Mohon tunggu...
F H. Wismono
F H. Wismono Mohon Tunggu... Ilmuwan - Seorang ASN di sebuah Lembaga Pemerintah Non Kementerian

Aku ingin menjadi bintang dilangit.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membentuk Aparatur Sipil Negara (ASN) yang Kompeten

28 Desember 2015   13:57 Diperbarui: 28 Desember 2015   15:31 8318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Fani Heru Wismono

Pendahuluan

Tuntutan reformasi birokrasi saat ini jelas bahwa aparat birokrasi harus dapat bersikap dan berperilaku seperti yang diinginkan masyarakat, yaitu pemberian pelayanan publik yang mudah, murah, cepat, tepat waktu, serta tidak berbelit-belit (Dwiyanto et.al., 2006:235). Oleh karena itu, perlu adanya perubahan orientasi, cara berpikir, dan bertindak dari seluruh aparat birokrasi dalam menghadapi perubahan lingkungan internal dan eksternal yang dinamis. Penguatan manajemen sumber daya aparatur menjadi tantangan bagi birokrasi modern yang berorientasi pada pelayanan publik.

Terdapat beberapa kelemahan dalam sistem manajemen sumber daya aparatur, seperti yang disinyalir oleh Keban (2004:17), antara lain: (1) lebih menonjolkan sisi administratif dari pada sisi manajemen khususnya manajemen sumber daya manusia modern; (2) lebih bersifat sentralistis sehingga kurang mengakomodasikan nilai efisiensi dan efektifitas dalam pencapaian tujuan organisasi dari masing-masing instansi baik di pusat maupun daerah; (3) tidak terdapat prinsip check and balance dalam penyelenggaran manajemen kepegawaian sehingga mendorong terjadinya duplikasi baik di tingkat pusat maupun di daerah yang akhirnya menghambat prinsip akuntabilitas; (4) kurang didukung oleh sistem informasi kepegawaian yang memadai sehinga berpengaruh negatif pada proses pengambilan keputusan dalam manajemen kepegawaian; (5) tidak mampu mengontrol dan mengaplikasikan prinsip sistem merit secara tegas; (6) tidak memberi ruang atau dasar hukum bagi pengangkatan pejabat non karier; (7) tidak mengakomodasikan dengan baik klasifikasi jabatan dan standar kompetensi sehingga berpengaruh negatif terhadap pencapaian kinerja organisasi dan individu; (8) keberadaan Komisi Kepegawaian Negara kurang independen dan tidak jelas kedudukannya.

Membahas mengenai aparatur tentu tidak lepas dari teori Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), dimana aparatur memiliki peran strategis dalam menggerakkan organisasi pemerintah. Nawawi (2006) membagi MSDM menjadi dua kelompok yaitu, MSDM dalam artian makro dan mikro. MSDM dalam arti makro terlihat dari berbagai kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar lebih produktif dan mampu bersaing dikancah global. Pelaksanaan dari kebijakan tersebut terlihat dari penyelenggaraan pelayanan publik (public service) kepada seluruh lapisan masyarakat sebagai upaya pendukung dalam pencapaian sumber daya manusia yang berkualitas.

MSDM dalam arti mikro merupakan suatu proses atau rangkaian kegiatan pendayagunaan SDM yang bekerja dilingkungan suatu organisasi/ institusi, agar memiliki kontribusi berkelanjutan dan terarah dalam mewujudkan tujuan organisasi. Perbedaan MSDM di lingkungan organisasi yang mengejar profit adalah fokus pada efisiensi dan efektifitas kinerja dalam rangka memaksimalkan laba. Sedangkan untuk organisasi non-profit seperti instansi pemerintah dan berbagai jenis organisasi kemasyarakatan, Manajemen SDM ditujukan pada pemberian pelayanan publik yang semakin baik atau bisa dikatakan sedang mencari model efektifitas dan efisiensi terbaik bagi kegiatan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan umum.


Perubahan internal dan eksternal di dalam organisasi, serta adanya ketidak pastian dalam menghadapi masa depan menuntut organisasi untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengelola SDM sebaik-baiknya. Oleh karenanya di era reformasi birokrasi saat ini, tepat bila Lengnick-Hall & Lengnick-Hall (2003: 33-43) menyampaikan bahwa peran MSDM tidak lain dimaksudkan untuk merespon perubahan lingkungan dengan segala macam tantangan dan tuntutan yang ada di dalamnya. Melalui peran yang baru, MSDM memiliki misi dalam menyajikan layanan bagi SDM (human capital steward), memberi fasilitasi berupa pengetahuan bagi SDM (knowledge facilitator), membangun interaksi kondusif bagi semua pihak (relationship builder), serta memiliki keahlian yang ter-spesialisasi dalam mengatasi setiap masalah organisasional secara tepat dan cepat (rapid deployment specialist). Berbagai macam persoalan yang muncul dalam era yang sedang mengalami perubahan secara drastis ini diharapkan dapat dipecahkan melalui apa yang disebut oleh Irianto (2011) sebagai konvergensi peran MSDM. Unit fungsional MSDM tidak sekadar berputar pada penanganan masalah teknis, namun juga berkembang pada orientasi pemberian layanan dan fasilitasi bagi semua pihak dalam organisasi.

Melakukan review terhadap perjalanan reformasi bidang manajemen publik pada gilirannya akan bermuara pada tuntutan kualifikasi atas kompetensi SDM pada institusi pemerintah. Mau tidak mau, pengembangan SDM Aparatur saat ini dan yang akan datang harus diarahkan kepada penataan kompetensi yang sesuai dengan bidang tugasnya. Persoalan utama yang dihadapi pemerintah pada semua tingkatan saat ini adalah masih lemahnya kemampuan Sumber Daya Manusia Aparatur, baik pada level manajer, terlebih lagi pada sumber daya manusia non manajerial.

Pada tingkatan manager, kelemahan yang umumnya dihadapi adalah terutama pada kurangnya pemahaman terhadap kualifikasi yang seharusnya dimiliki oleh setiap level manager dalam organisasi. Kualifikasi yang dimaksud sebenarnya adalah adanya standar kompetensi yang disepakati dan dijalankan bersama. Meskipun telah ada standar kompetensi yang ditetapkan di negara kita melalui berbagai peraturan yang dibuat, namun peraturan tersebut tidak serta merta menjadi bahan acuan dalam menempatkan seseorang yang kompetens kedalam suatu jabatan. Sehingga seringkali mutu seorang pejabat pada level manajerial seolah-olah hanya pemberian saja, yang sifatnya terkadang lebih kepada kedekatan politis. Tolok ukur yang dipakai untuk mengukur kadar mutu SDM Aparatur bukanlah dari sudut kompetensi tetapi lebih kepada lama kerja dan jabatan, serta like and dislike saja. Banyak aparatur yang telah mengantongi jam kerja yang tinggi selalu merasa lebih baik kompetensinya dari pegawai yang baru masuk, dan tinggal menunggu naik jabatan saja. Inovasi dan kreativitas tidak akan pernah mendapatkan tempat, dan tidak ada nilai kompetisi yang akan mendorong performa kinerja optimal yang berkelanjutan.

Syafri (2010), membagi kelemahan pengelolaan SDM Aparatur yang berakibat rendahnya kinerja aparatur, karena terkendala oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) Arogansi kekuasaan, praktik ini kuat tercium mulai dari rekruitmen, mutasi, rotasi, serta promosi pegawai yang menyimpang dari aturan dengan mengangkat kolega-kolega pada jabatan-jabatan tertentu. Sehingga pada akhirnya para aparatur tidak bisa netral dan masuk kearena yang sifatnya politis-pragmatis saja. Jika tidak demikian, maka upaya pembunuhan karakter oleh oknum pimpinan bisa dilakukan melalui mutasi ke tempat lain, atau tidak diberikan jabatan sesuai dengan kompetensinya alias di non job-kan.           (2) Adanya intervensi berlebihan dari institusi diatasnya (supra institusi), maupun infrastruktur politik terutama dari partai yang sedang berkuasa. Asumsi yang dibangun adalah kedekatan dengan penguasa jauh lebih menguntungkan dibanding memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi. Melalui “sistem kedekatan” ini, peluang untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan lebih terbuka, prestise dan keuntungan finansial juga makin nampak didepan mata. (3) Masih lemahnya tim kerja (team work), karena ketidakmampuan manajerial dan inefisiensi.

Melalui tulisan ini, penulis ingin mengingatkan kembali bahwa diperlukan spirit kemajuan untuk merubah cara pandang terhadap penetapan standar kompetensi. Saat ini organisasi dihadapkan pada pilihan melakukan perubahan yang direncanakan atau dipaksa untuk berubah. Untuk mengendalikan masa depan, organisasi harus dapat mengelola perubahan dengan baik. Peter Drucker (2007) mengingatkan bahwa ancaman utama yang dihadapi oleh organisasi di masa depan bukanlah turbulensi (pergolakan/ kekacauan), akan tetapi yang paling berbahaya adalah jika organisasi dikelola dengan menggunakan logika masa lalu. Oleh karenanya, disinilah perlunya perubahan, termasuk keinginan untuk berubah dengan membuat standar kompetensi yang kompetitif dan up to date.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun