Mohon tunggu...
Hamdan Hamado
Hamdan Hamado Mohon Tunggu... Buruh - Pelajar

Pemuda Biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Budaya Material Peninggalan Jepang Masa Perang Dunia II di Konawe Selatan

20 Februari 2018   03:34 Diperbarui: 23 Februari 2018   01:36 4064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto 1. Kondisi pillbox di situs lapangan udara ambesia (Sumber: Dok. Pribadi)

Perang Dunia II (PD II) yang berlangsung antara 1939-1945 adalah perang yang melibatkan banyak negara dan meliputi hampir seluruh kawasan di dunia. Dari segi geografis, perang ini melibatkan tiga kawasan yaitu di daratan Eropa, Afrika dan Asia. Di daratan Asia, perang Dunia II juga lebih dikenal dengan sebutan Perang Pasifik (Theatre of Pacific)atau perang Asia Timur Raya.

Meletusnya Perang Pasifik diawali dengan serangan dadakan Jepang ke pangkalan militer Amerika Serikat di Pasifik (Pearl Harbour) pada 7 Desember 1941. Setelah berhasil menyerang Pearl Harbour, Jepang kemudian melakukan serangan ke kawasan Asia Tenggara yakni di Filipina, Malaya (Malaysia), Hindia Belanda (Indonesia), Australia dan New Zealand.

Indonesia yang pada masa itu masih di kenal dengan nama Hindia Belanda karena masih berada dalam kekuasaan Belanda, kemudian diambil alih dan dikuasai oleh Jepang tanggal 8 Maret 1942 yang ditandai dengan penyerahan tanpa syarat angkatan perang Hindia Belanda di Pangkalan Udara Kalijati. Penyerahan ini ditandatangani oleh Letnan Jendral H. Ter Porten, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda kepada Letnan Jendral Hitoshi Imamura.

Setelah penyerahan tersebut Jepang akhirnya berhasil menguasai seluruh wilayah di Indonesia. Jepang kemudian menempatkan tiga wilayah pemerintahan militer yaitu, Sumatera diperintah oleh Tentara ke-25 Angkatan Darat Jepang yang bermarkas di Bukit Tinggi, Jawa-Bali oleh Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang yang bermarkas di Batavia (Jakarta), serta Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (Wilayah Timur) oleh Armada ke-3 Angkatan Laut Jepang yang bermarkas di Makassar.

Bukti keberadaan penjajahan Jepang di Indonesia pada masa perang Dunia II sampai saat ini masih banyak ditemukan hampir di seluruh kawasan di Indonesia. Bukti keberadaan penjajahan Jepang yang dimaksud adalah bukti berupa tinggalan budaya material yang dapat berupa bangunan sarana militer Jepang seperti bangunan bunker, pillbox, gua-gua atau terowongan bawah tanah, serta landasan pesawat udara yang lengkap dengan berbagai macam instalasi militernya.

Salah satu daerah di Indonesia yang juga memiliki bukti tinggalan budaya material Jepang adalah desa Lalonggombu kecamatan Lainea kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Di kawasan tersebut mengandung situs Lapangan Udara milik Jepang yang dibangun setelah Jepang menguasai Kendari dan menggambil alih kekuasaan Lapangan Udara Kendari II di Ranomeeto pada tanggal 24 Januari 1942.


Sebuah peta lama hasil foto udara yang diperoleh dari arsip  laporan  intelijen  sekutu, (A.G.S: Allied Geographical Section) Southwest Pacific Area  pada tahun 1944 yang berjudul Ambesea Airfield 12 Oct 44 menerangkan bahwa lapangan udara tersebut memiliki landasan pacu sepanjang 1.524 x 100 m serta terdapat jaringan taxiway dan juga sejumlah lokasi yang ditandai sebagai tempat penyimpanan amunisi, tempat penyimpanan logistik, dan revetment atau tempat parkir pesawat.

Setelah berakhirnya masa pendudukan Jepang di Indonesia, Lapangan Udara tersebut sempat dikuasai oleh PT. Kapas yang menfaatkan lahan di lokasi tersebut sebagai perkebunan kapas. Pada tahun 1990'an PT. Kapas kemudian menutup operasinya, sehingga saat ini di kawasan tersebut telah dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai lahan perkebunan.

Meski saat ini landasan pacu di lapangan udara tersebut tidak lagi terlihat, namun di kawasan tersebut masih ditemukan sisa-sisa peninggalan budaya material Jepang lainnya yang dibangun sebagai sarana pendukung dan penunjang segala aktifitas militer di lokasi tersebut. Sarana-sarana pendukung dan penunjang aktifitas militer Jepang tersebut yang dapat disebutkan disini diantaranya adalah pillbox, terowongan bawah tanah, struktur bak air dan struktur bangunan yang teridentiffikasi sebagai dapur.

Pillbox adalah bangunan yang secara teknologis dibangun dengan menggunakan campuran semen dan batu yang dicor. Pillbox biasanya memiliki ruangan didalamnya dan memiliki lubang intai yang berfungi sebagai tempat persembunyian sekaligus sebagai tempat untuk mengintai pergerakan musuh. Pillbox juga dapat berfungsi sebagai tempat menyimpan senjata-senjata secara efektif. Penempatan senjata secara efektif pada pillbox tersebut juga berfungsi untuk menembak atau menghalau pergerakan musuh.

Terowongan bawah tanah adalah bangunan yang dibuat dengan cara melubangi dinding bukit sehingga menghasilkan lorong-lorong seperti gua. Terowongan biasanya berfungsi sebagai tempat persembunyian pasukan atau juga sebagai jalur pergerakan pasukan yang tersembunyi agar tidak terlihat oleh musuh. Di lokasi situs lapangan udara Ambesea, lorong-lorong terowongan bawah tanah ini terhubung dengan pillbox sehingga bisa mempermudah pergerakan pasukan dari satu pillbox ke pillbox lainnya.

Foto 2. Kondisi terowongan bawah tanah di situs lapangan udara Ambesea (Sumber: Dok. Pribadi)
Foto 2. Kondisi terowongan bawah tanah di situs lapangan udara Ambesea (Sumber: Dok. Pribadi)
Struktur bak air adalah bangunan yang secara teknologis dibuat dengan cara dicor dan menggunakan campuran semen dan batu. Secara umum bak air berfungsi sebagai tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari.

Bak air yang ditemukan di situs lapangan udara ambesea berbentuk persegi panjang dan terbagi menjadi 3 ruang yang juga berbentuk persegi panjang. Kondisi bak air tersebut telah mengalami kerusakan dan tidak terawat. 

Foto 3. Kondisi kondisi struktur bak air di situs lapangan udara Ambesea (Sumber: Dok. Pribadi)
Foto 3. Kondisi kondisi struktur bak air di situs lapangan udara Ambesea (Sumber: Dok. Pribadi)
Terkait dengan keberadaan sisa-sisa peninggalan kebudayan material di Indonesia. Terkhusus peninggalan kebudayaan material Jepang masa Perang Dunia II di Indonesia pada umumnya belum mendapatkan perhatian yang khusus dari berbagai pihak terutama masyarakat. Secara umum masyarakat kita masih awam dan juga masih belum memahami sepenuhnya akan betapa pentingnya tinggalan-tinggalan tersebut yang seharus perlu dirawat dan dijaga dengan baik.

Hal ini terbukti dengan masih semaraknya pengerusakan, penjarahan dan pencurian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab di tempat-tempat yang mengandung tinggalan-tinggalan budaya material masa lalu.

Meski pemerintahan RI telah menerbitkan undang-undang cagar budaya nomor 11 tahun 2010 yang pada beberapa pasal menyebutkan larangan pengerusakan dan penjarahan terhadap tinggalan-tinggalan budaya material tersebut, akan tetapi kasus pengerusakan dan penjarahan masih terus terjadi sampai dengan saat ini.

Padahal jika ditilik lebih dalam, tinggalan budaya material tersebut merupakan penanda zaman yang bisa memberikan gambaran tentang kehidupan di masa lalu yang memiliki nilai penting yang sangat tinggi. Sebagai contoh, terkait dengan keberadaan situs lapangan udara Ambesea sebagai salah satu tinggalan budaya material Jepang pada masa Perang Dunia II tersebut dapat memberikan gambaran tentang seberapa pentingnya Sulawesi Tenggara, terkhusus Konawe Selatan dimata pasukan militer Jepang pada masa PD II. 

Untuk bisa mengungkapkan seberapa penting wilayah Sulawesi Tenggara terkhusus wialayah Konawe Selatan dalam kancah Perang Dunia II tersebut tentu saja harus melalui penelitian-penelitian  dari disiplin-disiplin ilmu yang berkaitan dengan tinggalan-tinggalan tersebut.

Beberapa diantara disiplin ilmu tersebut adalah disiplin ilmu sejarah dan arkeologi. Terwujud dan tidaknya penelitian-penelitian tersebut juga tergantung dari kesadaran pemerintah setempat akan pentingnya mengungkap misteri-misteri yang terkandung dalam tinggalan-tinggalan tersebut.

Jika pemerintah setempat sudah menyadari akan pentingnya tinggalan-tinggalan material tersebut maka upaya untuk mengungkap seberapa penting posisi Sulawesi Tenggara pada masa Perang Dunia II akan berjalan dengan lancar. Karena upaya tersebut akan ditempuh dengan mengadakan kerjasama antara pemerintah setempat dengan pihak-pihak dari disiplin ilmu yang berkaitan dengan tinggalan-tinggalan masa Perang Dunia II di daerah  tersebut.

Dari hasil penelitian kerjasama antara kedua belah pihak tersebut kemudian apabila dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, maka pada puncaknya hasil penelitian tersebut akan bermuara pada upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya ingin mengajak pembaca dan semua pihak terkhusus masyarakat Sulawesi Tenggara untuk sama-sama menjaga, melindungi dan melestarikan semua jenis tinggalan budaya material yang berasal dari masa lalu tersebut.

Karena apabila tinggalan-tinggalan tersebut dijarah dengan cara yang tidak bertanggung jawab maka yang akan terjadi justru tinggalan-tinggalan tersebut mengalami kerusakan yang berdampak pada hilangnya data-data pendukung yang terkandung dalam tinggalan budaya material tersebut.

Daftar Bacaan:

  • Allied Geographical Section. (1945). Kendari: (SE Celebes) Terrain Study No. 107. Canberra: General Headquarters, Southwest Pacific Area.
  • Chawari, M. 2013. Sistem Pertahanan Jepang di Jawa. Studi Berdasarkan Tinggalan Gua Jepang di Banyumas, Jawa Tengah. Berkala Arkeologi, 33 (1), 79-92
  • Mansyur, S. (2012). Pulau Buru Masa Perang Dunia II: Perspektif Arkeo-Historis. Kapata Arkeologi, 8 (1), 43-50.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun