Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama FEATURED

Piala Presiden: Regulasi Baru, Turunkan Kualitas Pertandingan?

13 Februari 2017   22:11 Diperbarui: 17 Februari 2018   13:55 1417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Piala Presiden 2017

Turnamen Jokowi Cup alias Piala Presiden 2017 sedang bergulir dengan khidmat di lima kota, Sleman, Madura, Bali, Bandung, dan Malang. Regulasi anyar gagasan PSSI rengrengan Edy Rahmayadi pun diterapkan di turnamen pramusim paling bergengsi seantero nusantara ini sehingga membuat Luis Milla -pelatih Timnas Garuda bisa memasang dua ekspresi berbeda di Stadion saat scouting pemain, antara wajah semringah dan rasa kurang puas.

Semringah karena menyaksikan talenta muda diberi panggung sekaligus memudahkan dirinya untuk memilah pemain, disisi lain wajah Milla diliputi ketidakpuasan menyaksikan level pertandingan klub nasional Indonesia yang kurang mengesankan karena ada asumsi bahwa laga babak kedua lebih menarik, mengingat dibabak pertama klub masih mencantumkan pemain muda.

Ada indikasi bahwa mencantumkan pemain dibawah U-23 sesuai dengan regulasi hanya formalitas belaka bagi klub-klub yang berpartisipasi di Piala Presiden 2017 ini, tidak jarang tiga pemain muda itu hanya asal hadir dilapangan dan tidak dilibatkan dalam strategi tim secara intens. Lebih runyam-nya lagi, dibabak kedua mereka dirotasi dengan pemain yang lebih senior. Hal demikian semakin menarasikan bahwa kehadiran mereka hanya untuk memenuhi syarat regulasi saja yang berbunyi klub wajib memainkan pemain U-23 sekurang-kurangnya satu babak.

Ditambah lagi aturan pergantian pemain yang kelewat banyak dari biasanya, seakan dengan adanya 7 pergantian pemain dalam satu pertandingan membuka celah kepada si peracik strategi (red; pelatih) untuk sesegera mungkin mengganti pemain mudanya. Penulis akan coba ambil sampel dari beberapa klub yang berlaga sepanjang fase grup Piala Presiden ini.

Misal, Arema dan Persib. Permainan Arema dirasa lebih greget di babak kedua tentunya dengan kehadiran Cristian Gonzales, Esteban Vizcarra, dan pemain kawakan lainnya. Jelas, karena dibabak pertama strategi racikan Aji Santoso ini masih digerecoki pemain muda yang tidak masuk dalam taktikal tim pelatih.

Kemudian Persib, situasinya tidak jauh berbeda dengan yang dialami tim Singo Edan (Arema, red). Ahmad Baasith Subagja, Henhen Herdiana, Gian Zola Nugraha hanya jadi bagian persyaratan tim mematuhi regulasi, bukan karena strategi jitu tim pelatih. Setelah babak kedua tiba mereka harus rela diganti dengan pemain senior. Febri Hariyadi mungkin bisa dijadikan pengecualian karena memang pemain yang satu ini begitu diandalkan oleh Djadjang Nurdjaman sejak musim lalu atau ISC 2016.

Itu yang mungkin membuat Luis Milla, Indra Sjafri, Danurwindo, Bima Sakti, dan anggota tim scouting lainnya perlu bertukar pikiran dengan si penggagas regulasi ini. Ketika mereka (penggagas) mengelak bahwa ini sekadar pramusim atau sosialisasi belaka sehingga aturan bongkar pasang pemain ngora (red; muda) masih dilonggarkan. Disini saya sebagai pribadi yang bukan siapa-siapa di kancah pesepakbolaan nasional mengambil sikap untuk tidak sejalan dengan alasan demikian.

Meskipun banyak pelatih yang berteriak kepayahan dengan adanya regulasi ini. Saya tidak akan memberi toleransi lagi sekalipun ini pramusim, regulasi adalah regulasi yang harus berdiri secara tegak. Justru karena laga-laga pemanasan semacam ini mereka (kontestan piala presiden 2017) diperkenankan untuk beradaptasi dengan regulasi baru, apalagi aturan ini cukup banyak mengundang kontroversi.

Tiga pemain U-23 harus berada full dilapangan selama pertandingan, jikapun ada rotasi harus diganti dengan usia yang sepadan alias pemain muda lagi. Seharusnya begitu. Agar supaya pelatih juga memikirkan dan memanfaatkan betul pemain U-23 untuk bisa terlibat ke dalam strateginya. Jadi anak muda itu tidak hanya numpang lewat alias mendapat peran sebagai figuran saja dilapangan, tapi bagaimana mereka bisa berperan vital dalam permainan. Dengan cara itu pula PSSI edisi ini bisa terhindar dari tuduhan menurunkan level pertandingan.

Memang terdengar riskan, namun tidak ada yang tak mungkin dalam sepakbola. Kasus  Febri Hariyadi tahun lalu misalnya, Ia bisa dimanfaatkan oleh Djadjang Nurdjaman tatkala Zulham Zamrun dipanggil ke Timnas untuk AFF 2016. Saat itu, stok pemain sayap Persib Bandung tengah dalam keadaan defisit alias limit. Tapi, didorong dengan keadaan mendesak akhirnya Febri bisa bersinar tanpa diduga.

Pun dengan penegasan terhadap regulasi tadi. Karena biasanya keadaan mendesak membawa hal-hal yang tidak terbayangkan sebelumnya bisa terjadi. “Sepakbola merupakan permainan improvisasi terbaik di dunia”.Biarkan stakeholder sepakbola nasional memainkan improvisasinya di lapangan. Khususnya tim pelatih yang menjerit keberatan terhadap regulasi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun