Secangkir kopi hitam yang kau tuang, kunikmati bersama keindahan senyummu. Disuatu senja di beranda, kita menghabiskan waktu, menunggu magrib tiba. Bercengkrama, kita berbincang tentang hal-hal sederhana, tentang mau berapa anak kita.
Rasanya, Surga seperti turun ke rumah kita. Tak butuh berpuluh-puluh bidadari, cukup engkau seorang, isteri solehah bidadari terindah.
Aku menjadi pria yang sempurna, dengan segala kekurangannya, sebab engkau yang menjadi pelengkap segalanya. Kupanggil engkau “sayangku, penyempurna agamaku” , wajahmu jadi bersemu lantaran malu-malu. Takkan jemu aku memandangimu. Engkaupun memanggilku “cintaku, imam dunia-akhiratku”.
Subhanallaah…., kita benar-benar telah disurga, dengan segala kesederhanaan yang kita punya. Cinta ini, telah menjadikan rumah kita, Surga bagi penghuninya.
Tetapi, aku telah memilih untuk kalah. Pasrah pada keadaan ini. Aku memilih menyerah, sebelum sempat semua ini aku perjuangkan. Surga yang pernah kita impikan bersama, kini haruslah sirna. Kita tak lagi menjadi “sayang” dan “cinta”. Aku menjadi pendengki, dan kamu jadi pecemburu.
Jika sekali saja, Tuhan mengizinkanku memanggil namamu. Kupanggil engkau “Dinda” , dengan segenap cinta yang masih tersisa. Bukan lagi “sayang” , tetapi percayalah, engkau tetaplah mutiara dihati. “Dinda…”, gapailah Surga-mu sendiri. Jangan pernah berhenti menjadi bidadari, meski yang disampingmu bukan lagi aku. Usah engkau mengingatku dalam hari-harimu. Cukup engkau tahu, jika doa-doa yang dikirim ke rumahmu, adalah dari “Aku” .
gunungkidul, 21 April 2017.
*****
Tulisan ini kupersembahkan untuk seseorang yang sampai saat ini belum mau menikah, sebelum menyaksikan aku menikah duluan. Aku hanya bisa memohon maaf, beribu-ribu maaf. “Biarlah cerita kita tersimpan dalam dilubuk hati tanpa harus menepis cinta yang lain. aku mohon, hapuskan janjimu dan segeralah menikah. Bukankah sudah ada seseorang yang baik akhlaqnya, dan bersungguh-sungguh ingin menikahimu !!!” . Aku telah menghalalkan janjimu……..
Facebook: Eko Bagiyo Pache