Mohon tunggu...
Fristianty Ltrn
Fristianty Ltrn Mohon Tunggu... Administrasi - NGO

Penulis Pemula

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nurani, Dimana Hati Nuranimu?

14 Juni 2017   16:02 Diperbarui: 14 Juni 2017   16:06 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat ini aku melihat banya mahasiswa baru mulai berdatangan di kampus ku. Wajah wajah yang sangat muda dan polos. Aku juga seorang mahasiswa, sedang menapaki tangga kampusku..

Kalau ditanya aku kuliah dimana, rasanya gampang akan ku sampaikan, kalau ditanya alamat rumah, walau rumah ku kecil dan jauh dari cantik, aku pun tidak susah menjelaskan..tapi kalau ditanya siapa namaku..entah kenapa aku agak gugup menjawabnya..

Namaku Nurani..itu saja, tanpa embel embel nama yang lain untuk mempercantik nama itu. Mungkin Bapak dan Ibuku terlalu sibuk memikirkan nama cantik lain untuk melengkapi nama itu dan akhirnya memutuskan itu saja, atau mereka terlalu bersyukur mendapatkan anak perempuan setelah anak laki-laki pertama mereka, tapi gak mempersiapkan nama panjang untuknya.

Kalau memikirkan itu aku merasa satu anak laki-laki dan satu anak perempuan seharusnya cukuplah, seperti slogan bangsa kita dahulu kala “Dua anak sudah cukup”..tapi slogan itu tidak berlaku rupanya untuk kedua orang tuaku dengan pendidikan seadanya.. setelah aku masih ada tiga orang adik lagi, dua perempuan dan satu laki-laki..jadi kami lima adik beradik dan bertujuh dengan bapak dan ibu. Rumah kecil, penghasilan bapak dari pabrik, anak lima, cukup membuat kami harus makan seadanya, apapun yang terhidang di meja..dengan satu syarat: Tidak boleh ada komentar.

Namaku Nurani..sekali lagi itu saja..jangan diperpanjang..karena memang cuma itu. Namun aku pun tidak tau kenapa aku rajin sekali belajar. Sejak mengecap pendidikan formal namanya sekolah dasar, karena aku tidak mengecap TK apalagi PAUD,  aku pun tidak tau semangat dari mana muncul setiap melihat buku buku sekolah, buku buku bekas, yang kami dapat dari kawan bapak yang anak anaknya sudah lulus duluan, sejak abangku SD ada teman bapak yang selalu memberi buku buku anak anaknya, sampai kami SMA. Aku sangat menyenangi membaca buku buku itu bahkan sebelum topiknya dimulai di sekolah. Aku sangat senang kalau menemukan jawaban yang salah dari anak teman bapak itu yang kelihatan di buku itu, dengan teriakan “Yess..Yess..salah...ini jawabannya!!” aku akan tunjukkan jawaban yang salah itu dengan jawaban yang benar dan bapak cuma bengong dengan tingkahku, lalu melotot dan selalu berkata “Itu bukan bukumu, itu buku anak itu..jangan ngejek..syukurilah” aku cuma cengengesan sambil bilang “Yang salah tetap salah, pak” kataku sambil berlalu, takut makin diceramahin.

Nurani..dulu nama itu tidak pernah jadi masalah, sejak SD sampai SMP, teman teman menyukainya, ada yang manggil Nur atau Ani dan ada yang iseng dengan memanggil nama Ur..aku sih seneng seneng saja, karena aku tau teman teman ku sayang sama aku, kata mereka aku suka ngajarin mereka tanpa pamrih..gak kayak si Susi, si otak cemerlang itu tapi pelit kalau minta ngajarin. Seingatku sejak SD sampai SMP, guru guru ku pun senang dengan nama itu, gampang diingat kalau ngabsen kata mereka. Ada satu guru SD ku yang setiap memanggil namaku di absen selalu meletakkan tangannya di dada sambil menyebut namaku, dan kami pun tertawa bersama. Indahnya masa itu.

Begitu masuk SMA, persaingan di sekolah makin ketat, tapi nama itu tidak pernah jadi masalah, bahkan guru kelas ku pun bangga, karena sering nama itu muncul jadi kebanggaan kalau pertandingan antar kelas. Kelas 1 dan kelas 2 semua masih indah..aku pun semakin sibuk disekolah, karena sering belajar kelompok apalagi menjelang ujian semesteran dan diluar sekolah pun aku sudah dapat penghasilan karena mulai diminta ngajar privat untuk anak teman teman bapak dengan bayaran  seadanya..akupun ikhlas, karena uang yang sedikit itu aku kumpulkan bukan untuk membantu dapur Ibu tapi untuk uang kuliah ku nanti. Kuliah?? Ampunnnn..bagaimana mungkin aku punya impian untuk kuliah..tapi memang waktu itu aku ingin sekali untuk kuliah.

Awal kelas tiga masih sama indanhnya..lalu semua terjadi berawal memasuki semester dua di kelas tiga. Kasak kusuk untuk mempersiapkan diri Ujian Nasional. Karena teman teman gelisah mempersiapkan diri menjelang UN, akupun ikut ikutan gelisah. Aku melihat rata rata mereka ambil privat atau bimbingan belajar khusus untuk UN, aku pun ikut ikutan bingung..tapi kemudian aku melihat dalam semua latihan tetap saja nilai nilai ku lebih baik di sekolah, akhirnya aku tenang..aku tau batas kekuranganku dan kelebihanku, aku memang gak mungkin ambil privat atau bimbingan untuk UN, apa kata bapak dan ibu nanti??..ya sudahlah..tapi dengan ngajar privat ke anak teman teman bapak ternyata jadi alat untuk ku belajar lagi..itu kelebihanku, aku belajar sambil dapat uang dan aku pun tenang..aku justru jadi santai dalam mempersiapkan diri untuk Ujian.

Satu minggu menjelang UN, aku dipanggil guru. Bu Ditya adalah guru kelasku dan guru kesayanganku, dia guru fisika, sangat pintar dan punya perhatian khusus dengan ku.

“Masuk, Nur” katanya saat aku ketok pintu kantornya.

“Nur, sebentar lagi kita UN..gimana persiapanmu” tanyanya dengan senyum. Aku pun senyum, lalu aku ceritakan kalau bapak dan Ibu tidak mungkin memberi ku uang untuk les tambahan, aku ceritakan juga cara ku mempersiapkan diri dengan ngajar privat, sambil mengatakan aku menyimpan uang untuk kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun