Mohon tunggu...
ERNA FITRIATUN
ERNA FITRIATUN Mohon Tunggu... -

semangat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Inklusif : Peluang bagi Kualitas Pendidikan Anak dan Remaja Khusus

4 Juli 2014   04:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:34 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan inklusif merupakan konsep ideal yang memberikan kesempatan dan peluang sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara. Sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu, Konfrensi Dunia tahun 1994 oleh UNESCO di Salamanca, Spanyol, menyatakan komitmen “pendidikan untuk semua”, komitmen ini menegaskan pentingnya pemberian pendidikan bagi anak, remaja dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan dalam sistem pendidikan reguler serta menyetujui kerangka aksi pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (Ilahi, 2013).

Dalam kerangka aksi UNESCO (1994) semakin membuat masa depan bagi anak, remaja dan orang dewasa yang memiliki keterbatasan fisik maupun mental. Stubbs (2002) menuliskan terdapat satu paragraf dalam pasal 2(dua) yang memberikan argumen sangat inspiring untuk sekolah inklusif :

“Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua; lebih dari itu, sekolah inklusif memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan.”

Kerangka aksi tersebut telah menjadi dasar bagi pemerintah untuk semakin meningkatkan perhatian tehadap pentingnya pendidikan inklusif yang ditetapkan dalam Permen No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa (Peduliinklusi, 2009).. Selanjutnya, untuk pelaksanaan Permen tersebut terdapat pada pasal 4 ayat 1, menyatakan pemerintah kabupaten atau kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatandan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1).

Sejalan dengan permen tersebut, menurut Kustawan (2013) temuan di lapangan menunjukkan masih terdapat kabupaten atau kota yang belum memulai untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif dengan alasan tertentu, misalnya masih terdapat banyak kendala dan hambatan, salah satu hambatan yang sering dirasakan adalah mengenai sumber daya manusia (SDM) yang memahami pendidikan khusus atau pendidikan inklusif dan sistem manajemen atau pengelolaannya yang kompleks sebab memerlukan koordinasi dari semua pihak terkait, hal ini karena pendidikan khusus di sekolah umum atau kejuruan adalah sesuatu hal yang baru dan memerlukan komponen pendukung yang pandangannya tidak semudah membalik telapak tangan. Firdaus (2010) menuliskan pentingmya pemahaman pendidikan inklusif karena jika pendidikan inklusif didefinisikan secara sempit atau didasarkan pada asumsi ‘anak sebagai masalah’ dan jika kemudian definisi tersebut digunakan untuk mengembangkan atau memonitor prakteknya, maka pendidikan inklusif akan gagal dan tidak bersinambungan. Selanjutnya menurut Ilahi 2013, pemahaman terhadap anak berkelainan atau penyandang cacat seharusnya sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan, bukan hanya sebagai upaya memasukkan disabled children ke sekolah reguler dalam rangka give education right dan kemudahan access education, and againt discrimination.

Selain itu, Mujidto, dkk (2012) menuliskan ketidaksiapan sekolah melakukan penyesuaian pada dasarnya menyangkut pada ketersediaan sumber daya maanusia yang belum memadai, disamping pemberdayaan guru umum, juga keterbatasan guru pembimbing khusus (GPK) yang memberikan program pendampingan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus, serta keterbatasan aksebilitas bagi anak berkebutuhan khusus dan rendahnya dukungan warga sekolah dan masyarakat terhadap pendidikan mereka. Seperti yang terlansir pada Suara Merdeka (15 Februari 2014), pendidikan inklusif dirasa belum maksimal karena belum memadainya kualitas guru bagi siswa berkebutuhan khusus.

Ilahi (2013) mengatakan faktor penentu keberhasilan pendidikan inklusif yang tidak kalah pentingnya adalah adanya tenaga pendidik atau guru yang profesional dalam bidangnya masing-masing untuk membina dan mengayomi anak berkebutuhan khusus, sehingga diharapkan tenaga pendidik atau guru yang mengajar hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap tentang materi yang akan diajarkan atau dilatihkan dan memahami karakteristik siswa. Disamping itu, adanya faktor dari guru yang didasarkan pada kompetensi yang dimiliki, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan profesional, maka dengan kompetensi yang dimiliki, guru dapat merancang strategi pembelajarn yang tepat, metode yang digunakan, media juga evaluasi.

Hal berbeda terlihat di lapangan yang menunjukkan kurangnya kualitas guru di sekolah inklusif yang sering menumbulkan kesalahpahaman dengan orangtua siswa berkebutuhan khusus. Hal serupa yang terlansir pada JPNN (29 Januari 2014), Lemahnya pendidikan inklusif bagi guru bisa menyebabkan berubahnya sikap terbuka dari orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Selanjutnya Ilahi (2013) juga menuliskan masih terdapat guru yang perlu dipertanyakan mengenai kualitas dan komitmennya dalam membina dan mengayomi anak berkebutuhan khusus dan secara implementasinya, masih cendrung belum mampu bersikap proactive dan ramah terhadaap semua anak, sehingga menimbulkan komplain orangtua dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan, sedangkan pengharapan tentang seorang guru harusnya mampu mencerminkan sikap kasih sayang, kehangatan, kegembiraan, persahabatan dan sikap-sikap lainnya yang berhubungan dengan motivasi pembelajaran.

Selain guru, terdapat model pendidikan inklusif yang pelaksanaannya berbeda dari pemahaman inklusif sebenarnya, misalnya kelas khusus, oleh Elisa,S & Wrastari,T,A (2013) mendefinisikan Anak berkebutuhan khusus belajar didalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler. Tapi, fakta yang ditemukan masih terdapat siswa berkebutuhan khusus yang selalu berada di kelas khusus selama jam sekolah dan tidak sama sekali belajar didalam kelas bersama anak-anak non berkebutuhan khusus. Model tersebut bisa memiliki dampak yang negatif terhadap siswa berkebutuhan khusus, menurut Dunn (1968) dalam Smith (2012) menekankan bahwa memberikan label kepada anak-anak untuk ditempatkan di kelas-kelas khusus membuat suatu stigma yang sangat destruktif bagi konsep diri mereka, serta pemindahan anak dari kelas reguler ke kelas khusus mungkin memberikan pengaruh yang signifikan pada perasaan rendah diri dan problem penerimaan diri.

Kebijakan sekolah selanjutnya yang kurang tepat juga terdapat pada pelimpahan tanggungjawab guru kelas pada guru pmbimbing khusus (GPK) terhadap siswa berkebutuhan khusus, serta keharusan orangtua anak berkebutuhan khusus dalam penyediaan guru khusus. Ini bertolak belakang dari Permen No 70 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pemerintah Kabupaten atau Kota perlu menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus (GPK) pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif dan bagi sekolah yang belum memiliki guru pembimbing khusus (GPK) perlu bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Provensi dan atau lembaga pendukung pendidikan untuk mengadakan guru pembimbing khusus (Kustawan, 2013).

Selanjutnya menurut Ilahi (2013), inti dari pendidikan inklusif menyangkut persoalan proses pembelajaran yang belum menggunakan sistem team teaching sehingga menjadikan anak berkebutuhan khusus mengalami kesulitan dalam menerima materi pelajaran, mengingat pembelajaran dalam pendidikan inklusif atau setting inklusif harus berhadapan dengan peserta didik dengan keadaan dan kemampuan yang sangat beragam maka pengajaran dengan pendekatan individu dianggap yang paling tepat. Tetapi pada fakta di lapangan menunjukkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif masih menggunakan kurikulum umum untuk anak berkebutuhan khusus.

Kesimpulan

Dari setiap fakta-fakta yang terdapat di lapangna menunjukkan bahwa masih rendahnya kualitas pendidikan inklusif yang sudah berjalan sampai saat ini, sehingga di perlukan kerja sama semua pihak untuk mengupayakan peningkatan kualitas tersebut, walaupun sudah mulai banyak training sosialisasi dan pendidikan inklusif yang di selenggarakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru pendidikan inklusif.

Daftar pustaka:

Elisa, S & Wrastari, T,A (2013). Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusif Ditinjau dari Faktor Pembentuk Sikap. Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pendidikan

Vol. 2, No. 01, Februari 20132

Firdaus, E (2010). Pendidikan Inkluisif dan Implemntasinya di Indonesia (online). Diakses pada tanggal 29 Juni 2014 melalui file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/.../1nkls_Seminar.pdf.

Ilahi,T,M (2013). Pendidikan Inklusif :Konsep & Aplikasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Kustawan, D (2013). Sekolah Manajemen Pendidikan Inklusif : Kiat Sukses Mengelola Pendidikan Inklusif di Sekolah Umum & Kejuruan. Jakarta Timur : Luxima.

Mudjito, Harizal & Elfindri (2012). Pendidikan Inklusif : Tuntutan untuk Guru, Siswa dan Orang tTua Anak Berkebutuhan Khusus dan Layanan Khusus Disertai Tuntutan untuk Pemda danYayasan Pendidikan: Jakarta: Baduose Media.

Mursyid (2014). Pendidikan Inklusi sebagai Solusi (online). Diakses pada tanggal 29 Juni 2014, melalui file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/.../1nkls_Seminar.pdf.

Peduliinklusi (2009). Inklusi, Pendidikan untuk Semua Anak, Pembelajaran yang Ramah, Ramah Terhadapa Kebutuhan (online). Diakses pada tanggal 27 April 2014, melalui file:///G:/peduliinklisi PERMENDIKNAS NO 70 TAHUN 2009 TENTANG INKLUSI.html.

Smith, D,J (2012). Sekolah Inklusif : Konsep dan Penerapan Pembelajaran. Bandung : Nuansa.

Stuub, S (2002). Pendidikan Inklusif : Ketika Ada Sedikit Sumber (online). Diakses pada tanggal 28 Juni 2014, melalui www.eenet.org.uk/resources/.../IE%20few%20resources%20Bahasa.pdf.

Wan (2014). Pendidikan Inklusi Lemah di Guru (online). Diakses pada tanggal 27 Juni 2014, melalui http://www.jpnn.com/read/2014/01/29/213622/Pendidikan-Inklusi-Lemah-di-Guru.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun