Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Kisah Klasik E-KTP

23 Oktober 2017   15:57 Diperbarui: 23 Oktober 2017   16:06 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kisah E-KTP seakan tidak ada habisnya menghiasi indahnya pemberitaan media negeri ini. Setelah tertangkapnya jajaran nama yang terlibat korupsi E-KTP, tersiar berita saksi kunci E-KTP yang memiliki semua rekaman transaksi gelap proyek raksasa ini, sampai terakhir isu pura-puranya sakit si tersangka. Mungkin bukan pemberitaan pertama lagi, bahkan mungkin netizen sudah bosan pemberitaan ini menjadi headline di beberapa media baik online dan media elektroni. Kasus ini sudah seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami, sudah ketemu jarumnya tapi si jarum malah menusuk jarami-jerami yang menyembunyikannya. Tapi sava disini tidak akan mengulik-ngulik mencari siapa si terdakwa proyek ini. Hanya sekedar berbagi cerita indah perjalana bersama proyek E-KTP.

Ketika munculnya peraturan untuk setiap warga negara Indoneisa mengganti KTP nya menjadi E-KTP hampir semua warga berlomba-lomba untuk mentaati peratruan ini sebagaim bentuk warga negara yang tertaib lagi taat. Tidak terkecuali saya pribadi, walau memang dengan paksaan dari orang tua untuk memenuhi kewajiban warga negara untuk membuat kartu identitasnya. Sejak awal ada kabar ini saya tidak menggebu-gebu entah kenapa. Logika saya selama masih punya nomor induk kependudukan masih aman lah menjadi warga negara. 

Sedikit menjanggal ketika pembuatan E-KTP mengapa seluruh warga negara diwajibkan untuk membuat terlebih dahulu, tapi alat penunjangnya diinstansi-instansi yang ada di negara ini bahkan tidak ada. Nalar sesungguhnya, dengan adanya E-KTP untuk memudahkan warga negara dalam pelayanan di instansi-instansi dimana ada keperluan didalamnya, jadi titak perlu lagi foto copy KTP lagi jika ingin mengurus SIM, daftar Universitas dan lain sebagainya. Tetapi dalam prakteknva sudah 5 tahun proyek E-KTP berjalan belum pernah ada satu instansi pun punya alat scan E-KTP. Apa yang terjadi?

pengalaman saya dengan kartu sakti kenegaraan ini tidak sampai disini. Saat membuat E-KTP di kecamatan tempat saya tinggal, saya sampaikanlah kepada petugas yang melayani dengan bertanya, "Jika saya sudah punya E-KTP apakah jika saya mengurusi keperluan kampus (saya bersekolah di salah satu perguruan negeri di kota Jogja) apakah saya harus selalu foto copy KTP saa?". Tanpa basa-basi dengan wajah dan jawaban sedikit ketus dan saya rasa tidak nyambung, "Jangan tanya saya kak, tanya ke atas aja". 

Jawabn yang malah bikin saya mendadak kesal, dan sungguh tidak cerdas bagi seorang pejabat kecamatan. Logikanya sebagai warga suatu kecamatan, kita menyampainkan unek-unek kepada pemerintah terdekat yaitu kecamatan, bukan malah disuruh tanya ke pemerintah pusat. Mencoba membayangkan seperti apa yang pernah disampaikan oleh Bu Risam walikota Surabaya jika orang itu adalah ibu-ibu jauh dari dari desa membawa anaknya, harus menaiki angkutan umum yang tak tentu kapan datangnya demi memenuhi haknya mendapat kartu identitas vang sah tanpa harus tahu apakah tujuan adanya pemberlakuan E-KTP. Bagaimana pendapat anda?

Kisahku bersama kartu sakti ini tidak hanya sampai disini. Pengalaman jauh lebih mencengangkan setelah 5 tahun ku katongi kartu ini dalam selimut tipis uang bernama dompet. Sampai suatu ketika saya harus memperpanjang SIM karena sudah habis masa berlakunya. Hal yang membuat saya tercengang saat dicek dengan data server menggunakan nomor induk kependudukan, yang keluar bukanlah nama saya melainkan nama orang lain yang berada di daerah lain. 

Heran semakin heran, bukankah NIK itu sudah ada sejak seseorang dilahirkan. Kenapa data saya tidak ada? Lalu buat apa membuat E-KTP jika data server tidak sesuai. Disarankan untuk mengurus di Disdukcapil Kota untuk memperjelas status kenegaraanku. Setelah sampai Disdukcapil, hal yang paling bikin sava heran kenapa seorang saya ternyata memiliki 3 NIK. Semakin bingung.

Bukankah pembuatan E-KTP seharusnya mempermudah urusan dokumen-dokumen lain. Kesimpulan yang bisa saya sampaikan, adalah belum siap untuk E-KTP, belum siap untuk digitalisasi data. Hanya memaksakan proyek semu semata demi keuntungan sesaat yang terlihat lebih seperti pembodohan demi keuntungan sepihak. 

Bukan niat menjelekkan beberapa pihak, hanya mengajak membuka mata. Mungkin diluar sana banya memiliki kasu vang hampir sama dengan saya. terlebih setelah sava ketahui teman saya yang tinggal di Tarakan pun sampai saat ini belum memiliki E-KTP karena belum ada lat pembuatannya disana, dan realitas saat ini proyek ini terhenti karena kasus yang sedang menverangnya. Semoga ini bisa menjadi pembelajaran kita bersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun