"Islam adalah ajaran universal, sedangkan Pancasila adalah kearifan lokal. Islam tidak mengatur A-Z, tetapi Islam mengatur dasarnya. Sedangkan aksesoris dan keindahannya diserahkan kepada kearifan lokal, yaitu Pancasila sebagai ideologi bangsa."
Kalimat yang menyejukkan di atas disampaikan oleh Imam Besar Mesjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, 20 Juni silam. Kalau sudah imam yang bicara, imam mesjid terbesar pula, maka kalimat ini sudah seharusnya disampaikan dengan dasar pemikiran yang matang. Ucapan ini disampaikan Nasaruddin untuk mengajak masyarakat muslim merayakan Idul Fitri sebagai momentum membersihkan diri dari radikalisme. Dan Pancasila, adalah benteng dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai warga negara.
Kearifan lokal, sebagaimana yang dikatakan sang imam, adalah salah satu kata kunci yang membuat Idul Fitri adalah antitesis radikalisme. Idul Fitri bisa dirayakan dengan cara berbeda di tempat yang berbeda, melebur bukan hanya sebagai perayaan keagamaan, namun juga pesta kebudayaan. Peleburan itu adalah fitrah manusia dan agama. Fitrah yang membuat agama dan tradisi tidak hidup dalam posisi habis-menghabisi, namun sebagai kolaborator. "Islam dan Pancasila seperti mata uang yang memiliki sisi yang berbeda, keduanya berfungsi. Apabila salah satu sisinya hilang maka uang tersebut tidak dapat dipergunakan," tambah Nasaruddin.
Siapa bisa menolak pemberian ketupat dari tetangga di pagi yang sejuk di hari raya? Suasana seperti itu, makanan bernama ketupat itu, bukanlah kewajiban agama. Namun, tanpa ketupat lebaran rasanya tak lengkap bukan? Yang lain, dan tak kalah serunya, adalah mudik. Apakah yang mendasari mudik? Tentu saja momen perayaan Idul Fitri. Namun, bukankah dasar dari semua itu adalah kerinduan terhadap sanak saudara, gairah untuk bersua, dan berkumpul dalam suasana yang lembut?
Mudik, sekali lagi, bukan suruhan agama. Tetapi, apa jadinya Indonesia tanpa berita para pemudik yang berduyun-duyun memenuhi jalan-jalan besar? "Dalam masyarakat Kristen dan Muslim, ada perubahan dalam kebiasaan dua perayaan (Natal dan Idul Fitri) di mana mereka bertransisi dari perayaan agama menjadi perayaan budaya," tulis pengajar ilmu politik Universitas Sidney asal Iran, Ali Mamouri.
"Dalam beberapa contoh, akar keagaamaan bisa terlupakan secara perlahan dan digantikan oleh simbol-simbol kultural." Pandangan ini, berada dalam nada yang sama dengan yang disampaikan Imam Besar Mesjid Istiqlal. Kita hidup dalam suasana terdekat, agama adalah ketentuan yang berlaku di manapun, dan perkawinan antara suasana dan agama adalah berkah yang menjanjikan optimisme terhadap masa depan kehidupan beragama dan berbangsa kita.