Senja belum bergulir. Matahari masih memancarkan sinarnya meski tidak terlalu terik. Â Aku terpekur di ambang jendela. Suara tawa anakku, Erika, terdengar ceria dari ruang tengah.
Kupandangi kalender yang terpampang di dinding. Astaga, ini sudah tanggal dua belas September. Bukankah besok hari ulang tahun Ibu?
Bergegas aku menuju meja kerjaku. Meraih sebuah pena dan secarik kertas. Kalimat apa yang akan kutulis untuk pengantar kado Ibu besok? Tanganku belum juga bergerak. Belum kudapatkan satu ide pun. Aku tercenung, lama, hingga suara tangisan Erika mengalihkan konsentrasiku.
Aku berdiri menghampiri buah hatiku yang tengah merengek-rengek di dalam gendongan Bik Sumi.
"Mau bobok, Nyah. Agak rewel," Â Bik Sumi mengadu. Aku segera mengambil alih, menggendong Erika dan meninabobokkan bayi mungilku itu. Sebait lagu yang dulu sering dilantunkan Ibu saat aku masih kecil, kuperdengarkan lagi di telinga Erika.
Kupandangi wajah Erika yang cantik. Wajah yang masih polos tanpa dosa. Lamunanku semakin tertuju pada Ibu. Mungkin seperti inilah dulu Ibu menyayangiku, seperti aku menyayangi Erika, tak bisa diukur dengan apa pun.
Anganku mengembara mundur ke beberapa tahun silam, saat usiaku masih remaja, saat aku belum merasakan bagaimana suka dukanya menjadi seorang Ibu.
Betapa durhakanya aku kala itu. Acap kali aku melukai perasaan Ibuku, perempuan yang telah melahirkan dan membesarkanku. Begitu sering aku membuat air matanya tumpah.
Semua gara-gara kehadiran Dani, laki-laki tampan yang membuat hatiku luluh dan rela menentang nasehat Ibuku sendiri.
"Feni, tolong dengarkan Ibu, Nduk. Jangan berhubungan lagi dengan Dani. Dia sudah berkeluarga. Jangan menjadi perusak rumah tangga orang lain," tegur Ibu saat mengetahui hubungan terlarangku dengan Dani.
"Dani sudah tidak ada kecocokan lagi dengan istrinya, Bu," sahutku ringan tanpa beban.