Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen | Dosa Terakhir

31 Juli 2017   09:03 Diperbarui: 31 Juli 2017   17:08 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah sudah berapa kali ia membenturkan kepalanya pada dinding yang kusam itu. Berpuluh kali, mungkin. Tapi anehnya, ia tidak merasakan apa-apa, tidak ada rasa sakit. Bahkan saat isi kepalanya berhambur keluar melalui ubun-ubunnya, ia tetap tampak baik-baik saja.

Barulah ia merasa sedikit terguncang ketika melihat isi kepalanya menguar melayang-layang di udara merupa gumpalan-gumpalan asap. Perlahan tubuhnya yang semula tegap menggelosoh, terpekur tak berdaya di sudut ruangan. Ia tak tahu lagi harus melakukan apa. Berbuat apa. Seluruh inderanya mendadak melemah. Jiwanya kosong. Hampa. Hanya kedua bola matanya yang masih berfungsi, menatap sepotong demi sepotong gumpalan asap yang mengitarinya.

Satu gumpalan meluruh ke arahnya. Menampar wajahnya yang dingin. Gumpalan asap itu menggeliat membentuk sketsa wajah yang amat sangat dikenalnya. Wajah renta penuh guratan.

"Hidup dan karierku sukses, karena aku gigih!" terngiang kata-katanya sendiri. Kata-kata yang pernah ia ucapkan beberapa tahun silam ketika dirinya baru saja dilantik menjadi pejabat penting di daerah. Ia berdiri di atas podium, angkuh. Ia abaikan sosok tua yang meringkuk di pojok ruangan dengan mata basah.

Itu air mata Ibu, bukan luapan dendam. Air bening yang jatuh adalah rintik doa yang tak berkesudahan meski sang anak, tanpa hati---tega melupakannya.

Ia menepis gumpalan awan itu dari wajahnya. Sesaat kenangan lenyap.

Satu gumpalan, ukurannya lebih kecil bergerak cepat menyasar pada dada kirinya. Ia tak bisa lagi menghindar. Jantungnya tertabrak dan hancur berkeping. Sekelebat matanya menangkap gumpalan asap itu merupa seraut wajah. Wajah  yang selama ini setia mendampinginya, namun sama sekali tak dianggapnya.

"Kesibukanku kian bertambah. Jika aku jarang pulang, kuharap kau bisa mengerti dan memaklumi," suaranya sendiri bergema memenuhi rongga dada yang remuk redam.

"Tak ada salahnya curang sedikit. Cuma sedikit, toh tidak ada yang tahu," gumpalan asap berwarna abu-abu menukik dan menyambar ujung pelipisnya. Lalu gumpalan yang lain bersliweran. Bertabrakan tepat di atas ubun-ubunnya.

Lelaki itu itu berdiri sempoyongan. Ia berjalan perlahan menuju dinding dan membenturkan kepalanya sekali lagi di sana, bertubi.

"Mintalah ampun kepada Ibumu yang telah kau sia-siakan. Bersimpuhlah di kaki istrimu yang telah kau khianati, menangislah untuk nyawa-nyawa generasi yang telah kau racuni dengan narkoba, dan muntahkan isi perutmu karena telah kau isi dengan uang haram---uang hasil merampok rakyat!" Gumpalan awan serupa kristal, bercahaya, bentuknya runcing semirip pedang menghujam tepat pada ulu hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun