Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Aku, Ombak yang Berdesir Itu

18 November 2018   09:05 Diperbarui: 21 November 2018   02:13 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:absfreepic.com

Ketika kau merindukan bau pesisir pantai. Aku yakin. Kau pasti juga akan merindukan aku. Aku yang dulu pernah berlari-lari kecil tidak saja di hadapanmu, tapi juga di hatimu.

Masih bisa kuingat dengan jelas. Bagaimana kau duduk tenang menikmati udara senja. Membiarkan kedua kakimu basah oleh jilatan lidah ombak yang datang hilir mudik. Berkejaran. Seraya sesekali kau melempar segenggam pasir. Tepat ke arahku.

"Ini genggaman pasir yang ketiga belas!" kau berseru, lantang, berlomba dengan suara deru angin. Aku tertawa. Sebab aku tahu kau akan selalu mengatakan hal itu. Tentang angka tiga belas itu. Angka yang selama ini amat kubenci sekaligus kutakuti.

Aku juga tahu. Bahwa kau menikmati setiap ketakutan yang kutunjukkan padamu. Kau bilang, saat aku merasa takut, wajahku yang pucat tampak cantik sekali. Seperti bulan kesiangan, pujimu. Lalu kau segera beranjak, memeluk bulan kesiangan itu. Dengan pelukan terhangat yang pernah dimiliki oleh seorang manusia. Sebab kupikir, selama ini peluk paling hangat hanya dimiliki oleh matahari. Selebihnya tak ada yang mampu menandingi.

Sejak bertemu denganmu, memang kutemukan banyak hal menakjubkan. Aku yang selama ini amat membenci bunyi dering telpon--terutama saat sedang tidur, tiba-tiba saja tidak pernah lagi mematikan ponsel. Membiarkan benda itu aktif sepanjang malam. Berharap mendengar suaramu memanggil-manggil namaku. Entah itu nyata atau hanya di sela dunia mimpi.

Bukan hanya itu, aku tiba-tiba tidak merasa takut menghadapi apapun. Termasuk hidup yang kejam ini dan juga orang-orang di sekelilingku dengan lidah mereka acap kali menyembur bisa yang amat berbahaya. Yang sering tanpa kusadari perlahan membunuh langkah dan karakterku.

Bagiku kau adalah sebuah keajaiban.

Sampai akhirnya angka tiga belas itu kembali menghantuiku.

Kau pasti mengerti sekarang. Mengapa aku sangat membenci dan takut pada angka yang dikeramatkan banyak orang itu.

"Ini operasi jantung ketiga belas yang harus kujalani," ujarku padamu. Semacam keluh.

"It's oke. Kau akan baik-baik saja. Tak perlu takut," sahutmu seraya melingkarkan lengan pada pundakku yang mendadak dingin dan bergetar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun