Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Covid-19 Menelanjangi Penyakit Kita

22 Maret 2020   11:23 Diperbarui: 22 Maret 2020   11:47 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mewabahnya Corona Covid-19 menjadi keprihatinan tersendiri. Banyak negara mencoba bersatu dan saling bahu membahu menghadapi pandemi ini. Di Indonesia, kasus ini merangsang kita untuk berefleksi secara lebih jernih. Wabah ini, dengan karakteristik yang berbeda dibandingkan beberapa wabah sebelumnya, seakan menelanjangi penyakit kemanusiaan kita yang sesungguhnya. 

Bukan hanya penyakit biologis, jasmaniah, namun lebih berbahaya adalah penyakit kemanusiaan kita. Beberapa hal yang tampak begitu dominan: irrasionalitas, egoisme, dan ketidakadilan berfikir.

Irrasonalitas

irrasionalitas adalah sebuah cara berfikir yang tidak logis. Logikanya lebih logika pembenaran daripada logika kebenaran. ketidakrasionalan itu muncul dalam bentuk ketidakpecayaan terhadap sains atau sebaliknya kemalasan berfikir sehingga mudah percaya pada berbagai informasi yang seolah olah ilmiah padahal tidak. Sebagai masyarakat yang religius, sangat umum untuk lebih mempercayai hal hal yang sifatnya religi dan rohani dibandingkan data dan fakta. 

Dengan demikian, peran pemuka agama sangat dominan di sini, sebaliknya peran ilmuwan menjadi nomor dua. Oleh karena itulah, masyarakat kita sangat bergantung dari apa yang disampaikan oleh tokoh tokoh agama sebaliknya jarang mereferensi kelompok kelompok ilmuwan menanggapi berbagai fenomena. 

Akan sangat membantu sebenarnya kalau tokoh agama juga mau rendah hati untuk mendengarkan apa yang dikatakan para ahli di bidangnya dan tidak membuat pernyataan pernyataan yang masalah justru menimbulkan ketidakrasionalan. Sehingga, tidak melulu berbicara sesuatu yang adikodrati.

Bagaimanapun juga, kasus wabah corona covid-19 ini mengajak kita untuk saatnya mendengarkan dan memperhatikan dunia sains. Hasanudin Abdurakhman, misalnya di kolom detik, mengatakan bahwa dalam menghadapi virus corona, pakailah prinsip prinsip sains. menurutnya, persoalan ini merupakan persoalan sains, perilaku virus ini ada ilmunya. 

Termasuk bagaimana menanggulanginya juga ada ilmunya. Dengan tegas beliau mengatakan, lawan dari sains adalah kepercayaan tanpa nalar dan bukti. Kepercayaan, masih menurut beliau, tidak mengubah perilaku virus.

Sains merupakan alat kebenaran, yang di dalamnya ada pengujian dan evaluasi untuk terus dikembangkan dan menemukan formula penanganannya. Maka, berkaitan dengan hal ini, berfikir ilmiah sangat diperlukan menghadapi kenyataan. Indonesia, memang dalam arti tertentu kelewat santai menanggulangi wabah ini. 

Sebenarnya, berdasarkan kajian WHO dan potensi wabah ini di daerah Indonesia, semestinya kita punya cukup waktu untuk menanggulangi keadaan. Sayang sekali, langkah dan sikap yang diambil malah justru bersifat politis dengan mengatakan kita negara berdaulat yang tidak bisa disetir. 

Atau bahkan, dalam situasi ini ada juga tokoh tokoh politik yang seakan cari panggung dengan tidak menghiraukan rekomendasi ilmuwan yang memang kompeten dan kapabel di bidangnya.

Dalam hal ini, semestinya pihak pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal bekerja sama dengan pihak pihak terkait yang memang di bidang kesehatan, baik secara riset sains, maupun di para medis yang menangani. Sementara, kepada masyarakat yang sering menjadi objek dan sekaligus sering jadi mediator hoaks, biasakan untuk menguji dulu kebenaran informasinya. Gunakanlah prinsip prinsip sains.

Egoisme

Wajar sih kalau manusia itu egois, egosentris, ketika memusatkan segala sesuatunya pada keakuan. Hakikatnya semua orang adalah makhuk yang egois. Karena sikap egois merupakan unsur penting dari insting pelestarian diri. Tanpa insting ini orang ataupun spesies akan lenyap ditelan hukum perubahan semesta. Tapi kalau hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli atas pihak lainnya itu bermasalah. Mengingat orang lain juga memiliki kebutuhan dan kepentingan yang sama dengan kita. 

Termasuk, membutuhkan sesuatu yang sama. Ada pepatah bahwa krisis, situasi krisis apapun, sering kali menunjukkan kepada kita siapa seseorang yang sesungguhnya. Dan kita memang dalam arti tertentu berwajah ganda dalam kemunafikan. Kita dikenal sebagai masyarakat yang saleh, tapi terjebak pada kesalehan formal yang justru kehilangan nilai kesalehan sosialnya. 

Kita melihat situasi masyakat yang dalam arti tertentu susah diatur. Ketika ada situasi darurat untuk di rumah, banyak orang yang justru berjalan jalan untuk sesuatu yang tidak darurat. Ada seruan untuk sementara menghindari keramaian malah menggelar keramaian. Yang semestinya kita bisa berbagi, seperti peralatan yang dibutuhkan selama masa luar biasa wabah corona ini malah rebutan. sudah begitu, prinsip ekonomi berlaku. Banyak kebutuhan  maka harga meningkat. 

Bukan hanya meningkat tajam, ganti harga. Karena ketakutan akan kesulitan di kemudian harinya,  orang orang yang punya uang lalu menimbun kebutuhan. Panik. Kepanikan semacam ini, muncul  dari rasa takut yang terinternalisasi melalui informasi-informasi yang beredar di dunia maya. Ketakutan menjadikan orang-orang melakukan segala cara walaupun dengan merugikan orang lain. Memang menjadi basic instinct manusia untuk survive. Tapi kalau tidak diimbangi dengan nalar yang tepat bisa menjadi salah langkah.

Inilah penyakit kemanusiaan kita yang sesungguhnya. Egois dan munafik yang paradoks dengan nilai nilai keberagamaan kita yang sesungguhnya. Kita tidak mau lockdown, tapi kita juga tidak mau mematuhi anjuran. Kita tidak bisa rendah hati dan patuh pada sesuatu yang kita kepada mereka sudah kita percayakan untuk dibuatkan kebijakan kebijakan publik.

 Meskipun kadang mereka juga menjadi sangat naif, ketika musim kampanye mereka memproduksi kaos besar besaran untuk dibagikan sementara masyarakat sudah punya banyak kaos, dan persis saat masyarakat butuh masker kok tidak ada satu partaipun yang mencoba membuat masker secara massal untuk dibagikan. Bahkan ada juga anggota dewan yang jalan jalan liburan ke luar negeri.

Ketidakadilan Berfikir

Ketidakadilan berfikir merupakan ketidakobjektifan dalam berfikir dan menilai sesuatu. Dalam tingkat global ketidakadilan berfikir ini memunculkan isu rasial. Ada politikus kita bahkan ingin menyematkan kata Wuhan dalam penamaan virus Covid-19. Dengan alasan untuk kejujuran dan pelurusan sejarah. Menjadi sangat naif kalau hal itu dibuat hanya karena ada konotasi ras tertentu saja, dan tidak berlaku untuk jenis jenis virus yang lain. Dipertanyakan, apa urgensinya dengan penyebutan nama itu.

Ketidakadilan berfikir di masyarakat kita juga sangat dipengaruhi oleh perpecahan politik yang diakui atau tidak memainkan dan memanfaatkan isu isu agama. sehingga: sebaik apapun kebijakan yang diambil oleh presiden Jokowi oleh kelompok lawan politik akan dianggap buruk. sebaliknya, sekarang, sebaik apapun langkah yang diambil Anies Baswedan sebagai gurbernur, oleh lawan politiknya akan dianggap buruk. sebaliknya, langkah langkah yang salah oleh pendukungnya tetap dianggap sebagai sebentuk kecerdasan.

Isu wabah corona ini kemudian alih alih menggunakan prinsip prinsip sains, sebaliknya di Indonesia sangat mempertimbangkan kepentingan kepentingan politik. Pasukan horelah kemudian yang lebih banyak bersuara dan di sinilah persis menyulut perpecahan dan menyuburkan ketidakwarasan nasional. Kalau virus tersebut menyerang lawan, maka itu dikatakan sebagai azab. Tapi kalau menyerang orang segolongan, disebut sebagai cobaan, takdir, ujian. 

Tapi

Tidak selalu negatif. Kita bersyukur bahwa di antara yang tidak rasional, yang egois, yang tidak adil dalam berfikir itu, masih saja ada sebagian orang lain yang persis berlaku sebaliknya tanpa bertujuan untuk mencari panggung. Mulai dari tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun yang bukan siapa siapa. Kehendak untuk kemanusiaan, melampaui jaring jaring politis yang semestinya sudah tidak ada lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun