutuhkan kemampuan untuk berlogika juga untuk mengkonkretkan argumentasinya. Bagaimanapun, pengetahuan bersifat kebahasaan. Begitu kata seorang pemikir sosial bernama Gadamer. Sederhananya, dari bahasa yang tinggi... harus diberikan contoh contoh konkretnya. Sebaliknya, dari realitas konkret harus ditarik rumusannya yang lebih universal alias teorinya. Maka, keduanya dalam hal debat dibutuhkan. Istilahnya, baik itu deduksi ataupun induksi tetap diperlukan dalam sebuah debat. Sehingga teori tidak berhenti sebagai teori di awang awang, tetapi juga praktek bukanlah praktek tanpa ideologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun