Aku tidak punya pilihan lain, kecuali harus menuruti kehendak Ibu. Meski kehendak itu berseberangan dengan hati kecilku, namun rasa sayangku kepada Ibu mengalahkan segalanya. Apalagi ketika mengetahui, Ibu mengidap penyakit jantung.
“Jadi kau lebih sayang kepada Ibumu ketimbang aku, Peb?” Dessy menatapku dengan pandang kecewa. Ada genang air dari balik kacamatanya yang nyaris jatuh.
“Maafkan aku, say....”
“Jangan ber-say lagi padaku. Kamu jahat!” Dessy menggigit bibir. Dan genang air itu pun akhirnya luruh. Membasahi kedua pipinya. Ingin sekali aku memeluk dan menghapus air matanya. Tapi aku tahu, ia pasti akan menolak.
“Peb, pergi dari hadapanku. Sekarang juga!” Dessy membuang muka. Ia terlihat benar-benar marah. Dan aku tidak ingin memperkeruh suasana.
Agak berat kulangkahkan juga kakiku meninggalkan Dessy, kekasihku, tanpa ucapan selamat tinggal.
***
Ibu menyambutku dengan senyum sumringah. Meski masih terbawa perasaan usai pertemuanku dengan Dessy sore tadi, di hadapan Ibu aku berusaha bersikap biasa-biasa saja.
“Peb, calon istri pilihan Ibu, malam ini akan datang. Ia akan belajar melayanimu,” Ibu berkata riang.
“Melayaniku?”
“Iya. Sebagai calon menantu, ia wajib melewati beberapa ujian. Salah satunya belajar melayanimu dengan baik.”