Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Sejauh Mana Peran Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres

17 April 2024   13:31 Diperbarui: 18 April 2024   03:34 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristyanto menunjukkan dokumen amicus curiae terkait sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024 dari Presiden kelima Republik Indonesia sekaligus Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/4/2024). (KOMPAS.com/Ardito Ramadhan)

Oleh Handra Deddy Hasan

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dalam rangka Sengketa Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di Mahkamah Konstitusi (MK) disuguhi dengan istilah-istilah hukum yang njelimet dari bahasa asing.

Istilah-istilah dalam bahasa Latin yang biasanya bergema di ruang-ruang kelas Fakultas Hukum sekarang juga beredar luas baik di media massa dan media sosial.

Salah satu istilah yang sexy dan menarik perhatian dan lancar disebut-sebut di tengah-tengah masyarakat adalah Amicus Curiae.

Demikian ajaibnya istilah amicus curiae, malah ada yang beranggapan bahwa Amicus Curiae merupakan hal yang bisa memenuhi ambisi sebagian golongan untuk memenangkan Sengketa Hasil Pemilihan Presiden di MK.


Tidak jarang istilah amicus curiae dijadikan bahan bagi sebagian masyarakat untuk membuat terdiamnya pihak lawan ketika terjadi perdebatan panas diantara mereka baik di forum resmi maupun di grup-grup WhatsApp.

Popularitas amicus curiae dimulainya sejak sengketa hasil Pilpres di MK dimulai ketika para guru Besar Perguruan Tinggi, kelompok-kelompok seniman, kelompok-kelompok mahasiswa dan lain-lain mengajukan amicus curiae ke Pengadilan MK. 

Apalagi satu pekan menjelang Mahkamah Konstitusi (MK) memutus sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, makin banyak pihak berbondong-bondong mengajukan amicus curiae ke MK. 

Bahkan Presiden kelima Republik Indonesia sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri tidak mau ketinggalan dan merupakan salah satu tokoh yang mengajukan amicus curiae ke MK yang diwakili oleh Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (Kompas, Rabu 17 April 2024).

Sebetulnya peristilahan hukum amicus curiae tidak juga merupakan istilah yang baru muncul tiba-tiba ketika sengketa Pilpres 2024 mulai berjalan.

Misalnya bulan Juni tahun yang lalu Lembaga Swadaya Masyarakat Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus mengajukan amicus curiae.

ICJR Erasmus mengajukan amicus curiae ketika melihat terlanjurnya kasus Wahyu yang karena masalah sepele dituduh melanggar Undang-Undang Informasi dan Teknologi ke persidangan di Pengadilan Jakarta Selatan. (Kompas, Jumat 21 Juli 2023).

sumber gambar dan ilustrasi Antara Foto
sumber gambar dan ilustrasi Antara Foto

Untuk lengkapnya silakan lihat tulisan penulis tanggal 22 Juli 2023 di Kompasiana dengan judul "Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) sebagai Alternatif Menghadirkan Restorative Justice".

Namun ketika itu, amicus curiae tidak sepopuler saat ini, ketika masifnya pihak-pihak mengajukannya sehubungan dengan sengketa hasil pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebetulnya sebelumnya istilah amicus curiae sempat sangat populer sesaat di Indonesia ketika praktik penerapannya terjadi saat pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri Tanggerang pada tahun 2009 dalam (Putusan Nomor1269/PID.B/2009/PN.TNG) yaitu ketika sebanyak 5 (lima) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengajukan amicus curiae guna membela hak terdakwa, dalam kasus Prita Mulyasari Vs Negara Republik Indonesia.

Posisi Amicus Curiae Dalam Peradilan di Indonesia

Hukum positif Indonesia dalam sistem peradilan hukum acara tidak mengenal kedudukan hukum amicus curiae dan tidak memiliki aturan perundang-undangan khusus yang mengaturnya.

Namun, secara konsep amicus curiae dapat diterima di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Jadi walaupun tidak ada aturan formal tentang amicus curiae, namun seorang Hakim secara aktif, termasuk Hakim Konstitusi wajib menggali, mencari dan mendapatkan masukan untuk mendapatkan keadilan sesuai dengan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Amicus curiae adalah istilah Latin yang berarti "teman pengadilan." 

Dalam praktiknya amicus curiae akan diajukan oleh pihak independen yang bukan merupakan pihak yang terlibat secara langsung dalam suatu perkara. Tujuan pengajuannya untuk memberikan pandangan atau pendapat tertulis kepada pengadilan mengenai kasus tersebut.

Makanya Advokat Otto Hasibuan berpendapat dalam satu running text di salah satu media elektronik bahwa Megawati Soekarnoputri tidak pas sebagai pihak yang mengajukan amicus curiae karena merupakan pihak dalam Sengketa Pilpres di MK.

Pandangan atau pendapat yang diajukan ini bertujuan untuk membantu pengadilan dalam memahami isu-isu hukum yang kompleks atau sensitif yang mungkin tidak dapat diatasi oleh para pihak yang terlibat dalam perkara.

Jadi kualitas dari suatu amicus curiae tidak tergantung kepada siapa yang mengajukan, tapi sangat berperanan apabila materinya berguna dan menambah wawasan Majelis Hakim yang menyidangkan suatu perkara.

Dalam kasus Wahyu ICJR Erasmus berusaha mengajukan amicus curiae ke majelis yang menyidangkan agar bisa mempunyai pandangan bahwa perkara seperti ini bisa diselesaikan secara restorative justice. 

Artinya melihat materi perkara yang sepele dan agar lebih efisien perkara tidak perlu dilanjutkan sampai putusan akhir. Sementara antara para pihak baik yang dirugikan maupun terdakwa terjadi perdamaian yang tidak merugikan pihak manapun.

Amicus curiae biasanya diajukan oleh pihak atau organisasi yang memiliki keahlian atau kepentingan khusus dalam bidang hukum atau masalah yang menjadi pokok perkara.

Sebetulnya sebuah amicus curiae akan sangat berguna apabila mengandung materi hukum agar bisa diamini dan dianut serta dijadikan rujukan bagi Hakim dalam pertimbangan hukumnya dalam memutus suatu perkara.

Namun demikian karena tidak aturan yang rigid dan clear dalam aturan tentang konten amicus curiae, bisa saja materi amicus curiae bukan materi hukum. 

Seperti yang seperti lihat dalam kenyataan praktiknya amicus curiae diajukan oleh berbagai pihak yang mempunyai keahlian yang keahliannya bukan bidang hukum. 

Kelompok Guru Besar non hukum seperti bidang sosioligi, para seniman dan mahasiswa tidak ketinggalan mengajukan amicus curiae di Pengadilan MK.

Sebagaimana kita ketahui masalah hukum kadang-kadang beriirisan dan terkait langsung dengan bidang-bidang kehidupan lain, misalnya dengan masalah sosiologis, medis, psikologis dan lain-lain. Sehingga kadang-kadang untuk bisa mengungkap kebenaran hukum (kebenaran substansi) dibutuhkan bidang lain untuk mengungkapkannya. 

Sehingga dengan tidak adanya aturan tentang bagaimana materi (isi) amicus curiae, maka bidang apa saja diluar hukum dapat mengajukan amicus curiae.

Dalam kasus sidang sengketa hasil Pilpres mungkin dibutuhkan ahli-ahli Teknologi Forensik Pemilihan umum (Informatika dan Teknologi Forensik - IT) kalau memang saksi-saksi ahli IT yang telah tampil kurang memadai atau tidak memuaskan bagi Majelis Hakim MK.

Atau bisa juga dibutuhkan amicus curiae dari ahli-ahli filsafat, apabila Majelis Hakim MK melihat bahwa Sengketa hasil Pilpres diputus berdasarkan keadilan substantif.

Jadi tidak ada aturan baku yang menyebutkan siapa yang mempunyai hak legal standing mengajukan amicus curiae. 

Siapa saja tanpa batas diperbolehkan mengajukan amicus curiae. Pihak yang mengajukan amicus curiae dapat berupa badan pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat (seperti ICJR Erasmus) kelompok advokasi, ahli hukum, atau pihak lain yang dianggap memiliki kontribusi yang berharga bagi pengadilan dalam memutuskan kasus.

Tujuan utama dari amicus curiae adalah untuk memberikan perspektif hukum yang komprehensif dan bermanfaat bagi pengadilan sehingga dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan menambah pemahaman mengenai implikasi hukum dari kasus tersebut.

Meskipun amicus curiae tidak memiliki kedudukan formal sebagai pihak dalam perkara, pendapatnya dapat memiliki dampak yang signifikan pada putusan akhir.

Bentuk Formal Amicus Curiae 

Amicus curiae diajukan kepada pengadilan, biasanya dalam bentuk tertulis berupa surat pendapat hukum dengan diketik rapi serta dijilid berupa bundel yang dibuat beberapa eksemplar (sesuai kebutuhan). 

Bundel-bundel yang telah diketik rapi tersebut yang nantinya diberikan kepada hakim-hakim yang menangani kasus tersebut melalui Panitera.

Setelah diajukan, surat pendapat ini akan menjadi bagian dari catatan hukum perkara dan dapat digunakan oleh hakim-hakim sebagai pertimbangan tambahan dalam proses pengambilan keputusan.

Kesimpulannya, amicus curiae diajukan kepada pengadilan untuk memberikan pandangan atau pendapat hukum tambahan dari pihak yang tidak terlibat langsung dalam perkara, dengan tujuan membantu pengadilan dalam memahami isu-isu kompleks dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan.

Misalnya dalam perkara Wahyu yang disebutkan di atas, ICJR Erasmus berharap Majelis Hakim dapat menghadirkan restorative justice segera tanpa perlu melanjutkan perkara sampai putusan akhir.

Begitu juga masifnya amicus curiae yang diajukan dalam kasus sengketa hasil Pilpres di MK, diharapkan Majelis Hakim MK mempertimbangkan dasar-dasar lain diluar hukum dalam mencari kebenaran sebagai pengadil yang bijak.

Oleh karena secara formal amicus curiae tidak diatur secara komprehensif dalam undang-undang Indonesia dan pengajuan amicus curiae pada akhirnya akan tergantung pada kebijaksanaan dan pertimbangan hakim yang menangani perkara tersebut.

Persidangan MK Dihujani dengan Amicus Curiae 

Oleh karena amicus curiae tidak diatur secara formal dalam undang-undang di Indonesia, maka dapat saja diajukan dalam berbagai tahap perkara.

Pada tahap pengadilan pertama amicus curiae dapat diajukan ketika perkara sedang berlangsung di pengadilan pertama, dan pihak yang mengajukan berpendapat bahwa perspektif atau informasi yang mereka sampaikan akan membantu pengadilan dalam memahami isu-isu hukum yang kompleks atau penting dalam perkara tersebut.

Atau seperti kasus Wahyu bisa saja suatu LSM seperti ICJR Erasmus mengajukan amicus curiae sebelum persidangan dimulai.

Pihak atau organisasi yang ingin mengajukan amicus curiae dapat melakukannya sebelum persidangan dimulai, dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan dan menyampaikan alasan mengapa pendapat mereka relevan dan berharga bagi kasus tersebut.

Bisa saja dengan materi pandangan amicus curiae yang disampaikan membuat Majelis Hakim tidak melanjutkan perkara sampai putusan akhir dengan menghadirkan restorative justice bagi para pihak.

Caranya dengan bijaksana mendamaikan pihak pelapor dengan terdakwa di pengadilan.

Namun apabila perkara tetap berlanjut yaitu ketika pada tingkat pertama telah ada putusan dan para pihak mengajukan banding, amicus curiae dapat lagi diajukan untuk memberikan pendapat atau pandangan tambahan pada tingkat banding.

Amicus curiae pada tahap banding bertujuan untuk membantu pengadilan banding dalam mengevaluasi argumen dan bukti yang telah diajukan pada tingkat pengadilan pertama.

Begitu juga ketika perkara telah mencapai tingkat tertinggi di sistem peradilan, yaitu Mahkamah Agung, amicus curiae juga dapat diajukan untuk memberikan pandangan hukum atau pendapat tambahan kepada hakim-hakim dalam proses penyelesaian perkara.

Khusus dalam persidangan Sengketa hasil Pilpres 2024 di MK, amicus curiae sebagaimana kita saksikan diajukan secara bertubi-tubi ketika perkara sedang berlangsung di MK. 

Hal ini disebabkan karakteristik Pengadilan MK yang final dan binding. Pengadilan MK tidak mengenal upaya hukum banding dan kasasi, sehingga momen yang tepat untuk mengajukan amicus curiae di Pengadilan MK adalah ketika Sengketa hasil Pilpres sedang berlangsung dan belum diputus.

Sebagai catatan, amicus curiae tidak dapat dikatakan sebagai suatu bentuk legal opinion yang sah sebagaimana layaknya sebuah legal opinion, karena opininya tidak mengikat Hakim yang menyidangkan perkara.

Meskipun amicus curiae merupakan pendapat hukum tertulis yang diajukan oleh pihak ketiga yang memiliki keahlian atau kepentingan khusus dalam suatu kasus, perannya tidak mengikat.

Hakim tidak harus patuh dengan amicus curiae yang disampaikan oleh para pihak, bahkan boleh mengabaikan sama sekali.

Derajat kepercayaan Majelis Hakim terhadap amicus curiae dalam pertimbangan membuat suatu putusan malah seharusnya di bawah saksi ahli.

Hal tersebut oleh karena secara formal saksi ahli dikenal dalam hukum acara di Indonesia. Pendapat saksi ahli dapat lebih mengikat Hakim dalam pertimbangan hukum putusannya.

Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana salah satunya adalah keterangan ahli.

Selain itu substansi keterangan ahli memang dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berperkara atau Hakim yang menyidangkan perkara.

Saksi ahli adalah orang yang pendapatnya berdasarkan pendidikan, pelatihan, sertifikasi, keterampilan atau pengalaman, diterima oleh hakim sebagai ahli. Hakim dapat mempertimbangkan opini khusus saksi (ilmiah, teknis atau lainnya) tentang bukti atau fakta sebelum membuat keputusan sesuai keahlian ahli.

Berbeda dengan amicus curiae, selain materi yang disampaikan belum tentu relevan dengan perkara yang sedang berlangsung, hakim pun tidak terikat sama sekali untuk mempertimbangkannya.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa reputasi suatu amicus curiae tidak tergantung kepada pihak yang mengajukannya dan lebih berharga dengan relevansinya dengan perkara.

Sejauh ini ingar-bingar pengajuan amicus curiae ke Pengadilan MK lebih banyak bernilai politis dibandingkan mempunyai nilai hukum. Media akan memberitakan amicus curiae secara heboh karena predikat pihak yang mengajukannya, tanpa membahas materinya.

Secara praktis Majelis Hakim MK yang sedang menyiapkan putusan sengketa hasil Pilpres yang rencananya akan dibacakan pada tanggal 22 April 2024 akan mempertimbangkan amicus curiae apabila bahan-bahan persidangan tidak memadai untuk pertimbangan putusan.

Artinya apabila Majelis Hakim kesulitan menemukan dalil-dalil hukum yang ada, kekurangan alat bukti atau tidak adanya saksi ahli yang memadai untuk menjadi bahan pertimbangan putusan, barulah perlu melirik amicus curiae.

Sejauh Majelis Hakim merasa aturan sengketa hasil Pilpres telah paripurna dan majelis telah ditimbuni dengan bukti-bukti sah yang memadai disertai keterangan ahli yang berkompeten, seharusnya amicus curiae tidak dibutuhkan.

Dalam kondisi demikian, nampaknya pihak-pihak yang terlalu berharap atas nilai magic amicus curiae di Pengadilan MK siap-siap untuk kecewa.

Karena bisa-bisa masifnya dan banyaknya berkas amicus curiae di Pengadilan MK hanya sebatas memenuhi gudang Pengadilan MK untuk akhirnya akan dimusnahkan atau berakhir di tukang loak suatu saat nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun