Mohon tunggu...
HAFIZH IDRI PURBAJATI
HAFIZH IDRI PURBAJATI Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bekerja dalam senyap

Alumnus Magister Humaniora UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta dan pernah menempuh Magister Ilmu Sejarah di UGM (2010-2015)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah Favorit dan Sistem Zonasi

12 Juli 2017   06:05 Diperbarui: 12 Juli 2017   06:58 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masa libur lebaran yang berbarengan dengan libur lebaran 1438 Hijriyah segera usai, namun hiruk pikuk sebelum tahun ajaran baru di mulai nampak kentara di semua tingkatan lembaga pendidikan. Para orang tua sibuk mencari dan mendaftarkan anaknya ke Lembaga pendidikan terbaik atau yang lazim disebut dengan sekolah favorit. Tradisi memasukkan anak ke lembaga yang dianggap favorit seolah menjadi keharusan dengan berbagai alasan, mulai dari soal fasilitas sekolah, guru atau pengajar terbaik dan anggapan metode belajar yang berbeda.

Padahal pengalaman penulis ketika mengajar di sebuah sekolah mahal dan dianggap sebagai salah satu sekolah favorit (karena berstatus RSBI), tidak ada beda dalam hal metode belajar dan mengajar guru. Mungkin yang menjadi titik beda adalah dalam hal fasilitas sekolah seperti perpustakaan, lab komputer dan fasilitas penunjang seperti LCD, internet, dll.

Dikotomi sekolah favorit dan non favorit memang sudah berlangsung lama, bahkan bisa dikatakan model pembedaan ini adalah warisan kolonial Belanda. Mengapa demikian karena dalam teori pendidikan tidak dikenal sistim klasifikasi berdasarkan kapasitas otak (kecerdasan). Masing-masing anak (peserta didik) memiliki bakat atau kecerdasan alamiah yang merupakan bagian dari karunia Tuhan.

Maka untuk menjawab pendikotomian tersebut, sejak tahun ajaran baru 2017 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan sistem zonasi untuk penerimaan peserta didik baru. Secara singkat penjelasannya adalah siswa atau peserta didik bersekolah di lembaga pendidikan sesuai dengan daerah tempat tinggalnya. Ketika sebelum sistem zonasi ini diterapkan siswa dari Kecamatan bisa masuk di sekolah kabupaten (luar zona kecamatan) maka saat ini tidak bisa lagi dilakukan.

Seorang siswa yang mendaftar di Sekolah sesuai kecamatan tempat tinggal atau zona daerahnya akan mendapatkan poin 2000 ditambah dengan nilai ujian nasionalnya. Nilai ujian nasional dikonversi oleh sekolah tujuan sebagai dasar pemeringkatan untuk pnerimaan siswa baru (sesuai kuota yang ditawarkan). Apabila mendaftar diluar zona maka akan terjadi pengurangan poin 500 dan jika berasal dari luar wilayah dikurangi 1500.

Penerapan sistem zonasi ini tentu mendapat protes dari para orang tua dengan berbagai argumen mulai dari membuat anak menjadi miskin pengalaman, dsb. Sedang dari sebagian yang mendukung sistem zonasi ini berpendapat bahwa biaya sekolah menjadi ringan karena ongkos transport menjadi semakin murah, tidak ada rasa was-was melepas anak, dst. Adapun dari penyedia jasa pendidikan swasta maka ini menguntungkan, karena siswa yang tidak lolos penerimaan siswa baru di sekolah negeri akan masuk ke sekolah swasta. Ya memang sistem zonasi ini hanya berlaku utk sekolah negeri.

Alhasil kita semua berharap, penerapan sistem zonasi ini menjadikan dikotomi sekolah favorit dan non favorit hilang dengan sendirinya, sehingga terjadi pemerataan fasilitas pendidikan dan peningkatan kualitas guru.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun