Sebuah sore yang aku lupa hari apa. Sore yang berangin. Dusun Sembilang. Sebuah tempat yang jauh dari Palembang. Dusun yang berdiri sebelum terbentuknya Taman Nasional Sembilang. Pada salah satu sudutnya, aku melihat seseorang sedang memandang ke muara sungai. Sungai Sembilang yang bermuara ke laut Cina Selatan dan Selat Bangka.
Dari kejauhan bayangan seseorang itu terlihat bak sebuah siluet. Siluet yang entah kenapa manis juga ritmis di mataku. Siluet yang mau tak mau kupandangi lekat-lekat. Kukira, angin muara yang datang dari Laut Cina Selatan itu yang menggerakkan kepalaku untuk melihat pada pemandangan manis itu. Tak kunyana, seseorang itu berjalan ke arahku. Langkahnya cepat. Sangat cepat hingga aku tersentak, dan ia telah begitu dekat. Bahu kami nyaris bertemu, kalau saja aku tak beringsut. Rupanya dia.
Namanya Rumi. Baru sebulan dia tiba di dusun ini. Kulit putih bersih dengan lesung pipit. Wajah agak oval dengan mata bulat. Perawakannya, tinggi tapi bukan kutilang. Sintal tapi tak terlalu sintal. Kami di dusun ini menyebut penampilan seperti itu "Semohay". Itu julukan yang diberikan para lelaki dusun ini pada perempuan yang bisa membuat kami berdecak dan sedikit ternganga.
Telah hampir sebulan Rumi menjadi bahan perbincangan warga Dusun ini. Bukan saja karena ia semohay itu. Tapi lebih karena ia janda. Janda Kembang dari Palembang. Para laki-laki memandangi dengan pandangan agak nakal. Sedangkan perempuan, pandangan mereka ganjil. Betapa curiganya mereka dengan Rumi.
Rumi tinggal di rumah Bu Imah, satu-satunya bidan di Dusun Sembilang. Tak jauh dari sekolahku. Suara angin telah menyebar bahwa Rumi baru bercerai dari suaminya. Entah karena alasan apa. Dengar-dengar sang suami telah berselingkuh dan Rumi tidak ikhlas hingga akhirnya menggugat cerai sang suami. Dengar-dengar lagi, Rumi tak lagi merasa betah tinggal di Palembang. Oleh sebab itu Rumi nekat ke Sembilang tinggal bersama bu Imah, bibinya itu.
Oh, rupanya Rumi masih berada di depanku. Tepat di depanku. Kelihatannya dia memang berniat menemuiku. Tengah aku bersiap menegurnya,
"Maaf, betulkah kakak ini Pak Rusli?", dia bertanya sambil menyebut namaku
Aku mengangguk
"Maaf, betulkah besok pagi kakak akan ke Palembang?"
Aku mengangguk lagi
"Maaf, bisakah saya minta tolong sesuatu..?"