Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik

[Seri: 5] Perencanan Politik Partai Menjelang Pemilu 2014

19 Juli 2013   07:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:20 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam dunia politik praktis, segala kemungkinan bisa terjadi. Tidak ada yang pasti. Bahkan rumus 1+1=2 tidak berlaku. Bukan semata karena dominanya faktor kepentingan terbawa. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Tetapi bukan berarti, manusia politik menjadi fatalis. Menyerahkan begitu saja pada arus gerak sejarah (pantharei). Tetap saja perencanaan menjadi sangat penting untuk menuntun langkah. Masalahnya, model perencanaan seperti apa yang dipergunakan dalam dunia politik.

Satu model perencaan yang diadopsi dari dunia intelejen militer, coba dipergunakan. Apa yang disebut perencanaan berdasarkan skenario (scenario planning). Memasukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jalannya perencanaan. Perencanan model seperti ini sifatnya lebih fleksibel. Perbedaannya dengan strategic planning konvensional, metode ini berupaya untuk “meramalkan” fakta-fakta kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Sedangkan metode strategic planning konvensional memasukan faktor-faktor pengaruh dalam katagori asumsi yang beranjak pada situasi saat ini.Pelbagai fakta-fakta kemungkinan dimasa depan, dibaca dengan menggunakan rumusan trend atau kecendrungan. Dunia militer kita biasanya menggunakan analisis kecendrungan Ipoleksosbudhankam. Tapi, rupanya sebagian besar partai politik Indonesia, abai atas model perencanaan seperti ini.

Sebagai contoh Pilgub Bali yang baru saja dilangsungkan. PDIP sebagai partai pemenang Pemilu, merasa percaya diri untuk mengusung Cagub tanpa memperdulikan koalisi dengan parpol lain. Masalahnya bukan pada perlunya koalisi atau tidak, akan tetapi hinggapnya rasa percaya diri berlebihan atas dasar kemenangan Pemilu di masa lalu. Memandang situasi tak bergerak, statis dan tak berubah. Bukankah pandangan ini nyaris seperti rumus matematika yang sudah pasti. Padahal situasi masyrakat Bali terus berubah baik atas pengaruh global maupun nasional.

Salah satu perubahan yang terjadi adalah orientasi dan gaya hidup. Perubahan ini didasari oleh ledakan pertumbuhan penduduk, migrasi dari luar pulau, keterbatasan lahan pertanian dan alih profesi. Pada gilirannya norma anutan petani tadisional seiring berubah menjadi buruh atau penjual jasa yang begitu pragmatis karena ketatnya kompetisi. Tentu saja perubahan orientasi dan gaya hidup ini akan ikut mempengaruhi preferensi pemilih.

Contoh lain, tentang tokoh panutan yang kerap dipergunakan oleh politisi untuk ikut memobilisasi pilihan massanya. Sebutlah kiai yang dianggap memiliki pengaruh kepada santri-santrinya. Peristiwa kunjungan silaturahmi para politisi ke rumah atau pondok pesantren menemui para kiai, memberi sinyal itu. Tapi, pertanyaannya apakah fakta ini tidak berubah seiring perjalanan waktu. Atau masih samakah pengaruh “politik” kiai atas para santrinya 5 tahun yang lalu dengan situasi tahun depan dimana Pemilu 2014 akan dilangsungkan. Bukankah sudah ada kecendrungan menurunnya pengaruh “politik” kiai karena terlibat dalam Pilpres, Pemilu dan Pilkada sebelumnya. Sementara situasi agak berbalik dengan kecendrungan makin menguatnya pengaruh mandor dan pemilik pabrik-pabrik besar yang memiliki ribuan buruh. Dimana terjadi peristiwa pelarangan para buruh untuk ke TPS pada saat Pilkada di daerahnya.

Lemahnya perencanaan politik partai dapat kita telusuri dari perjalanan Pemilu sejak tahun 1999. Indikasinya, membuat target suara dan kursi pada Pemilu ke depan berpatokan pada hasil Pemilu yang lalu dan mengabaikan kecendrungan perubahan. Peta sosial politik yang dipotret oleh lembaga survei, acapkali diabaikan hanya karena partai politiknya berada pada posisi yang tidak diharapkan. Subjectivisme menular dan menjadi penyakit akut para politisi. Jika hasil survey baik, diterima dengan riang gembira. Tetapi jika sebaliknya, keluar pernyataan lembaga survei tidak netral, pesanan, dan berpihak.

Contoh PDIP menjelang Pemilu 2004. Para petinggi partai merasa percaya diri dengan perolehan 34% suara pada Pemilu 1999. PDIP membuat target perolehan 42% untuk Pemilu 2004. Sisi lain, beberapa lembaga survei memprediksikan suara PDIP akan turun drastis. Penurunan ini berkaitan dengan lemahnya kapasitas anggota DPR dari PDIP yang ditenggarai banyak berprilaku seperti “preman pasar” dan tidak simpatik. Dan juga pengaruh menurunya pamor Megawati sebagai Presiden saat itu.Tetapi, para petinggi PDIP abai atas hasil survei ini. Dan membuat survei internal sendiri. Pun menunjukan hal yang sama. Anehnya, hasil survei yang dilakukan oleh PDIP sendiri ditolak.Lalu apa hasilnya: PDIP memperoleh 19% suara. Benar-benar terjun bebas.

Golkar memenangkan Pemilu 2004 dengan perolehan 22% (turun 1% dari Pemilu 1999). Kejadian berulang seperti PDIP. Meskipun tidak seambisius PDIP, Golkar mematok target perolehan suara 30% pada Pemilu 2009. Hasilnya: Golkar anjlok, hanya mendapat 15% suara atau kehilangan kurang lebih 9 juta suara. Tanda tanda anjloknya suara Golkar sudah dinyatakan oleh pelbagai survei sepanjang tahun 2008 hingga awal 2009. Golkar diprediksi akan memperoleh 11,96% (Puskaptis); 14,16% (Reform Institute); 15,9% (LSI); 13,5% (LSN) dan 12,2% (Soegeng Sarjadi Syndicate). Tak ada satupun survei yang menyatakan Golkar bisa mencapai angka 20%. Seperti PDIP terdahulu, para politisi Golkar menolak dan mengecam hasil survei yang dianggap pesanan dan ingin mengiring publik menjatuhkan citra Golkar. Anjloknya suara Golkar, berkait dengan isyu korupsi yang saat itu banyak menerpa para anggota DPR dari Golkar.

Bagaimana dengan situasi menjelang Pemilu 2014? Kali ini, partai Demokrat sebagai pemenang dengan perolehan 21% suara hasil Pemilu 2009. Agaknya, Demokrat belajar dari pengalaman rival terdahulunya dengan belum menyatakan target perolehan suara untuk Pemilu 2014. Hal yang patut dihargai dari Demokrat mensikapi hasil survei dengan cukup berhati-hati dan tidak reaksioner. Dari pelbagai survei yang sudah dirilis menunjukan suara Demokrat di kisaran antara 4,3%- 10,3%. Berada di bawah PDIP, Golkar, dan Gerindra. Seperti halnya yang menimpa Golkar sebelumnya, hancurnya suara Demokrat berkait dengan isyu korupsi dan menurunya tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintahan SBY khusunya menyangkut penegakan hukum. Situasi ini, justru disikapi oleh Demokrat dengan melakukan restrukturisasi partai, merotasi dan merombak kepengurusan dan membuka rekruitment Capres melalui konvensi.

Hal yang berbeda dengan Golkar dan PDIP, Demokrat –paling tidak menurut ketua harian Syariefudin Hasan—menurunkan target perolehan suara 15%. Bila pada Pemilu 2009, Demokrat memperoleh 21%, pada Pemilu 2014, Demokrat justru menargetkan 15% suara. Waktu satu tahun sebelum memasuki tahun 2014, Demokrat yakin dapat memperbaiki dan konsolidasi internal, akibat terpaan politik dan badai korupsi yang melanda. Rupanya, Demokrat juga menggunakan analisis trend. Diantaranya, kalahnya sejumlah calon kepala daerah yang diusung oleh Demokrat di beberapa Pilkada.

Penggunaan perencanaan model scenario planning mensyaratkan akan kemampuan analisis trend (kecendrungan). Terutama faktor-faktor situasi eksternal atau kondisi obyektif diluar kuasa partai untuk mengubahnya. Ambisi politik penuh optimisme boleh saja hanya jika tidak dibarengi dengan perhitungan yang matang, nekat namanya. Menabrak tembok keras. Ambisi semacam ini, akan menguras sumberdaya yang seharusnya bisa didayagunakan secara efektif dan efisien. Seperti contoh tiga parpol di atas, perencanaan (target suara) Demokrat lebih mendekati realistis. Bayangkan jika ambisi ingin melampaui perolehan suara sebelumnya, angaplah 30% (yang sebelumnya 21%), padahal survei menyatakan sebaliknya. Berapa banyak sumberdaya (orang, waktu dan tenaga) terkuras habis dibandingkan dengan target 15% suara, yang bisa lebih terfokus.

Ada beberapa kecendrungan perubahan-perubahan yang sedang terjadi saat ini, yang bisa dijadikan dasar analisis bagi partai politik untuk menentukan perencanaan politiknya, antara lain: (1) meningkatnya pertumbuhan kelas menengah yang dibarengi tuntutan yang lebih kritis; (2) munculnya gejala deparpolisasi dan apatisme atas wakil rakyat yang akhirnya meningkatnya Golput; (3)maraknya penggunaan teknologi informasi dan media sosial tempat warga bertukar dan mendapat informasi alternatif; (4) eskalasi konflik horizontral yang tensinya tidak setinggi pada lima tahun yang lalu dengan adanya pertikaian poso, ambon dan sparatisme; (5) komoditas pertanian yang meningkat di pasaran akan mempengaruhi pandangan para ibu-ibu akan kebijakan politik selanjutnya; (6) Munculnya fenomena jokowi effect sebagai sosok yang banyak diperbincangkan; (7) menguatnya sentimen aliran agama akibat pengaruh pertikaian di Timur Tengah. Khusus untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota, munculnya daerah pemekaran baru, melahirkan daerah pemilihan (Dapil) baru yang kohesifitas sosial warganya belum teridentifikasi sebelumnya.

TARGET PARPOL

Semua Parpol peserta Pemilu 2014 telah menyatakan (rencana) target yang ingin dicapai dalam Pemilu 2014 akan datang. Pernyataan itu ada yang resmi, ada juga pernyataan dari elit atau pimpinan parpol tingkat DPP. Untuk memudahkan penghitungan dan konversi, saya gunakan standard suara sah Pemilu 2009 yang lalu sebesar 104 juta suara dan 560 kursi di DPR RI tersebar di 77 Daerah Pemilihan seluruh Indonesia.

DEMOKRAT. Secara resmi partai ini belum mengumumkan target suara dan kursi untuk Pemilu 2014. Hanya ada pernyataan dari Ketua Harian DPP Syariefudin Hasan yang menyatakan Demokrat menurunkan target perolehan suara sebesar 15%. Jika dikonversi hasilnya kurang lebih: 15,6 juta suara dan 84 kursi. Dan masuk dalam katagori tiga besar. [Pemilu 2009, Demokrat memperoleh 21,7 juta suara atau 20,8% dan 150 kursi berada pada urutan pertama]

GOLKAR. Keputusan Rapim Golkar memutuskan target 30-35 persen atau 198 kursi atau setara dengan 36 juta suara. Dan berada pada urutan pertama/ pemenang. [Pemilu 2009, Golkar memperoleh 15 juta suara atau 14,5% dan 107 kursi berada pada urutan kedua].

PDIP. Belum ada keputusan resmi. Hanya dalam beberapa pernyataan PDIP memasang target 24%, dengan alasan bisa mengajukan calon Presiden sendiri. Konversi 24% ini setara dengan 25 juta pemilih dan 134 kursi. Dan menempati urutan pertama. [Pemilu 2009, PDIP memperoleh 14,6 juta suara atau 14% dan 95 kursi berada pada urutan ketiga].

PKS. Dinyatakan hanya tembus tiga besar. Artinya bisa urutan pertama, kedua atau ketiga. Berapa target suara dan kursi belum jelas. Hanya ada pernyataan Sekjen PKS Taufik Ridho yang memasang target 120 kursi. Bila dikonversi sama dengan 21% atau 22 juta pemilih dan berada di urutan pertama. [Pemilu 2009, PKS memperoleh 8,2 juta suara atau 7,8% dan 57 kursi berada pada urutan keempat].

PAN. Partai ini optimis mampu meraih 15% suara, dan menembus tiga besar atau memperoleh 88 kursi atau 15,6 juta suara. Alasan ini dikemukakan agar PAN aman untuk mengusul Hatta Rajasa sebagai Capres. [Pemilu 2009, PAN memperoleh 6,2 juta suara atau 6% dan 43 kursi berada pada urutan kelima].

PPP. Target 70 kursi dengan suara 15% atau 15 juta suara. Pada posisi ini akan berada pada urutan kedua atau ketiga. [Pemilu 2009, PPP memperoleh 5,5 juta suara atau 5% dan 38 kursi berada pada urutan keenam].

PKB. Target 100 kursi dan masuk dua besar. Bila dikonversi 100 kursi yang dinyatakan oleh Ketua Muhamaimin Iskandar ini, setara dengan 18% atau 18,7 juta suara. [Pemilu 2009, PKB memperoleh 5,1 juta suara atau 5% dan 27 kursi berada pada urutan ketujuh].

GERINDRA. Belum ada pernyataan resmi, hanya ada satu kalimat, “Gerindra menargetkan minimal 20% suara agar mampu mencalonkan Capres sendiri”. Bila dikonversi 20% suara itu setara dengan 20,8 juta suara dan 112 kursi. [Pemilu 2009, GERINDRA memperoleh 4,6 juta suara atau 4,46% dan 26 kursi berada pada urutan kedelapan].

HANURA. Target Hanura masuk tiga besar dengan target minimal 1 kursi per Dapil atau minimal 77 kursi atau mendapat 13% suara.[Pemilu 2009, HANURA memperoleh 4 juta suara atau 3,7% dan 18 kursi berada pada urutan kesembilan].

PBB. Target PBB bisa mendapat 6,7% suara, dengan prinsip yang penting pada Pemilu 2014, PBB bisa lolos PT. Target 6,7% setara dengan7 juta suara dan 38 kursi. [Pemilu 2009, PBB memperoleh 1,8 juta suara atau 1,8 % dan tidak lolos parliamentary threshold].

PKPI. Pada Pemilu 2014, PKPI memasang target 6,7% atau setara dengan 38 kursi di DPR, dengan 7 juta suara. [Pemilu 2009, PKPI memperoleh 934 ribu suara atau 0,9 % dan tidak lolos parliamentary threshold].

*** diolah dari pelbagai sumber informasi dan pemberitaan online.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun