Mohon tunggu...
Mohammad Taufik
Mohammad Taufik Mohon Tunggu... -

Pemerhati dan Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dilema Sumbangan dan Pungutan Pendidikan

20 Januari 2017   22:24 Diperbarui: 20 Januari 2017   22:47 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belakangan ini bermunculan pernyataan-pernyataan yang sangat menyudutkan dunia pendidikan. Di satu sisi pemerintah menginginkan mutu pendidikan yang sifatnya sangat strategis dan harus segera dilakukan agar pendidikan di Indonesia bisa sejajar dengan Negara tetangga, namun disisi lain pemerintah membatasi gerak satuan pendidikan dalam upaya mendongkrak mutu pendidikan tersebut melaui berbagai macam peraturan perundang-undangan.

Seperti kita tahu dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang kemudian diimplementasikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yang mewajibkan beban kerja guru adalah 24 jam tatap muka/minggu, PP nomor 74 tahun 2008 tersebut kemudian diterjemahkan lagi menjadi peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan terkait dengan persyaratan guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik harus memenuhi beban kerja 24 jam tatap muka/minggu sebagai syarat untuk mendapatkan tunjangan profesi. Tujuan dari UU nomor 14 tahun 2005 dan PP nomor 74 tahun 2008 adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi guru dengan harapan akan bisa memperbaiki kompetensi guru yagn diharapkan imbasnya akan mendongrak mutu pendidikan. Namun apa yang terjadi, bukan peningkatan kompetensi dan peningkatan mutu pendidikan yang dihasilkan. Guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik yang beban kerjanya kurang dari 24 jam/minggu sibuk mencari tambahan jam ke sekolah sehingga tidak fokus dalam melaksanakan tupoksinya, sehingga tidak salah jika akhirnya guru hanya mencari cara agar mendapatkan tunjangan profesinya ketimbang meningkatkan kompetensinya. Pemerintah pun geram dan terlalu mudah untuk menyalahkan guru dengan alas an sudah diberi tunjangan profesi akan tetapi kompetensinya masih belum membaik justru malah sebaliknya, pemerintah tidak sadar bahwa yang menciptakan kekisruhan ini adalah pemerintah sendiri yang membuat regulasi yang tidak memihak dan kontra produktif.

Itulah sekelumit cerita tragis yang menimpa guru. Sekarang, mencoba mengalihkan kasus cerita tragis tersebut dengan mengeluarkan regulasi tentang larangan satuan pendidikan dalam memungut dana pendidikan. Regulasi yang sangat kontroversialpun diterbitkan yaitu Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Pendidikan Dasar yang isinya melarang satuan pendidikan dasar memungut biaya pendidikan. Kenapa diakatakan sangat kontroversial, karena hanya satuan pendidikan dasar saja yang dilarang sedangakn satuan pendidikan menengah diperbolehkan.

Jika kita tilik Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 9 dan pasal 12 sangat gambling dinyatakan tentang pungutan tersebut. Dalam pasal 9 berbunyi : Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, dan pasal 12 ayat (2) huruf b berbunyi:

  • Setiap peserta didik berkewajiban:
  • b. ikut menanggung biaya pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiaban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi, apa yang tertuang dalam Permendikbud nomor 44 tahun 2012 sangat bertentangan dengan apa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Sisdiknas. Lalu, muncul Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dalam pasal 3 ayat (1) huruf b yang mengisyaratkan bahwa komite sekolah diperbolehkan untuk menggalang dana dari masyarakat. Namun lagi-lagi makna dari pasal ini tidak menjelaskan yang dimaksud “masyarakat” itu orang tua peserta didik atau masyarakat di luar orang tua peserta didik.

Ditambah lagi dengan pernyataan menteri pendidikan dan kebudayaan bahwa sekolah hanya boleh menerima dana dari masyarakat yang berupa sumbangan dan donatur, manakala satuan pendidikan kekurangan dana operasional (BOS). Polemik semacam ini akan menambah penderitaan yang sangat panjang bagi satuan pendidikan dasar yang terkunci dalam memungut dana pendidikan dari orang tua/wali peserta didik, sementara satuan pendidikan menengah begitu leluasa diberikan aturan untuk memungut, yang mana semua satuan pendidikan mendapat bantuan dana operasional sekolah (BOS) dari pemerintah, itupun dengan klasifikasi nominal yang berbeda tiap jenjang pendidikan.

Kesenjangan ini akan terus tercipta yang justru akan menambah panjang keterpurukan mutu pendidikan di negeri ini. Begitu banyaknya aturan yang menjegal akan mengakibatkan satuan pendidikan tidak bisa mengembangkan potensinya sebagai lembaga pencetak generasi unggul yang diinginkan pemerintah.

Pengadaan buku pelajaran dari pemerintah pun sudah menjadi barang langka, karena itu semua harus dibeli dengan dana BOS yang notabene dalam juknis BOS hanya diperbolehkan dibelanjakan sebesar 5%, haruskah satuan pendidikan setiap triwulan membelajankan dana BOS sebesar 5% untuk memenuhi buku teks pelajaran ?

Permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan semakin tahun semakin rumit dengan munculnya berbagai aturan yang sangat kontra produktif dengan keinginan pemerintah yaitu meningkatkanya mutu pendidikan yang akan melahirkan generasi emas atau generasi unggul yang siap dan tangguh dalam mengahadapi tantangan global. Sementara pemerintah selalu menyalahkan guru yang menjadi penyebab utama kemerosotan mutu pendidikan.

Ingat, dalam undang-undang sisdiknas jelas diamanatkan bahwa pendidikan itu menjadi tanggungjawab bersama antara negara, pemerintah dan/atau pemerintah daerah, dan masyarakat. Jadi, masalah ini menjadi tugas dan tanggungjawab kita sebagai warga negara dalam membangun pendidikan yang bermutu.

Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun