Mohon tunggu...
Fahrin Andiwijaya
Fahrin Andiwijaya Mohon Tunggu... Dokter - I aspire to inspire

Eudaimonia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perbedaan Biologis, Rasisme, dan Imajinasi Kita

6 September 2019   00:22 Diperbarui: 7 September 2019   06:06 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Chambers dan Edinur, 2015,

Akhir-akhir ini berita sedang gencar membahas isu- isu di tanah Papua, dan rasisme merupakan salah satu pemantik dari munculnya amarah warga asli tanah Papua.

Sejatinya rasisme merupakan sebuah pemikiran yang berakar dari kepercayaan bahwa suatu ras mendapatkan perilaku yang berbeda, yang berlanjut dengan rasa ketidak-adilan.

Kesetaraan merupakan salah satu hak asasi manusia, dan terminologi HAM ini terlahir dari buah pikir manusia yang menuntut agar setiap manusia mendapatkan perlakuan yang sama.

Akan tetapi hasil pemikiran manusia secara tendensius merupakan pandangan subyektif, sehingga tolak ukur yang digunakan pada isu -- isu sensitif hendaklah pandangan yang obyektif. Ilmu biologi dan studi genetika dapat menjadi jawaban dari tolak ukur obyektif tersebut.

Namun secara terang dan jelas, biologi tidak mengenal kata "sama" dan "hak asasi manusia". Meski jumlah pasang DNA pada tiap manusia normalnya adalah sama, akan tetapi ekspresi protein pada genetik manusia tidak akan sama, meskipun manusia tersebut merupakan kembar identik.

Pada aplikasi pragmatisnya, tidak ada bentuk tubuh manusia yang sama, contoh lainnya adalah jumlah makanan yang dibutuhkan tiap manusia berbeda, juga interaksi obat yang dapat dikonsumsi tiap manusia pada hakikatnya berbeda, maka ada terminology P-drug atau personal drug yang diracik khusus untuk seseorang saja.


Menggunakan kacamata genetika dalam menelaah isu ini, pertanyaan yang mendasar yang harapannya dapat dijawab oleh biologi adalah "mengapa ada pemikiran kami (Indonesia) dan mereka (Papua)?"

Perkembangan ilmu bio-arkeologi dan bio-antropologi sedang berkembang dengan pesatnya, sehingga pemetaan genetik populasi Indonesia dapat terlaksana, walau dengan banyak keterbatasan.

Pada masa peradaban es (Ice atau Glacier Age), kepulauan Indonesia tergugus dalam beberapa kepulauan besar.

Gugusan sunda pada Indonesia bagian barat merupakan gabungan antara pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Asia, yang membatasi adalah perairan yang sangat dalam yaitu Wallace line. Kesatuan pulau Sahul pada Indonesia timur terdiri dari Papua dan Australia.

Pada masa es inilah secara teori terjadi perpindahan populasi yang dikenal dengan Austronesian expansion.

Beberapa penelitian bio-arkeologis melacak sumber penyebaran ini berasal dari Taiwan, ini dibuktikan dari penelitian terhadap kromosom populasi Indonesia.

Berbeda dengan Indonesia bagian barat pada waktu dimana banyak terjadinya perpaduan genetika yang terjadi, populasi asli Papua atau Melanesia merupakan turunan langsung dari populasi Philippines negrito.

Svante Pbo yang merupakan direktur dari departemen evolusi genetic dan antropologi di Institut Max Planck, menemukan bahwa populasi asli Papua memiliki 3 hingga 6% genetic dari Denisovans, dan pada populasi Indonesia bagian barat tidak memiliki akar genetik tersebut.

Denisovans merupakan keluarga dekat dengan Neanderthal, yang keduanya merupakan kelompok dari sub-spesies Homo Sapiens.

Dalam sejarah penyebaran Homo Sapiens, Neanderthal melakukan perjalanan menuju daerah daratan Eropa dan sekitarnya, berbeda dengan Denisovans yang berjalan ke arah timur.

Yang menjadi salah satu alasan utama mengapa tidak terjadi admixture genetika yang kompleks pada tanah Papua adalah ketidakmampuan populasi di Indonesia bagian barat untuk melakukan perjalanan melewati Wallace Line, karena keterbatasan teknologi pelayaran pada waktu itu. (Ilustrasi gambar ada di atas)

 Jika ilmu biologi mengatakan secara objektif bahwa ada perbedaan nyata antara populasi mayoritas Indonesia dengan populasi tanah Papua, pertanyaan selanjutnya adalah, sejauh mana kita harus memaknai perbedaan ini?

Herawati Sudoyo, peneliti dari Institut Eijkman, Jakarta, mengatakan penelitian pemetaan genetika ini penting untuk aplikasi kedokteran, khususnya dalam pemahaman penyakit-penyakit yang bersifat bawaan, seperti Thalasemia. 

Sehingga temuan mengenai perbedaan jenis populasi ini hendaknya digunakan pada ruang lingkup aplikasi ilmu pengetahuan praktis saja. Pandangan rasisme atau ketidakadilan seperti yang dijelaskan di awal adalah buah pikir atau kreasi manusia yang dapat diatur sedemikian rupa untuk kepentingan individu maupun kelompok.

Gagasan pikiran ini pada hakikatnya adalah imajinasi subyektif, karena bentuk obyektif yang dapat diukur tidak ada. Manusia dibekali dengan kemampuan untuk membangun sebuah imajinasi, dan hal ini yang mendasari kemajuan manusia dalam interaksi sosialnya.

Kemudian imajinasi tersebut dapat berkembangan menjadi sebuah nilai dan norma, yang tersebar melalui pertukaran cerita sesama manusia.

Namun nilai dan norma hanya dapat berjalan jika ada unsur kepercayaan dalam skala populasi besar dan tanpa ada batasan jumlah. Kepercayaan terhadap sebuah imajinasi dikenal sebagai intersubjective reality.

Maka dari itu, karena konsep norma kesetaraan ini agar dapat terlaksana maka kepercayaan dalam skala populasi yang besar harus ada. Cerita mengenai pemahaman kesetaraan juga harus dapat dengan mudah dipercaya.

Perkembangan ilmu pengetahuan telah menguak beberapa fakta mengenai karakter genetik populasi di Indonesia, secara obyektif memang terdapat banyak perbedaan yang nyata.

Akan tetapi perbedaan ragawi ini hendaknya digunakan sesuai kebutuhan dan dalam limitasi ilmu pengetahuan saja, serta tidak dijadikan sebagai dasar perbedaan hak dasar manusia yang bersifat kebatinan.

Oleh karena itu, memenuhi hak dasar manusia yaitu rasa kesetaraan harus menjadi sebuah kepercayaan universal. Manusia akan menjadi manusia dengan rasa percaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun