Barangkali belum semua pernah mendengar ada sebuah kepulauan di wilayah Sumatera Barat berstatus 3T (terdepan, terluar, dan terpencil) sekaligus wilayah rentan gempa dan tsunami. Sebuah wilayah yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan dilalui lempeng Indo Australia-Eurasia. Lempeng ini aktif bergerak empat sampai enam sentimeter per tahun yang jika mengalami patahan akan memicu gempa bumi berpotensi tsunami.1 Kepulauan Mentawai namanya. Pulau yang juga dirundung rasa khwatir oleh getaran gempa yang menghampiri sekitar Maret tahun lalu.
Wajar saja jika warga di kepulauan ini merasa gentar mengingat letak geografis Mentawai sangat rentan bencana gempa. Belum lagi bencana tsunami berskala 7,2 Skala Richter (SR) setinggi 30 meter pernah terjadi. Tepatnya pada Oktober 2010. Sebanyak 486 jiwa korban meninggal dunia dan 49 jiwa mengalami luka-luka.1
Pada saat kejadian itu, pemerintah dianggap begitu lambat merespon bencana yang terjadi. Kenapa tidak, cuaca ekstrim dan infrastruktur transportasi yang sangat tidak memadai hanya bisa dijangkau jalur laut. Sama halnya dengan infrastruktur komunikasi membuat sulit melakukan koordinasi.
Kepulauan Mentawai sendiri terdiri atas tiga pulau besar yaitu Siberut, Sipora, dan Pagai. Selama setahun lebih saya pun tinggal di Pulau Pagai. Dalam beberapa kesempatan bisa berkunjung ke beberapa dusun relokasi bencana tsunami dan bekas tempat tinggal masyarakat yang dulunya tinggal di wilayah pesisir. Syukurlah, kini dusun-dusun sudah aman. Beberapa dusun misalnya Bulakmonga, Ruamonga, Muntei, Baru-baru, Sabeugunggung dan beberapa dusun di Desa Matobe sudah dipindahkan ke huntara dan huntap di wilayah dataran tinggi.
Pulau penyandang daerah 3T sekaligus rentan bencana ini ternyata memiliki potensi ekonomi kreatif yang dapat dikembangkan. Beberapa wilayah di Kepulauan Mentawai adalah tempat para pemburu ombak untuk berselancar. Sikakap contohnya, saat menaiki kapal ambu-ambu atau sekedar singgah ke pelabuhan tidak jarang saya (kami) berpapasan dengan bule-bule yang akan mengunjungi Macaronis. Itu lhoo, pulau yang dijuluki Paul Walker sebagai surga, aktor utama dalam filemFast and Furious.
Selain potensi pariwisata, komoditas pertanian di pulau ini berkembang subur. Bertandan-tandan pisang dengan harga murah akan diangkut ke Padang setiap jadwal keberangkatan kapal ke Sikakap, setiap Rabu dan Minggu sore. Saya pertama kali memakan durian terbanyak di pulau ini. Durian yang tidak ada saya temui busuk satupun.
Saya baru pertama kali melihat untaian buah langsat menempel lebat di ranting dan batangnya. Bahkan mendapat se-goni langsat dari masyarakat dibayar pakai senyum dan ucapan, “Surak Sabeu, Ukkui/Saina”a. Di pulau ini juga saya makan ikan segar sepuas-puasnya. Apalagi kalau bertemu Subbekb berhiaskan taburan parutan kelapa. Ck! Sungguh menggiurkan.
Paling penting, keramahan dan kemurahan hati masyarakat yang bersahaja dan berseni tinggi membuat hati rindu ingin kembali. Kalau saja masyarakat diberdayakan dan dipersiapkan mengelola potensi yang berlimpah disana pasti mampu memajukan kehidupan mereka. Memperlengkapi wilayah Mentawai dengan infrastruktur komunikasi merupakan salah satu langkah awal untuk mengembangkan ekonomi kreatif ke depan.
Kalau sudah biasa merasakan layanan komunikasi dan internet yang lancar tiba-tiba internet tidak bisa dibuka dari layar ponsel dan berkomunikasi sangat terbatas rasanya seperti jauh dari peradaban. Selama saya tinggal di Pagai, hanya jaringan telkomsel yang hadir di ranah Mentawai. Memang belum sepenuhnya baik ibarat jalan bebek, yah, lelet sekali tetapi hadir saja sudah merupakan bentuk komitmen ikut serta memajukan. Kita buka-bukaan aja ya, Sel.