Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fatwa Nikah Orang Kaya atau Miskin Tidak Perlu

20 Februari 2020   15:32 Diperbarui: 20 Februari 2020   15:30 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhadjir Effendi. Foto | detikNews.

Berita anjuran dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy agar Menteri Agama membuat fatwa nikah "Yang miskin wajib cari yang kaya, yang kaya cari yang miskin" sungguh menarik.

Ini baru berita. Dan ini berita baru, memang. Tapi, sebelum menanggapinya, penulis membaca ulang tulisan itu. Tempo mewartakan, anjuran yang datang dari Menko itu disebut bahwa ada ajaran agama yang kadang disalahtafsirkan.

Terutama dalam hal mencari jodoh (yang setara). Apa jadinya, menurut Pak Menteri ini, maka terjadilah, "Orang miskin cari juga sesama miskin, akibatnya ya jadilah rumah tangga miskin baru."

Pernyataan itu terlontar kala ia memberi sambutan Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta, Rabu 19 Februari 2020.

Kini angka rumah tangga miskin di Indonesia mencapai 5 juta keluarga.  Angka kemiskinan juga linier dengan meningkatnya penyakit seperti kerdil atau stunting. "Rumah tangga Indonesia 57.116.000, yang miskin 9,4 persen sekitar 5 juta, kalau ditambah status hampir miskin itu 16,8. persen itu sekitar hampir 15 juta."

Nah, beranjak dari makin bertambahnya orang miskin baru itu, maka untuk solusinya ia minta Menag Fahrul Razi menerbitkan fatwa. Isi fatwa itu mengharuskan orang miskin menikah dengan orang kaya, begitu pun sebaliknya.

Aih, ini menurut logika rasanya tak tepat sasaran. Sebab, tidak ada jaminan pria kaya menikahi wanita miskin lalu kesejahteraannya meningkat dari sisi ekonomi. Juga sebaliknya, sangat sedikit sekali pria miskin dinikahi wanita kaya lalu secara ekonomi menghasilkan keluarga sejahtera.

Bisa jadi orang miskin nikah dengan orang kaya, setelah berumah tangga, bukan tambah romantis tapi ratapan penderitaan. Apakah itu dirasakan oleh sang istri yang berlatar kaya atau sebaliknya. Kisah rumah tangga antara orang miskin dan kaya sudah banyak ditayangkan dalam film India.

Kala menonton film macam itu, air mata terasa dipaksa dikuras. Tapi lantaran temanya sudah tahu, ya buntutnya cepat bosan.

Lagi pula, mendapatkan jodoh tak bisa diatur (negara). Zaman milenial gini sudah banyak orang melupakan kisah Siti Nurbaya dan Datuk Maringgi yang dikisahkan terjadi di Sumatera Barat itu. Pernikahan yang dipaksakan itu terjadi lantaran orangtua Siti terlilit hutang. Hahaha... jadi ingat masa sekolah kala masih kecil.

Pandangan penulis, tidak ada ajaran agama yang disalahtafsirkan. Malah harus didukung bahwa mendapatkan jodoh sebaiknya pria dan wanita memiliki kesetaraan. Dalam perspektif Islam, pernikahan sebaiknya sekufu.

Kufu artinya sebanding atau setara. Tegasnya, calon suami itu harus sebanding dengan wanita dalam hal: agamanya, keshalihan, nasab/keturunan, pekerjaan dan kelapangan dalam harta serta sehat dari penyakit/cacat.

Bisa ditambahkan, juga harus diperhatikan dari sisi pendidikannya. Sebab, nggak nyambunglah komunikasi dalam rumah tangga jika jenjang pendidikan ngejomplang. Pendidikan suami strata satu, isteri tak tamat sekolah dasar. Atau sebaliknya.

Di Indonesia, orang tamatan SD lantas menjadi orang beken dan kaya hanya bisa dihitung dengan jari.

Di saat seorang pria atau wanita telah memiliki kemampuan serta ketersediaan untuk menikah, maka segeralah memilih pasangan yang dianggap sesuai keinginan.

Harus disadari bahwa hukum pernikahan menjadi wajib (bagi pria) jika memiliki dorongan syahwat yang besar. Jika ia tidak menikah berpotensi besar disalurkan dengan cara haram. Pernikahan menjadi sunnah apabila masih mampu menahan dorongan syahwatnya untuk tidak berbuat yang haram.

Hal itu dilakukan oleh orang yang memiliki komitmen keislaman yang baik, sehingga ketakwaannya mencegahnya berbuat yang haram. Tapi, pernikahan itu menjadi haram, jika (1) tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi hak-hak isteri seperti memberi nafkah, tak mampu melakukan hubungan seksual, dan jika menikah akan mencari nafkah dari jalan yang haram seperti mencuri, begal dan perbuatan tak terpuji lainnya.

Lalu, (2) jika calon suami atau isteri mengidap suatu penyakit menular seperti AIDS. Pernikahan menjadi haram meski sudah memberitahukan kepada calon pasangan dan siap menerima resikonya.

Hal lain (3) jika pernikahan itu terjadi di antara orang-orang yang haram untuk menikah. Seperti wanita yang punya suami, wanita yang dalam masa penantian ('iddah), lelaki nikah dengan perempuan musrik. Atau Muslimah yang menikah dengan lelaki atheis.

Nah, melihat alasan-alasan tadi, rasanya tak perlulah ada fatwa perkawinan lintas tingkat perekonomian.

Hehehe salam berbagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun