Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Nangkap Belut di Pondok Pesantren Marwah

22 Juli 2017   10:19 Diperbarui: 23 Juli 2017   04:36 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, suasana kehidupan Ponpes di Cirebon. Foto | Dokumen Pribadi

Meski tidak terlalu luas, Pondok Pesantren Marwah yang berdiri sejak 50 tahun silam masih mempertahankan lahan persawahan satu hektar. Lokasinya pun makin terhimpit bangunan gedongan, rumah mewah real estate yang dibangun para pengembang bermodal kuat. Lahan persawahan secuil itu kini makin diincar para cukong tanah, karena jika dijual bisa memperoleh untuk besar.

"Nyang jual bisa jadi beruang," ungkap Jali, pemuda berusia belasan yang menjadi santri Ponpes yang diasuh Ustadz Ridho.

"Bukan beruang, tapi ber-uang. Beruang itu binatang, Jali!" ungkap sang ustadz meluruskan kalimat santrinya.

"Harus dibedakan orang yang menjadi binatang buas, berupa beruang dengan orang punya uang. Beruang dan orang punya banyak uang punya kesamaan. Haus, serakah dan nggak peduli orang miskin selalu ingin diterkam," kata ustadz meneruskan penjelasannya.

Jali kalau sudah mendapat penjelasan seperti itu hanya mampu terdiam. Ia tak mau memberi perlawanan dengan melancarkan kata-kata berbantah. Maklum, di ponpes diajarkan etika bahwa santri ketika diberi penjelasan guru atau ustadz harus mendengarkan dengan baik. Semakin baik menerima penjelasan, maka hidayah akan diperoleh. Yang ditunggu, tambahan pengetahuan dan dada makin terasa lega.

"Kata orang, ini kan hidayah. Gue dapet pencerahan," kata Jali dalam hati.

Jali belakangan ini memang tengah gelisah lantaran banyak orang datang ke Ponpes, tempatnya ia menyantri. Mereka itu adalah orang-orang bergaya mewah. Pakai mobil sedan mengkilap, kadang mobil mewah yang belum pernah dilihat sebelumnya dan nampak gagah. Lebih lagi sopirnya mengenakan kaca mata hitam, sementara orang tumpangannya berjalan dikawal dua tiga orang berbadan tegap gagah.

Kedatangan para tetamu ini kebanyakan selalu memandangi sawah. Tentu saja Jali makin gusar, jangan-jangan mereka ingin membeli lahan persawahan yang menjadi andalan Ponpes Marwah. Terlebih lagi hampir semua lahan kosong di sekitar ponpes di wilayah pinggir Betawi itu sudah dibeli para pengembang. Lahannya pun sudah dibangun dan menjadi kawasan pemukiman.

Ponpes Marwah kini makin terjepit di antara pemukiman mewah, tetapi tetap bertahan. Selain ilmu agama melalui kitab kuning, kitab-kitab ulama terkemuka dipelajari di sini, santri juga diberi wawasan dan pemahaman teknik cara bercocok tanam.  Termasuk sistem persawahan irigasi yang airnya diperoleh dengan cara pompa. Cara bertanam dengan sistem hidroponik dan mengembangkan budidaya ikan, termasuk belut. Tujuannya, setelah selesai sebagai santri, diharapkan di tengah masyarakat dapat hidup mandiri.

Memang pesantren kini sudah memiliki dinamikanya sendiri. Pengembangan pesantren mulai melebarkan sayap ke bidang garap "non-agama". Ada pesantren yang mengembangkan wawasan kewirausahaan, agrobisnis, menghidupkan koperasi, mengembangkan lembaga simpan pinjam dan sebagainya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun