Oh wabah virus corona, mengapa ada saja yang membuat orang melarat kian melarat. Dalam keadaan normal saja sulit mencari penghidupan. Harus berjuang mengukur jalan. Apalagi ada wabah begini.
Setiap orang dicurigai akan jadi penular. Mendekat pun tak berani. Apalagi menyantap sajian saya. Soto lamongan yang saya jajakan hampir tak laku. Masak setengah hari hanya sekian mangkuk yang terjual.
Apakah di mangkuk saya ada virus coronanya? Apakah semua orang yang ada di jalanan menjadi penyebab tersebarnya virus corona. Tak sampai otak saya memikirkannya.
Kalau tak keliling menjajakan dagangan saya. Harus menunggu di rumah, siapa yang mau membeli. Kantor tutup, sekolah tutup, saya harus jualan di mana? Padahal biasanya menjelang makan siang saya mangkal di depan perkantoran.
Pada saat jam istirahat saya mangkal di depan gedung sekolah. Sambil menunggu kalau ada orang tua siswa yang menunggu anaknya pulang. Mereka sempat berbelanja. Kini semuanya tak ada.
Saya tidak sendiri mengalami nasib begini. Ada ribuan pedagang lain. Bagaimana nasib mereka? Ada pedagang cilok, pentol, es cendol, es dawet, es godir, es kelapa. Tak sedikit warteg di pinggir jalan yang pada kindisi normal sepi pembeli. Apalagi sedang ada wabah begini.
Memangnya salah kami apa? Kami semua tak pernah ke luar negeri, seperti orang kaya. Dengan uang banyak mereka melancong ke mana saja. Sesuka hatinya. Dan ketika datang ke tanah air membawa virus corona di tubuhnya. Kami harus ikut menderita menanggung akibatnya.
Kalau bagi yang kaya, gampang. Aksi borong bahan makanan di mall dan market besar. Setelahnya duduk manis sambil menonton televisi atau main game seharian tak mengapa. Mainan media sosial tak ada yang melarang. Tak bakal kelaparan.
Sementara kami, pada pedagang keliling bagaimana? Mencari uang hari ini untuk dimakan hari ini. Jika harus libur, tak boleh ke luar rumah kami harus mencari utang ke mana? Kami tak tahu berapa lama kondisi ini akan terus begini.
Kami tahu kalau dengan mendekati orang yang tak dikenal besar peluang akan tertular. Jangankan membeli sabun antiseptik dan memakai masker. Membeli beras untuk makan sehari-hari saja harus berkuah keringat dan membanting tulang. Kadang cukup kadang tidak.
Apakah nasib orang miskin harus lenyap karena virus corona suatu ketika? Entahlah. Bagi kami penyakit apa pun bisa membuat kami mati. Kolera, demam berdarah, types, malaria, dan lainnya karena memang biaya berobat mahal. Kalau dahulu ada BPJS yang diperuntukkan bagi warga miskin, sekarang sangat sulit pengurusannya.
Jadi bagi yang miskin, sepertinya tak boleh sakit. Kalau mau mati, mati saja. Padahal Undang Undang Dasar telah mengatur. Fakir miskin dan anak yatim dipelihara oleh negara. Negara yang mana?
Jangankan akan dipelihara, untuk berjualan di pinggir jalan saja setiap hari harus main petak umpet dengan petugas ketertiban umum. Tak sekali dua lapak, rombong dagangan diangkut tak berperikemanusiaan. Malah sepertinya lebih hina dari sampah. Sampah saja boleh berserakan di jalan tak dibersihkan. Sementara kami tak mengemis, kami hanya mencari sesuap nasi untuk anak istri. Bagaimana ini?
Lalu kalau lockdown diberlakukan seperti apa jalan keluarnya? Haruskah kami meminta-minta ke tetangga agar bisa makan? Dalam batas waktu yang tidak ditentukan.
Orang kaya dengan mudah menganggap kami tak peduli wabah corona. Kami semua tak ada yang memakai masker, karena memang tak sanggup membeli masker. Mereka memandang sambil mencibir, padahal kami bukan penyebab datangnya corona di negeri ini. Kelompok orang kayalah yang pelesiran enak-enakan. Sementara kami menanggung akibatnya.
Sementara aparat pemerintahan meyakinkan akan menyediakan ruang isolasi bagi penderita corona? Memangnya jika virus corona menyebar pada kami, masyarakat miskin ini akan dideteksi?
Mendeteksinya dari mana? Jangankan hanya deman dan batuk, yang lebih parah dari itu kami dibiarkan saja. Banyak tetangga yang lumpuh lemas karena penyakit tumor, kanker, kurang gizi, tergeletak kesana kemari mencari donasi.
Saya tak benci pada mereka yang kaya. Nasib baik telah mengelilinginya secara turun temurun. Kami juga miskin, nasib jelek menjadi sahabat kami secara turun temurun.
Demikian juga kami yakin, pemerintah memiliki orang pintar. Negarawan yang peduli keselamatan rakyat ini. Menyejahterakan rakyat bekerja hampir 24 jam dalam sehari. Tolong kali ini perhatikan kami.
Kami rakyat negeri ini juga punya hak atas sekehatan, atas keselamatan, atas kesekahteraan. Jika ada yang mengatakan kami miskin karena kurang pendidikan, kami akui. Bagaimana akan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, jika akses terbatas untuk kami.
Jika ada yang mengatakan kami miskin karena malas. Kami tidak malas. Bahkan sebelum orang kaya terbangun, kami telah bertarung melawan dinginnya malam. Melawan panasnya terik matahari.
Lalu apa yang kami dapatkan? Yang kaya terus saja semakin kaya dan menikmati seluruh fasilitas yang ada. Sementara kami yang miskin hanya melongo melihat mereka. Semakin hari himpitan hidup semakin membuat kami susah bernapas lega.
Maka dari itu, kalau Lockdown bagaimana nasib kami, Pak? Pertanyaan ini untuk semua pihak yang berkepentingan di negeri ini. Termasuk orang kaya yang begitu takut karena virus corona. Carikan kami solusi agar kami bisa hidup dan makan hingga esok pagi saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H