Mohon tunggu...
Sosbud Pilihan

Svetlana

12 Desember 2018   01:33 Diperbarui: 12 Desember 2018   02:01 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Twitter Svetlana

SVETLANA Alexievich seperti menampar dunia sastra. Para panelis Nobel Sastra di Oslo maupun Stockholm juga seperti mengejek para sastrawan dunia: sedang apa kalian? Haruki Murakami mungkin hatinya muram dan gundah-gulana. Adonis harus lebih bersabar.  Ko Un harus rela menunggu. Laszlo Krasnahorkai bisa menikmati kopi di pinggiran Kota Budapest sambil nonton televisi. Ngugi Wa Thiong'o tak perlu bersedih. Ben Okri bisa tetap tenang dalam puisi-puisinya. Nuruddin Farah juga harus sering berzikir.

Svetlana memang sudah lama jadi perbincangan dunia. Sama halnya nama-nama di atas. Dan jika ditambahkan deretannya lagi masih ada Joyce Carol Oates, Philip Roth,  John Bamville, Jon Fosse,  Mircea Cartarescu, atau Isabell Allende, dan sekian nama lainnya. Lalu, mengapa Svetlana? Apa yang dilakukan Svetlana? Mengapa Nobel Sastra 2015 diberikan kepada "sastrawan" yang  karya-karyanya lebih dekat  --dan memang benar adanya---  jurnalistik?

Apakah Svetlana menulis cerpen? Apakah Svetlana menulis novel, sajak, naskah drama? Tidak. Svetlana menulis laporan jurnalistik. Lalu, bagaimana batasan antara sastra dan jurnalistik disatukan seperti itu? Sastra adalah fiksi, sedangkan jurnalistik berpijak pada fakta dengan segala akurasinya. Jika jurnalisme sastrawi yang menjadi pijakan --sebagaimana John Hersey meraih  Pulitzer Prize lewat "Heroshima"-- tentu tetap dengan dasar yang tak bisa dibantah: fakta. Jurnalisme tak boleh mengarang (fiksi), tetapi sastra bisa berawal dari fakta, meski tetap dianggap sebagai fiksi.

Tetapi, di luar pemahaman sederhana tersebut, pengakuan terhadap Svetlana sudah sejak lama muncul. Ketika Alice Munro mendapatkan Nobel Sastra tahun 2013, juga tahun lalu ketika Patrick Modiano mendapatkan penghargaan ini, nama Svetlana sudah masuk dalam jajaran yang diperhitungkan juri/panelis. 

Bersama Ngugi, Murakami, dan sederet nama tadi, karya-karya Svetlana dianggap bernilai sastra tinggi meski dibuat sebagai karya jurnalistik. "Nilai sastra" inilah yang menjadi salah satu patokan mengapa Svetlana layak dapat penghargaan adiluhung tersebut.

Svetlana dianggap sebagai jurnalis yang menggunakan mata hati dan kemanusiaannya dalam karya-karyanya. Dia telah melintasi nilai-nilai lain hingga ia sampai pada suatu titik, bahwa nilai kemanusiaan berada di atas nilai-nilai lainnya itu. 

Ketika agama hanya menimbulkan pertumpahan darah di sana-sini dengan dogma kebenaran masing-masing yang sangat egois; ketika politik menjadi mesin yang sangat massif untuk membunuh manusia yang lain; ketika logika kebenaran takarannya sumir, maka nilai-nilai kemanusiaan menjadi sebuah standar yang dilihat dari sisi manapun akan sama pijakan nilainya. Terutama ketika itu menjadikan anak-anak dan wanita sebagai objek korban.

Itulah yang dipilih perempuan kelahiran 31 Mei 1948 itu. Meski lahir setelah Perang Dunia II berakhir, namun Svetlana tetap merasakan aura tragedi kemanusiaan yang ditanggung jutaan manusia di berbagai belahan dunia itu. Dia merasakan jejak itu di tanah kelahiranya, Uni Soviet (dia lahir di Ivano-Frankivsk, Ukraina, dari ayah seorang Belarusia dan ibu Ukraina sebelum menetap di Belarusia setelah sang ayah berhenti dari militer selepas Perang Dunia II) yang kemudian dilawannya setelah uni itu pecah menjadi 15 negara merdeka.

Banyak orang akhirnya menafikan perdebatan apakah yang ditulis Svetlana itu bisa disebut karya sastra atau tidak.  Dia menulis kisah-kisah pendek, esai, dan reportase yang semua tentang tragedi kemanusiaan. Dia mengaku banyak dipengaruhi oleh penulis besar Belarusia,  Ales Adamovich -- yang tentu kebesarannya kini berada di bawah Svetlana setelah nobel ini--  yang membangun genre, apa yang disebut sebagai novel kolektif, novel oratorio, novel kesaksian, atau epic chorus.

Genre itulah yang dia pilih dalam menuliskan "laporan jurnalistik"-nya tentang bocornya reaktor  nuklir Chernobyl, Perang Soviet, Perang Afghanistan, dan tragedi kemanusian lainnya pasca hancurnya Soviet pada 25 Desember 1991.  "Tulisan Alexievich  menjadi monumen bagi keberanian dan penderitaan pada masa kini,"  kata pernyataan resmi Komite Nobel.

"Selama 30 atau 40 tahun terakhir, dia telah memetakan individu Soviet pasca-runtuhnya Soviet. Yang dipaparkannya bukan hanya sejarah peristiwa, tetapi juga melibatkan emosi orang-orangnya. Dia menawarkan dunia yang emosional. Dia memahami manusia, dan menuliskannya dengan penuh rasa kemanusiaan," kata Sara Danius, Ketua The Swedish Academy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun