Mohon tunggu...
Gordi SX
Gordi SX Mohon Tunggu... Freelancer - Pellegrinaggio

Alumnus STF Driyarkara Jakarta 2012. The Pilgrim, La vita è bella. Menulis untuk berbagi. Lainnya: http://www.kompasiana.com/15021987

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Panggilan Menjadi Seorang Ibu

8 September 2015   18:21 Diperbarui: 8 September 2015   18:35 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi/shutterstock"][/caption]

 

Kuingat peristiwa itu. Tepatnya setahun lalu. Ibu dan anak datang bersama. Keduanya bersepeda. Anaknya berumur kira-kira 15 tahun. Sudah besar tentunya. Mengenyam pendidikan menengah pertama. 

Saya tersenyum melihat mereka. Ibunya menghampiri saya. Katanya, titip anakku. Aku akan datang lagi untuk menjemputnya. Sambil membalikkan sepedanya, dia menoleh lagi dan bertanya. Jam berapa selesainya? Jam 6.30 bukan? Saya menganggukkan kepala pertanda YA. Seperti biasa kami selalu berhenti pada jam tersebut. 

Saya antar anaknya ke lapangan sepak bola. Lalu, kami bermain di sana bersama teman-temannya yang lain. Tidak lama kemudian, saya keluar lapangan. Menuju pintu gerbang. Menyambut orang tua yang lainnya. Hanya satu dua ibu yang datang dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan anak-anak mereka. Yang lainnya datang mengantar lalu kembali lagi. Tetapi, mereka semua berjanji untuk datang menjemput anak-anak mereka. 

Kisah seperti ini adalah kisah harian. Kisah harian seorang ibu yang membesarkan anaknya. Di sini sudah tampak nilai pengorbanan. Mereka mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran demi anak. Mereka punya pekerjaan lain tetapi mereka rela mengorbankannya barang sebentar saja dan melayani kebutuhan anak. Mereka merelakan pekerjaannya ditunda sebentar dan mendahulukan kebutuhan anak. 

Apakah anak juga mau berkorban demi ibu mereka? Mereka kiranya belum tahu tentang pengorbanan ini. Mereka hanya tahu menerima apa yang ibu berikan. Juga sesekali kiranya menuntut jika yang diberikan ibu tidak cukup. Sebaliknya, ibu selalu berusaha memenuhi kebutuhan anaknya. Apa pun keadaannya, dia tidak mau mengabaikan permintaan anaknya. Cara seperti ini kiranya lebih dari sebuah pengorbanan. Ini adalah cinta. 

Ya, cinta itulah kiranya yang mendorong ibu mendidik anak mereka. Karena cinta, seorang ibu tidak pernah menyesal mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk sang anak. Ibu berkorban bukan seperti pengorbanan seorang karyawan untuk bos di tempat kerjanya. Pengorbanan karyawan adalah pengorbanan karena profesi. Pengorbanan seorang ibu bukan karena profesi. Pekerjaan seorang ibu bukanlah pekerjaan yang menuntut profesi tertentu. Itulah sebabnya siapa pun (wanita) bisa menjadi seorang ibu. Dan, dia tidak akan tanggung-tanggung memberikan tenaganya dengan total demi sang anak. 

Menjadi seorang ibu adalah sebuah panggilan. Karena panggilan, ia pasti menjalankan pekerjaannya dengan cinta. Tanpa kenal waktu dan batas tertentu. Selagi bisa, ia akan mengerjakannya. Kalau pun tidak bisa, ia akan berusaha untuk sebisa mungkin mengerjakannya. Inilah perkerjaan yang berdasarkan panggilan dan bukan profesi. 

Panggilan inilah yang jarang dimiliki oleh pekerja dengan profesi tertentu. Seorang pekerja yang bekerja karena panggilan akan berbeda cara kerjanya dengan pekerja tanpa panggilan. Dokter, misalnya, yang berdedikasi dengan panggilan pasti dia akan bekerja sekuat tenaga dan pikiran melayani pasien. Sebaliknya, dokter yang bekerja demi memperoleh uang, dan bukan karena panggilan, akan melalaikan beberapa pasien. Ada dokter yang hanya melayani kaum berduit. Inilah contoh dokter yang bekerja karena profesi. 

Saya selalu salut setiap kali bertemu seorang ibu. Atau minimal bertemu wanita yang punya aura seorang ibu. Keibuan itu tidak bisa disembunyikan. Maka, meski saya jauh dari ibu saya di Indonesia, saya selalu merasa dekat setiap kali bertemu para ibu dan nenek di Italia yang ramah. Cara mereka menyapa kita kadang-kadang membuat kita merasa betul-betul sebagai anak mereka. Ibu seperti inilah yang sudah makan garam dalam membina anak mereka. Betapa bahagianya mereka yang tak punya ibu—di panti asuhan misalnya—tapi mengalami kasih sayang seorang ibu lewat mereka yang tinggal dan membantu mereka. 

*Obrolan sore

 PRM, 8/9/2015

Gordi

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun