Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Relawan Sekalipun Dibikin Patah Hati oleh Jokowi

25 Oktober 2019   02:48 Diperbarui: 25 Oktober 2019   03:42 2269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sudah mengiringi Jokowi sejak 2011, sejak ia masih wali kota Solo. Banyak orang yang menyangka bahwa dengan sikap tubuh klemer-klemernya, bapak satu ini, yang keturunan Boyolali, akan mudah ditekan. Nyatanya, nyaris tidak ada satu orang pun yang bisa menahan ia kalau sudah firm dalam sebuah keputusan, termasuk dalam urusan menunjuk atau memecat posisi seseorang yang dianggap tidak perform maupun tidak loyal.

"Pak Jokowi itu lebih kejam kalau urusan pecat-memecat lho. Gue ngomel ya ngomel aja. Tapi gue ga tegaan sebenarnya mecat orang. Kalau Pakde mah dia bilang ganti, besok diam-diam aja kursi tuh orang udah hilang," Demikian kira-kira testimoni Ahok mengenai ketegasan Jokowi. 

Dengar-dengar dari beberapa orang dekatnya Pakde, demikian ia biasa dipanggil, memang kalau sudah ambil keputusan, ia sulit dinegosiasi lagi. Bahwa akibat dari keputusannya yang firm tersebut muncul masalah baru, yang penting dikerjakan dulu. 

Contohnya saat ia ditekan dengan hashtag berbulan-bulan dari kelompok yang ngakunya relawan anti pamrih, @partaisocmed dan #99army, untuk segera memecat Budi Karya Sumadi dengan alasan tiket pesawat mahal, ia bergeming. 

Budi Karya malah kemudian melenggang ke periode kedua. Malah pendahulunya yang digadang-gadang sebagai penuh prestasi dan sempat nyinyir soal Stasiun Manggarai, Ignasius Jonan, yang kemudian terlempar dari Kabinet.

Ibarat senjata tajam untuk membunuh, ketenangan Pak Jokowi ini jauh dari tipe senjata machete (parang) yang high profile, namun lebih mirip pisau lipat yang walaupun kecil dan terlihat ramai, ketajaman pisaunya tidak diragukan lagi. Yang melawan atau berusaha mencampuri keputusan yang merupakan hak prerogatif Pakde, pelan-pelan senyap suaranya, tergebuk satu per satu. 

Pun demikian Susi Pudjiastuti, yang kemudian ternyata tidak diberikan kesempatan kedua untuk meneruskan jabatannya. Terus terang saya pun menyayangkan keputusan ini.

Tapi dengar-dengar dari testimoni Dahlan Iskan yang kemudian banyak beredar, Bu Susi memang menciptakan masalah komunikasi yang begitu buruknya, sehingga menyulitkan yang lain bekerjasama untuk mengimbangi Kementerian Kelautan dan Perikanan. 

"Dia dianggap sulit diajak koordinasi oleh Menkonya. Rumornya begitu seru: tidak mau diajak rapat! Bu Susi dikenal sangat berprinsip. Nasionalis. Juga sangat berprestasi. Boleh dikata penangkapan ikan oleh perahu asing tidak ada lagi. Ikan menjadi begitu banyak di laut. Tapi pusat ikan di Bitung menjerit. Tidak dapat ikan. Demikian juga pusat ikan lainnya. Ikan memang menjadi banyak. Tapi untuk apa kalau tidak ditangkap?"

Maka walaupun saya juga tidak puas pengganti Bu Susi malah dari Gerindra, dan tetap menghargai berbagai kinerja Bu Susi, saya bisa memahami mengapa beliau tak terpilih lagi.

Dari awal pemanggilan calon menteri, ia sudah menegaskan bahwa rekonsiliasi, masuknya investasi, dan modernisasi industri, adalah hal-hal penting yang hendak diperbaiki dalam periode II ini.

Dan jika melihat tulisan Dahlan Iskan di atas, maka jelas apa yang sebenarnya hendak dituju Jokowi, dan dari sanalah kita bisa menilai bahwa ia mau melakukan apapun yang diperlukan. Termasuk "menyingkirkan" orang-orangnya sendiri  yang populis namun berpotensi merusak keutuhan kabinetnya. 

Seteru antara Rizal Ramli dan Sudirman Said sudah memperlihatkan ketegasan itu. Keduanya akhirnya terlempar keluar. 

Pun demikian dengan relawan-relawan yang terus ngotot menyodorkan calonnya. Jokowi benar-benar menerapkan "Saya sudah tidak punya beban." Sampai saat ini, belum benar-benar ada paksaan relawan yang didengarkan, termasuk ormas-ormas relawan yang mengancam membubarkan diri karena merasa pendapatnya tidak diterima. Jokowi tidak terlihat bergeming. 

Bahkan saat semua terhenyak saat Prabowo mendapat posisi Menhan. Bukan relawan saja yang ribut, bahkan partai pendukung seperti NasDem pun jadi belingsatan dan menawarkan diri menjadi partai oposisi saja sekalian, saking kesalnya.

"Kalau tidak ada yang oposisi, Nasdem saja yang jadi oposisi," kata Surya seperti dilansir dari Kompas TV, Senin pada tanggal 20 Oktober 2019. 

Mereka hanya bisa pulang dengan kecewa. Jokowi tetap melenggang berkuasa.. Ya memang seperti itulah gaya pemimpin yang disangka klemer-klemer tersebut. Ia benar-benar secara konsisten menjalankan klaim "tidak punya beban." Ya, bahkan tidak ada beban untuk menuruti rengekan pendukungnya sendiri. 

Yang lebih lucu mungkin Partai Demokrat, yang sudah berkali-kali hilir mudik menjajakan putra mahkota AHY. Sempat ditanggapi positif, ternyata juga PHP. Tak ada satupun kursi menteri yang diberikan kepada Partai Demokrat, padahal AHY lah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan klan Yudhoyono, setelah SBY menjadi terlalu tua dan tidak lagi terlihat berseri setelah ditinggal istrinya sendiri. Dengan demikian, sia-sialah sudah tim hore Demokrat yang memang selama ini terkenal riuh. Juga tidak ada jatah sedikitpun untuk PAN, PSI, dan PKS. 

Nama terakhir memang sedari awal sudah berteriak akan jadi oposisi. Mungkin malu juga mereka harus menerima kenyataan sudah konsisten menjelek-jelekkan Jokowi sejak upgrade dari walikota menjadi Gubernur. Sementara PAN, di periode lalu terbukti tidak loyal, sehingga tak hersan ikut gerbong penyingkiran. Tapi yang paling tragis tentu nasib PSI. Walaupun memang dari jumlah kursi bisa dibilang nol besar, namun PSI termasuk yang sudah berdarah-darah membela Jokowi saat pilpres. 

Maka bisa disimpulkan, Jokowi memang bermaksud membangun koalisi besar namun dengan pengorbanan yang efisien, tak berlebihan. Merangkul Gerindra jauh lebih memberikan efek besar di penguasaan parlemen oleh koalisi pendukung pemerintahan.

Gerindra adalah partai tiga besar, sementara PAN dan Demokrat semakin terpuruk oleh suara yang anjlok. Memberikan kursi dua menteri tentu lebih masuk akal ketimbang mengharapkan dukungan tak loyal dengan harga tiga kursi bagi masing-masing partai berwarna biru. PSI? Jelas tak punya nilai kursi apapun di parlemen. 

Menurut saya, entah bagi kita para relawan langkah ini memuaskan dan menyenangkan atau tidak, Jokowi sedang melakukan langkah yang cukup tajam dingin, dan menyayat layaknya sebuah pisau lipat kecil. Ia tega membuat siapapun kecewa untuk sebuah perjalanan kekuasaan yang aman, termasuk pendukungnya sendiri.

Jokowi sejatinya adalah politikus yang lihai. Menjadikan Prabowo akan membuat kekuatan Islam radikal yang selama ini berdiri di belakangnya, pecah terurai. Luka yang ia timbulkan ngilu luar biasa, tanpa banyak mencecerkan darah. 

Seorang teman, Ira, bertanya, "kok ya begitu tega pemilihan pendamping-pendamping presiden ini tak mempertimbangkan perasaan pemilih Jokowi?" Saya menjawab, dari awal mendukung Jokowi, kita sebenarnya harus siap kecewa.

Ia seorang politikus sejati yang tega melakukan apapun yang perlu. Karena memang politik tak diciptakan untuk memuaskan beberapa mulut saja. Ia digunakan untuk meraih kekuasaan, demi manfaat bagi sebanyak mungkin rakyat.

Sehingga bisa saja keputusan itu tidak menyenangkan bagi kita, para pendukungnya. Bisa jadi saya, sebagai pendukung Jokowi sekalipun, terasa menyakitkan. Tapi jika menyakiti hati beberapa orang, yaitu kita semua, ia bisa merangkul kembali seluruh warga negara Indonesia yang terpecah selamam pemilu, maka tindakan yang dirasa perlu itu wajib dan memang sudah seharusnya dilakukan. Justru kita, sebagai relawan pendukung yang tak boleh baper apalagi  ngambek.

Apakah dengan begini, Jokowi tidak negarawan lagi? Saya kok merasa inilah negarawan yang sebenarnya. Ia rela berbagi kekuasaan dengan Prabowo, yang sudah menjadi rivalnya bertahun-tahun. Dan atas keputusannya itu, ia beresiko ditinggal satu per satu oleh pendukungnya. 

Menjinakkan Prabowo dengan memberikan apa yang menjadikan impiannya selama puluhan tahun, membersihkan nama dan memimpin upaya pertahanan dan kemananan sebagai seorang Jendral bintang empat sempurna, jelas akan membuat kaum radikal tersudut.

Jika selama ini mereka begitu berharap bisa memboncengi Prabowo yang masih memiliki banyak loyalis di dalam pasukan hijau, maka kini tunggangan mereka tinggal PKS, PAN, atau Demokrat, yang jelas sudah terkunci aksesnya terhadap logistik dan jaringan kekuasaan. 

Prabowo dan Gerindra telah begitu jinaknya, sampai-sampai sebentar lagi kita akan mendengarkan Fadli Zon, Rachel Maryam, Puoyono, sampai Dahnil Anzar akan kompak bernyanyi memuji prestasi Jokowi, sesuatu yang tak akan mereka lakukan sebelumnya.

Ingat, PKS meraih perbaikan yang cukup signifikan dalam perolehan suara legislatif. Dari awalnya kelas gurem, kini mereka beranjak jadi partai kelas menengah. Membiarkan mereka terus-terusan menempel ke Gerindra hanya akan membuatnya jadi penantang serius pada tahun 2024 nanti, di mana Anies Baswedan besar kemungkinan juga akan sudah dalam kondisi paling matangnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun