Mohon tunggu...
Denny Boos
Denny Boos Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Perempuan asal Tobasa. Menyukai hal-hal sederhana. Senang jalan-jalan, photography, sepedaan, trekking, koleksi kartu pos UNESCO. Yoga Iyengar. Teknik Sipil dan Arsitektur. Senang berdiskusi tentang bangunan tahan gempa. Sekarang ini sedang ikut proyek Terowongan. Tinggal di Berlin.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Solo Travelling Wanita di Eropa, Kenapa Tidak?

14 April 2016   16:10 Diperbarui: 14 April 2016   20:39 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="(Merasakan keindahan dan petualangan seperti di foto ini yang membuatku selalu ingin travelling. Dari Kiri ke kanan, Austria- Czech republic – Norwegia)"][/caption]"Apa nggak takut kuliah di Dresden?" Itu dulu pertanyaan keluarga dan teman-teman ketika tau aku memutuskan kuliah disalah satu kota di bagian timur Jerman itu. Kuterima pertanyaan kekuatiran tersebut sebagai bentuk perhatian tulus terkait dengan issue yang terdengar bahwa rasis itu cukup tinggi di sana.

Aku tidak ingin membahas hal tersebut, masalah rasis itu ada dimana-mana. Sejauh yang kualami baik-baik saja dan tidak ikut dalam prakteknya, sepertinya hal ini tidak perlu dibesar-besarkan.

Eropa dan Solo Travelling Wanita

Pertanyaan yang sama juga dilontarkan ketika aku ingin melakukan solo travelling, "apa nggak takut jalan sendiri? Apalagi, perempuan gitu..."

Aku tidak mengatakan Eropa lebih aman dari negara lain, tapi sejauh ini aku masih merasa aman travelling sendiri di sini. Ada pengalaman buruk, tapi banyak pengalaman yang baik dan berharga. Travelling solo di Eropa pertama yang kulakukan adalah mengunjungi Barcelona-Pisa-Valencia-Roma dalam satu rangkaian perjalanan. Saat itu, liburan musim panas perkuliahan, aku memutuskan untuk solo travelling.

Bosan dan garing sendiri adalah masalah utama solo travelling. Tapi aku merasa, justru waktu kesendirian itu bisa dipakai menulis atau membaca, me-review kegiatan seharian di saat usai perjalanan sehari. Lalu, teman bicara? Tidak udah kuatir, kita akan menemukan banyak travellers lainnya yang siap diajak bicara. Niat dan ketulusan akan tetap berbicara. Orang-orang sekeliling, bagaimanapun juga, akan terbaca. Dan juga, disitu lah seninya sebuah cerita perjalanan, bukan? Maksudnya, harus bisa tetap menikmati perjalanan walau sendiri, yang penting dipersiapkan. Seru kan, habis travelling dapat kenalan baru?

[caption caption="(Wanita Argentina, kenalan baru saat dari bandara Jerman. Kami kemudian berpisah di Barcelona)"]

[/caption]

 

Persiapan yang Matang

Seperti ketika kita menjalani kehidupan, ada masa dimana kita juga perlu sendiri dalam memikirkan, memutuskan dan melakukan sesuatu. Karena di sana, kemandirian kita teruji. Travelling solo itu sama. Karena itu, ada baiknya sesekali dilakukan (dicoba). Sekaligus menguji kemandirian, karena sejujurnya, setelahnya, ada banyak hal yang kita dapatkan.

Iya, menurutku, travelling solo itu ibarat sekolah tidak formal dengan banyak jurusan. Kita harus bisa memilih perjalanan yang ekonomis (tiket, penginapan dan biaya perjalanan), kita harus bisa merangkap jadi planner (biaya, waktu dan tempat kunjungan), kita juga harus bisa jadi decision maker (ketika ada hal yang tidak terduga), juga harus pintar berinteraksi (karena ini tidak hanya persoalan bahasa).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun