"Onkel Willy ist gestorben."
Tulis suami saya dalam whatsapp. Pesan itu baru saya terima begitu keluar dari Perancis. HP tidak ada fasilitas berlangganan telepon dan internet EU. Lalu, saya tersenyum. Om istirahat dengan tenang di usia yang termasuk sudah cukup.
Om Willy adalah ipar mertua lelaki. Umurnya sudah 92 tahun. Beberapa minggu sebelum kami berangkat ke Indonesia, kami sudah ada niatan untuk menjenguknya. Kami takut kalau-kalau ketika kami berada di tanah air, om meninggal. Waktu itu, kebetulan, ia baru saja mencapai umur tersebut. Kami merayakannya dengan Kaffe trinken. Minum kue keju yang saya bikin dan minum kopi atau teh sore-sore.
Teringat apa katanya sebelum kami pamit pulang:
"Ich kann nicht mehr ... alle tun mir weh." Sepertinya sudah ada firasat. Ia putus asa hidup dengan bergantung pada selang dan tabung.
Dibandingkan dengan ipar perempuan mertua lelaki yang di Dsseldorf, 95 tahun, kondisi fisik om Willy kurang fit. Otaknya memang masih ingat banyak hal tetapi ke mana-mana harus bawa selang oksigen. Nafasnya terengah-engah. Ia selalu mengeluh bahwa kakinya sakit.
Jadi ketika kami baru pulang dari Indonesia, om dikirim ke rumah sakit karena ada keluhan hebat dan si anak yang masih bujang dan tinggal bersamanya, tidak bisa mengatasi.
Menurut anaknya, di RS itu, om sudah minta dipan yang ada penghalangnya biar tidak jatuh tetapi ditolak oleh suster karena kalau malam-malam mau ke kamar mandi nggak bisa sendiri.
Sampai suatu malam, om benar terjatuh dari tempat tidur, tangannya patah dan langsung meninggal dunia. Innalillahi ....
Meninggal di Jerman? Siapa yang Melayat Dalam Beerdigung?
Beberapa hari setelah meninggal, kami melayat. Rumah krematorium di dekat Makam Umum Tuttlingen itu tampak lengang. Kami diajak keponakan untuk melihat om dalam ruangan seperti aquarium. Di kamar ber AC itu mayat om dibalut hem putih dan selimut. Kain hitam menghiasi kotak. Kami pandangi wajahnya. Ia seperti tertidur. Tidur yang teramat panjang. Telinga kami mendengar sesenggukan si anak. Sedih.