Mohon tunggu...
Fadmastuti
Fadmastuti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Reklamasi Teluk Jakarta, Milik Siapa?

12 Desember 2017   01:47 Diperbarui: 13 Desember 2017   13:39 2578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi PetaBencana.id, 2015

"..untuk mewujudkan fungsi Kawasan Pantai Utara Jakarta sebagai Kawasan Andalan, diperlukan upaya penataan dan pengembangan Kawasan Pantai Utara melalui reklamasi pantai utara dan sekaligus menata ulang daratan pantai yang ada secara terarah dan terpadu."

— Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1995 Tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Jakarta —Ibu Kota negara yang tidak pernah luput dari incaran investor bidang properti ini menjadi sorotan media salah satunya karena proyek reklamasi yang digadang-gadang oleh mantan gubernur Basuki (Ahok) Tjahaja Purnama. Semenjak ditetapkannya Keputusan Presiden RI No. 52 Tahun 1995 seperti dalam kutipan di atas, polemik reklamasi Teluk Jakarta masih berlangsung hingga saat ini. 

Evi Mariani, jurnalis The Jakarta Post, merunutkan kronologi polemik ini yang berawal dari cita-cita Presiden ke-2 RI untuk membuat Kawasan Andalan di Pantai Utara Jakarta pada tahun 1995, hingga pada tahun 2016 hasil gugatan dari nelayan Jakarta Utara terhadap PT Muara Wisesa Samudra dan Pemerintah DKI Jakarta menghasilkan putusan hakim bahwa proyek reklamasi yang tengah berlangsung ini melanggar hukum. 

Reklamasi Pantai Utara Jakarta bertujuan salah satunya untuk menata kembali kawasan dengan cara membangun untuk menata kembali kawasan pantai dan menjadikan Jakarta sebagai kota pantai (waterfront city). Dengan demikian, diharapkan Pemerintah DKI Jakarta dan pengembang akan sama-sama memperoleh untung dari proyek pengembangan kawasan ini. 

Selain itu, proyek ini juga membuka peluang bagi pengembang-pengembang bisnis properti untuk mendirikan bangunan-banguan megah seperti apartemen, hotel, dan perkantoran yang dapat disewakan kepada warga dan/atau orang asing yang memiliki kegiatan di ibu kota untuk tinggal di pulau-pulau reklamasi ini. Tawaran utama yang diberikan sederhana, yaitu akses menuju lokasi kegiatan (misalnya bekerja atau sekolah) yang lebih praktis bila ditempuh dari kawasan ini menuju pusat kota.

Aksesibilitas dan risiko darurat

Sumber: Dokumen NCICD, 2014
Sumber: Dokumen NCICD, 2014
Dalam desain master plan The Great Garuda—National Capital Integrated Coastal Development (NCICD)— dapat dilihat bahwa pulau-pulau buatan seperti pada gambar dibuat terpisah satu sama lain. Untuk menghubungkan aksesnya, maka dibangun jembatan-jembatan penghubung antar pulau menuju pulau utama (Pulau Jawa). Salah satu jembatan penghubung yang sudah selesai dibangun dan dapat dilewati ialah jembatan yang menghubungkan Pulau G dan kawasan Pluit, Jakarta Utara. 

Akses satu kanal melalui jembatan penyebrangan ini akan menyulitkan ketika situasi darurat, mengingat morfologi pesisir utara Jakarta yang sudah di bawah permukaan laut dan curah hujan yang tinggi ketika musim penghujan. Ditambah lagi apabila terjadi gelombang pasang yang cukup tinggi, sehingga penghuni pulau-pulau buatan tersebut harus mengungsi, maka lalu lintas jembatan penghubung tersebut akan sangat padat sehingga berisiko lebih besar apa bila terjadi bencana.

Dibangun untuk siapa?

Tingginya jumlah penghuni Jakarta di siang hari dibandingkan dengan malam hari memaksa pemerintah untuk berfikir lebih inovatif dalam memfasilitasi penghuni ibu kota agar lebih terjamin tempat tinggalnya. Ahok sering menyebutkan dalam beberapa media bahwa dia ingin memanfaatkan dana-dana investor untuk proyek reklamasi ini sehingga mulai lah digandeng investor-investor asing untuk bergabung dalam tender sehingga wajar saja jika saat ini kita melihat promosi di berbagai media yang menawarkan hunian di kawasan tersebut dengan kisaran harga yang miliyaran rupiah.

Sejatinya, dalam proses pengerjaan proyek ini, tidak hanya melibatkan aspek fisik dari alamnya saja tapi juga segi sosial masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir utara misalnya di Pasar Ikan; kawasan di area Waduk Pluit, Jakarta Utara yang digusur untuk pembuatan giant sea-wall sebagai salah satu langkah proyek reklamasi. Untuk dapat membangun tembok ini, pemerintah bersama pengembang menggusur warga yang tinggal di Kampung Akuarium, Pasar ikan, Jakarta Utara. 

Tidak hanya proses penggusurannya yang mencoba "memindahkan" rumah warga saja yang dipermasalahkan, tapi ini urusan memindahkan "kehidupan" yang sudah dijalani selama puluhan tahun di kampung tersebut.

Sumber: Dokumentasi Eramuslim, Desember 2017
Sumber: Dokumentasi Eramuslim, Desember 2017
Pembangunan giant sea-wall di Pasar Ikan mengakibatkan nelayan di sana kesulitan mencari ikan. Hilangnya rumah mereka juga mengakibatkan hilangnya mata pencaharian mereka. Tidak sedikit juga yang terkena penyakit karena terpaksa tinggal di tenda di dekat puing-puing bekas penggusuran karena tidak ingin pindah ke rumah susun yang disediakan oleh pemerintah DKI Jakarta.

Dengan demikian, siapa yang menikmati pembangunan proyek reklamasi ini? Apakah hanya untuk memuaskan para pengembang atas keberhasilannya menciptakan bangunan megah di pulau-pulau baru? Atau untuk menambah pundi-pundi kas negara karena banyaknya investor yang tertarik untuk mengembangkan kawasan tersebut sementara nelayan dan penduduk asli Jakarta yang sudah puluhan tahun tinggal di pesisir utara Jakarta harus kehilangan rumah dan mata pencahariannya? —MF

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun