Mohon tunggu...
Ernip
Ernip Mohon Tunggu... Administrasi - Wanita dan Karyawan swasta

Terima kasih sudah berkunjung!

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Museum dan Suasana Kota Tua di September Ceria

20 September 2017   12:22 Diperbarui: 20 September 2017   18:14 2227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota Tua tampak ceria seperti sebutan bagi bulan ini. Keramaian pengunjung menghidupkan suasana kota. Walaupun kotanya sudah tua tetapi masih tampak segar dengan pemandangan kota sejarah. Dan namanya tua tentu banyak mengandung ceritera pengalaman bermanfaat yang dapat dipetik.

Saya ceritain singkat saja ya karena memang lebih baik berkunjung kesana jika emang bisa. Tapi jika belum sempat atau belum ada kesempatan bolehlah simak cerita saya. Saya coba bercerita singkat dan mudah-mudahan kamu tidak ngantuk. Biar gak ngantuk, perhatikan gambar di bawah ini dan dalam hitungan ke tiga silahkan tidur. Oops... maksud saya melek!

Dokpri
Dokpri
Jadi, awal September kemarin saya ikut menjelajah Kota Tua bersama Clicksiana. Seingat saya waktu itu ada ibu Muthia, pak Ikhwanul serta istri, pak Berty Sinaulan, mas Koko Gio, dan mba Hasanah. Emang cuma segitu sih pesertanya. Hehe.

Pasti kenal dong dengan Kota Tua. Salah satu tempat yang baru afdol dan sah berkunjung ke Jakarta jika sudah ke Kota Tua (Cek lagi di pasal dan ayat berapa nanti). Pula termasuk wisata murah sekaligus kaya akan sejarah. Makanya, Kota Tua terutama di akhir minggu banyak pengunjungnya.

Dokpri
Dokpri
Dari stasiun saja, tempat saya mencapai kota ini, suasana kota yang emang benar-benar tua ini sudah mulai terasa. Bangunan-bangunan  bergaya Eropa begitu mendominasi di wilayah ini. Membuat kita seakan berada di masa penjajahan. Kota ini dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Dulu, kota Batavia ini merupakan pusat pemerintahan VOC.

1. Museum Fatahillah


Tibalah saya di museum Fatahillah menyusul teman-teman yang sudah jalan lebih dahulu. Rute jelajah kami hari itu berawal dari museum yang disebut juga Museum Sejarah. Saya mendapat karcis setelah menunggu antrian. Ternyata banyak juga yang berminat mengunjungi museum ini. Ada beberapa rombongan yang sepertinya pelajar hendak berkunjung membuat minat saya memekar menjelajah di siang terik hari itu.

Sekilas menurut saya berbeda tampak luar dan dalam. Dari luar, Museum Fatahillah tampak megah dengan gaya arsitektur neo klasik. Karenanya saya berpikiran akan ada banyak benda bersejarah yang saya lihat di dalam. Ternyata, ruangan terkesan kosong karena diisi oleh beberapa furniture saja.  Terdapat lemari, kursi, meja, cermin berukuran besar terbuat dari kayu. Beberapa benda sejarah terbuat dari batu.

Museum Fatahillah pernah dipakai sebagai Balai Kota Batavia. Dari dalam kita bisa memandang suasana di luar dari jendela berukuran besar. Pintu-pintu bangunan ini pun dibuat besar dan semuanya tampak kokoh.  

Dari dalam terlihat di taman Fatahillah bekas mata air di halaman depan dan sekarang bentuknya sudah tidak bagus lagi. Bekas air mancur dan pos pertahanan alun-alun kota tepat berada ditengah taman di depan museum ini.

Pintu penjara batu-dokpri
Pintu penjara batu-dokpri
Memasuki halaman belakang, seorang penjaga menunjukkan arah bekas penjara, tepat di bawah tangga. Halaman ini sebagai saksi bisu sejarah muram. Dulunya dipakai sebagai tempat penghukuman mati dan pembantaian massal. Penjara batu 1840-an setengah bola berbentuk goa kecil dengan ketinggian kira-kira 160 cm. Bisa dibanyangkan bagaimana tahanan tinggal di ruangan gelap dengan sedikit cahaya masuk melalui jendela disekat besi.

2. Museum Seni dan Keramik

Museum seni dan keramik-dokpri
Museum seni dan keramik-dokpri
Museum ini diinisiasi pada tahun 1866, selesai di bangun pada 1870 lalu dipakai sebagai Gedung Peradilan (Raad Van Justice). Melalui sejarah panjang Pada tahun 1976 sebagai Gedung Balai Seni Rupa. Pada 1997 Bapak Ali Sadikin meresmikan gedung sebagai museum keramik.  Kemudian pada tahun 1990 diresmikan sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik.

Museum ini rasanya luas sekali dengan ruangan menurut koleksi masing-masing. Terdapat aneka macam keramik dengan corak masing-masing menurut seni dan budaya negara asalnya.

Dispenser keramik-dokpri
Dispenser keramik-dokpri
Selain koleksi keramik, benda seni bersejarah lainnya bisa ditemukan di museum yang juga masih wilayah Kota Tua ini.  Koleksi seni rupa lainnya seperti patung, totem kayu, grafis, sketsa, dan batik lukis terdapat disini.

Pun sejarah tentang seni lukis. Beberapa profil beberapa pelukis seperti Raden Saleh Syarif Bustaman mengisi museum ini.

Lagi-lagi saya menemukan tentang lukisan Mooi Indie. Sebuah keterangan di dinding menjelaskan,

"Istilah Mooi Indie muncul di awal abad ke 20 untuk menandai keelokan lukisan pemandangan alam Hindia Belanda (Pada masa itu banyak pelukis datang ke Hindia Belanda (sekarang Indonesia) karena tertarik keindahan alamnya dan eksotisme wanita maupun pria pribumi..."

Menarik juga, hari itu saya bisa menyaksikan karya lukis Srihadi Soedarsono yang menggambarkan Jayakarta sejak tahun 1527-1970. Lukisan ini kami saksikan di dinding sebuah ruangan. Pintu dimana terdapat patung Raden Saleh Sjarif Boestaman (Maestro of Indonesia Modern Art).

Lukisan Air Mancur karya Srihadi Soedarsono-Dokpri
Lukisan Air Mancur karya Srihadi Soedarsono-Dokpri
Ada kisah tentang lukisan berjudul Air Mancur tersebut. Lukisan yang sempat membangkitkan amarah Gubernur Ali Sadikin sehingga mencoret-coretnya menggunakan spidol hitam. Gubernur Ali Sadikin merasa keberatan sebab lukisan Jakarta bernuansa promosi Jepang. Melihat ada banyak papan reklame Jepang dalam lukisan itu.

Singkat cerita, beliau meminta maaf pada pelukisnya. Lalu meminta supaya Srihadi membuat sebuah karya untuk mengisi tembok gedung Balai Kota DKI Jakarta yang bersih. Jadilah lukisan Jayakarta di atas.

3. Museum Wayang

Seharusnya ketika berkunjung ke museum ini saya tidak akan merasa greget karena ada banyak "boneka". Serius, boneka bukanlah barang yang saya gemari sebagai perempuan. Justru keberadaan boneka sedikit mengganggu karena saya selalu pikir mereka sedang mendengar dan melihat.  

Museum Wayang-Dokpri
Museum Wayang-Dokpri
Berbeda saat berada di museum ini, justru keanekaragaman budaya berkumpul dari berbagai daerah membuat diri kagum. Banyak jenis wayang yang dipajang. Kesan pertama dari sepasang wayang raksasa menggambarkan kepribadian pribumi yang ramah dan penuh hormat dengan pakaian khas batik mereka kenakan.

Wayang raksasa-dokpri
Wayang raksasa-dokpri
Museum yang adalah bangunan Gereja Belanda pada 1640 merupakan tempat berkumpulnya beraneka wayang dari seluruh nusantara. Ada wayang manusia raksasa hingga berukuran standar, ada wayang golek, kulit,kardus, wayang rumput, wayang janur, topeng, boneka, wayang beber dan gamelan. Boneka Si Unyil yang terkenal hingga sekarang pun ada.  

Wayang dari berbagai negara dikoleksi juga di dalam museum ini. Wayang dari Amerika, Inggris, Prancis, India, Thailand, Vietnam, Polandia, China, dll.

Dokpri
Dokpri
Selain melihat sejarah melalui benda-benda yang tampil, ada banyak aktivitas dan fasilitas tersedia pada setiap museum dapat diikuti. 

Pun di luar gedung bagian depan bangunan-bangunan seperti di halaman luas Museum Fatahillah (Taman Fatahillah) dan sekitarnya juga menawarkan kegiatan menarik.  Terdapat karya seni di sepanjang pelataran, para penjual baju, pernak-pernik, dan kuliner sambil menikmati suasana kota sejarah.  

Ketika berkujung ke Kota Tua akan banyak berjalan kaki,  sehingga pakailah outfit yang nyaman, terutama alas kaki yang pas. 

Demikian cerita saya.

Dokpri
Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun