Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sanggupkah Facebook Menghapus Hoaks?

17 Juli 2018   12:53 Diperbarui: 17 Juli 2018   12:53 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Facebook Fake ext - ilustrasi: fossbytes.com

Indonesia berada di urutan ke 4 jumlah users terbanyak Facebook (FB) dari total 2,7 miliar user secara global. Tiga negara diatas Indonesia antara lain India, Amerika Serikat dan Brazil. Dari ratusan juta users FB di Indonesia berita hoaks, ujaran kebencian, sampai radikalisme masih menjadi konsumsi sehari-hari. Keprihatinan ini pun sempat disampaikan DPR dan Bawaslu awal tahun lalu melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU).

Jika ramai-ramai kita ajukan FB pertanyaan diatas. Maka jawabannya sanggup. Tetapi apakah FB sendiri mau melakukannya? Ada beberapa alasan fundamental FB tidak mau menghilangkan berita hoaks dari linimasanya. 

Pertama, karena FB adalah platform. Sebagai platform, konten dari users menjadi denyut kehidupan FB. Konten hoaks kini menjadi penopang kehidupan platform FB. Konten berita bohong mampu men-generate lebih banyak traffic di linimasa daripada faktanya. Dan fenomena ini sudah ditelaah dengan riset MIT di link berikut.

Kedua, traffic linimasa yang tinggi berarti honey pot untuk pengiklan. Bertolok dari alasan pertama, berita hoaks menjadi pemikat iklan atau ads. Info bodong biasanya dihiasi ribuan like, comment dan ratusan share. Keramaian ini kadang sengaja dibuat oleh ratusan/ribuan akun palsu. Karena ramai, kadang users asli bisa terpancing. Lalu berjejerlah iklan karya algoritma FB di linimasa kita.

Ketiga, FB menjungjung tinggi freedom of speech. Dunia maya sebagai dunia 'tanpa batas', informasi hoaks adalah ekspresi dari hak berbicara. Karena membuat berita bohong juga membutuhkan kreatifitas dan apresiasi kesastraan serupa satir atau anekdot. Kalau nyatanya hoaks merugikan, Google pun sebagai vendor tech utama tidak men-deface situs satire seperti The Onion atau situs hoaks InfoWars. FB pun tidak sepenuhnya salah mengadaptasi mindset dunia digital ini.

Dengan perspektif kapitalisme dan liberalisme sebagai alasan FB tadi, muncullah dilema kita sebagai users. FB sebagai platform yang sepenuhnya gratis sulit diregulasi. Kita yang diwakili pemerintah pun kadang sulit mengatur dan mengawasi FB. Tegasnya UK dan Jerman soal regulasi dunia digital telah membuat FB lebih hati-hati atas privacy dan hate speech di linimasanya. Walaupun begitu, mengawasi satu per satu users di antara 2,7 miliar users di FB sulitnya bukan main.

Menghapus akun FB pun bukan prioritas. Karena keluar dari FB bisa jadi mengasingkan diri dari keluarga, rekan kerja, teman alumni, dll. Bisa jadi alasan kita log-out selamanya dari FB demi menghindari hoaks tidak bisa diterima sepenuhnya oleh orang lain. Malah dengan aktif membagi berita fakta dan cara mencegah hoaks di FB. Kita bisa lebih bermanfaat untuk orang lain.

Facebook Log Out Button - ilustrasi: techtopia.com
Facebook Log Out Button - ilustrasi: techtopia.com
Namun, FB pun patut diapresiasi atas beberapa tindakan yang dilakukan untuk mencegah berita bohong. Seperti melabeli false flag bagi posting yang dianggap hoaks. Menurut blog FB di Medium akhir tahun lalu, flagging menjadi cara FB mencegah misinformasi. Namun kini, fitur flagging ini malah ditiadakan. Kabarnya, petinggi FB melihat fitur ini menyalahi prinsip yang dianut FB. Fitur demote atau down-vote untuk posting bodong kini dibuat. Namun, men-demote posting dengan ribuan followers belum tentu menjamin berita hoaks hilang dari linimasa.

Dalam sebuah artikel The Guardian, ada 9 cara FB bisa memintas persebaran berita bohong. Tindakan ini setidaknya membutuhkan 3 pihak yaitu, editor jurnalis, crowdsourcing users, dan algoritma. 

Ke 9 tindakan tersebut antara lain: 1) memverifikasi media berita, 2) melabeli dengan flag, 3) menambah 'add-on' situs fact-checking, 4)  menunda share/re-share, 5) menganalisa algoritma headline dan konten, 6) mengindeks algoritma konfirmasi berita partisan, 7) merangking pembagi posting, 8) menganalisa algoritma desain berita, dan 9) menutup akun yang menyebar misinformasi. Semua tindakan ini tentu menuai pro-kontra seperti yang tertuang dalam artikel.

Upaya crowdsourcing dari beberapa komunitas di Indonesia pun sudah bergerak di FB. Page seperti Mafindo, Forum Anti Fitnah Hasut dan Hoax, atau Indonesian Hoax Buster bisa menjadi andalan kita menyetop hoaks di antara kita. Namun hoaks yang kadang begitu banyak rupa dan jenisnya sulit ditangani sendiri-sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun