Kita dibawa dalam situasi perang dalam film ini. Bukan sekadar menjadi pengamat yang menengok peperangan. Dalam banyak kejadian, kita bisa merasakan berada di tengah gejolak, terancam tenggelam dalam kapal, hingga seperti menembak dari dalam pesawat tempur. Film ini sukses menghadirkan nuansa perang di tengah penonton.
Film ini pun membawa kita untuk belajar dari sejarah. Perang, apa pun alasannya, membawa dampak buruk bagi banyak orang. Kematian, ataupun kehidupan dalam kondisi depresi akibat trauma, tidak dapat terelakkan. Perang, lagi-lagi, sekalipun sering dan merupakan keniscayaan, tidak pantas dilihat sebagai pilihan terdepan. Ia adalah pilihan yang bukan untuk dipilih, namun ketika ada dalam hadapan, pantang untuk berputar haluan.
Meski demikian, film ini, sekalipun bisa dikatakan bagus dan sukses, bukan berarti tanpa cela. Kita akan disajikan pemain yang mungkin 90% ialah pria berkulit putih. Minim peran perempuan, kecuali sebagai penyaji dalam kapal penyelamat dan penyambut di daratan. Minim, bahkan bisa dikatakan tidak ada, pemeran berkulit selain putih. Inilah salah satu sumber kritik dari para kritikus film, terutama yang berkonsentrasi dalam isu jender dan ras.
Walaupun demikian, rasanya kekurangan itu tampak minor. Bagi para penyuka film sejarah, pemerhati strategi pertahanan, sampai pencari hiburan di awal bulan, film ini layak untuk ditonton. Setidaknya, kita mendapat satu kisah bersejarah dan contoh film kolosal yang apik.
Dunkirk, membawa kita untuk merasa, bahwa perang adalah berkorban untuk berdamai yang lebih lama, semoga.