Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Menulis gaya hidup dan humaniora dengan topik favorit; buku, literasi, seputar neurosains dan pelatihan kognitif, serta parenting.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

5 Salah Kaprah tentang Memaafkan

22 Mei 2020   23:26 Diperbarui: 22 Mei 2020   23:24 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber ilustrasi : colourbox.com) 

Saya pernah sangat marah karena dikhianati orang lain. Pernah diejek dan dikomentari negatif. Pernah menyesal membantu orang karena ternyata bantuan saya itu dianggap hal lumrah dan biasa saja.

Tapi setelah bergelut dengan segala kejadian itu, saya jadi memahami bahwa semua amarah dan kejengkelan itu bersumber dari diri saya sendiri. Bukankah memang, saya lah yang mengharapkan orang-orang itu setia pada saya, mengharapkan mereka memberi komentar yang baik, menginginkan mereka menganggap apapun yang saya lakukan adalah istimewa, dan karena itu saya mengharapkan penghormatan dari mereka.

Saya lupa bahwa saya tidak akan pernah bisa mengontrol apa yang dipikirkan, dilakukan dan dikatakan orang-orang. Saya hanya bisa mengontrol ekspektasi saya terhadap semua itu. Dan kemarahan yang selama ini meluap adalah dikarenakan ekspektasi itu terlalu besar.

Setelah dianiaya oleh gelombang emosi di awal, dan menyadari ekspektasi-ekspektasi saya yang mungkin terlalu tinggi untuk diraih orang-orang, saya akan diperhadapkan dengan tantangan: apakah akan memaafkan mereka? atau biarkan saja kesalahan itu tenggelam seiring waktu?

Tentu saja pilihan pertama adalah yang ideal, karena dengan memaafkan saya akan melepaskan keluhan dan penilaian saya pribadi dan membiarkan diri saya sembuh lebih cepat dari rasa sakitnya kecewa. Dengan begitu, orang yang melakukan kesalahan itu pun terbebas dari rasa bersalah nya. 

Tapi meskipun teorinya sangat ideal, dalam praktiknya memaafkan hampir terasa mustahil. Karenanya saya perlu lebih dulu menerjemahkan ulang serta memberi indikator apa saja yang termasuk dalam "memaafkan" itu. Belakangan saya menyadari ada 5 hal tentang memaafkan, yang sering disalahkaprahi orang-orang

1. Memaafkan tidak berarti bahwa kita membenarkan tindakan keliru orang lain

Bagaimanapun juga mengejek orang lain adalah hal yang salah. Dan meskipun kita berbesar hati memaafkan orang tersebut, tidak berarti tindakan itu menjadi benar.

Saya selalu memperjelas itu ketika menyampaikan pada seseorang bahwa saya memaafkan nya. Saya akan dengan gamblang menjelaskan apa yang salah dari hal itu. Bagaimanapun juga,  mengevaluasi kesalahan seseorang yang suka mengejek, lebih baik dibandingkan mendapatkan ejekan itu sendiri.

2. Memaafkan tidak berarti bahwa kita harus mengatakan pada orang yang membuat kesalahan bahwa ia sudah dimaafkan (terutama sekali bila ia tidak memintanya)

Sering sekali saya mendengar orang-orang bijak mengatakan, "Tak perlu minta maaf, sejak awal sudah saya maafkan".  Wah, menurut saya itu memaafkan dalam level yang sangat epic.

Memaafkan adalah ranah privat, bukan sesuatu yang harus diucapkan jika itu memang tidak diperlukan. Lain halnya bila si pembuat kesalahan dengan sungguh-sungguh menyampaikan permohonan maaf nya. Tentu akan melegakan jika ia mendengar kita melisankan bahwa ia sudah kita maafkan, bukan?

3. Memaafkan tidak berarti bahwa kita tidak boleh lagi merasakan emosi lainnya yang terkait dengan situasi tersebut.

Memaafkan adalah tindakan berdasarkan kemauan yang diproses di lobus frontalis otak kita, sedangkan emosi diproses di hipotalamus. Dua lokasi yang berbeda yang berarti keduanya tidak perlu saling menyangkal satu sama lain.

Emosi kecewa, sedih, marah dan apapun itu yang diproses hipotalamus harus tetap diafirmasi, atau diterima oleh diri kita seperti adanya. 

Tugas lobus frontalis lah yang mengatur bagaimana kita meluapkan emosi itu dengan cara yang positif dan konstruktif. Memaafkan adalah salah satu respon positifnya. Meskipun saat kita memaafkan kita masih merasakan kedalaman kekecewaan itu. That's okay!

4. Memaafkan tidak berarti kita harus melupakan apa yang telah terjadi

Tentu kita sangat butuh untuk mengingat kesalahan apapun yang terjadi di masa lalu, karena manusia adalah makhluk belajar. Kita mengambil pelajaran dari masa lalu.

Ungkapan forgivable but unforgettable dipajang di jalanan kota Nanjing setiap kali peringatan Nanjing Massacre, yakni peringatan tragedi berdarah pembantaian massal yang dilakukan tentara Jepang di Nanjing pada tahun 1937. Begitupun juga mungkin untuk kejadian-kejadian tragis lainnya yang terjadi di masa lalu yang membawa dampak luas bagi banyak orang. Bisa dimaafkan, tak mungkin dilupakan.

5. Memaafkan bukan sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain. Itu kita lakukan untuk diri kita sendiri.

Beberapa orang merasa memaafkan berarti tentang merelakan kemarahan akan kesalahan orang lain atau dengan kata lain, ini akan selalu melulu tentang orang lain dan bukan kita.

Tapi bagi saya pribadi, memaafkan merupakan capaian tertinggi dari kecerdasan emosi si pemaaf, maka ini bukan hanya tentang orang lain, tapi juga tentang diri kita sendiri.

(Baca juga : Kecerdasan Memaafkan)

Karenanya sebelum memaafkan orang lain, kita sebaiknya memaafkan diri kita sendiri. Lagipula "to forgive is to relieve" , memaafkan berarti membuat lega diri sendiri. Itu nasihat yang sering saya dengar dari orang-orang bijak yang saya temui. Dan memang benar, setiap kali saya memaafkan, hati pun menjadi lega.

Bersiap-siaplah untuk saling memaafkan di Lebaran.

---

Catatan 29 Ramadan 1441H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun