Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Perundungan" sebagai Padanan Kata "Bully", Tepatkah?

19 Juli 2017   14:43 Diperbarui: 20 Juli 2017   16:14 16859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perundungan - ilustrasi: twitter.com/lukiauliamohtar

Baru-baru ini berita tentang perundungan (bully) menarik keprihatinan kita. Kasus perundungan ini dilakukan baik oleh anak sekolah dan mahasiswa. Ada pihak yang disakiti atau diusik dan pihak lain yang melakukan pengusikan. Semua pihak dan organisasi tergerak dalam menyikapi kasus ini. Dan kasus bullying ini memang bukan suatu yang baru di dunia pendidikan.

Yang menarik perhatian kita juga pada ekuvalensi kata perundungan untuk kata bully. Beberapa bulan ke belakang, kata bully masih melekat pada headline berita. Namun kini diperbandingkan dengan kata perundungan. Dan memang, banyak sekali istilah teknis kini diserap dan dijadikan ke dalam bahasa Indonesia. Seperti kata gawai untuk gadget, unduh untuk download, daring untuk online, atau swakarya untuk DIY (Do It Yourself).

Namun patut kita telaah, apakah kata perundungan sesuai untuk bully? Dalam penyerapan kata ini, bukan soal salah atau benar. Namun lebih kepada ketepatan kontekstual. Bagaimana dengan frasa cyberbully, apa juga diubah menjadi perundungan siber? Karena kata bully sendiri merupakan terma sosiopsikologis yang khusus. 

Pertama, kita definisikan akar kata perundungan, yaitu rundung. Rundung adalah adjektiva yang berarti susah, atau sulit. Sehingga imbuhan pe dan an membuatnya menjadi nomina komplit. Sehingga perundungan berarti pengusikan, penimpaan, dan penyusahan. Namun, perlu digarisbawahi, kata perundungan sendiri terkesan khusus atau arbitrer. Elemen arbitrer sendiri berarti pemakluman penyematan kata ini untuk kata 'bully'.

Kedua, kata bully secara umum berarti verba transitif yang berarti memaksa seseorang melakukan sesuatu. Secara etimologis, bully di abad ke-15 berarti saudara dengan padanan bole (Dutch), buole (high-German), atau buhle (German). Namun terjadi peyorasi pada kata ini di abad ke-17. Maknanya menjadi negatif yang serupa dengan makna saat ini. Diperkirakan, hal ini dikarenakan adanya kata 'bull' dalam kata bully. Bull di sini berarti banteng, yang secara simbolis menggambarkan kekuatan atau superioritas. Dan pada abad ke-17 juga, English Renaissance terjadi sehingga makna etimologis dari bahasa terdahulu mungkin hilang atau lesap.

Sehingga ada dua variabel untuk memadankan kata perundungan untuk bully. Pertama elemen arbitrer (makna Indonesia) dan superioritas (makna Inggris). Pada makna Indonesia, perundungan juga memiliki unsur inferior. Namun begitu juga dengan kata perusakan, perkelahian atau pengusikan. Namun kata-kata ini sudah bisa disandingkan dengan banyak kata lain dan tidak lagi arbitrer. Pada makna Inggris, makna inferioritas dan arbitrer lebih terlihat nyata pada bully. Karena perkelahian (fight), perusakan (infringement), atau pengusikan (disturbance) pun sudah khusus untuk satu makna saja. 

Makna stilistik terlihat cukup jelas pada kata perundungan. Semua demi menyerap kata 'bully' yang sudah begitu khusus. Ditambah, begitu asingnya telinga kita mendengar kata perundungan, jadi cukup tepat mengambil kata ini. Namun tentunya kata rundung sudah lama digunakan dalam bahasa Indonesia. Begitupun dengan kata gawai (dari kata pegawai), unduh, dan swakarya (swa berarti usaha sendiri) pada contoh di atas.

Tetapi patut dicermati juga, apakah kata perundungan cukup 'keren' dibanding kata bully?

Karena masih banyak yang menggunakan kata gadget untuk gawai, DIY untuk swakarya, atau online untuk daring. Karena toh terma spesifik ini tidak 'terasa' jika dipadankan dengan kata dari bahasa Indonesia. Tidak lebih canggih, modern atau 'mengena' pada taraf feeling dalam menggunakannya. Penyerapan kata langsung (direct-borrowing) memang wajar juga terjadi dalam persinggungan dua/tiga lebih bahasa.

Semua kembali kepada rasa memiliki bahasa Indonesia sendiri. Karena patut dicermati tentunya Indonesia yang sedang kembali kepada trahnya menjadi bangsa besar dan mandiri. Begitupun juga pada penggunaan bahasanya. Ekuivalensi istilah asing menjadi fenomena yang untuk mendukung rasa nasionalisme yang dibangkitkan kembali ini. 

Referensi: etymonline.com | kbbi.web.id | hipwee.com | thehistoryofenglishlanguage.com 

Salam,

Wollongong, 19 Juli 2017
05:43 pm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun