Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gagal Nikah Lantaran Orangtua Angkuh

16 Januari 2020   08:58 Diperbarui: 16 Januari 2020   09:01 2247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, arak-arakan lamaran dalam adat Melayu di Kalimantan Barat. Foto | BenarNews.com

Sudah memasuki usia kepala empat puluhan, Devi Anggraeni (bukan nama sebenarnya) belum juga menikah. Itu bukan disebabkan ia tak pandai bergaul, tidak berpendidikan, dan dijahui para lelaki tetapi lantaran orangtuanya terlalu membanggakan status sosialnya sebagai keluarga ningrat dan kaya.

Devi adalah gadis cantik, pandai dan cerdas. Dalam pergaulan di lingkungan sekolah lanjutan atas hingga universitas, ia selalu menjadi bintang kampus. 

Ketika melanjutkan kuliahnya hingga strata dua, kecantikannya tak juga pudar. Ia tetap menawan. Lelaki banyak mendekatinya dan ia pun bergaul sebagaimana mestinya. 

Lagi-lagi faktor orangtua yang menyebabkan Devi tak kunjung menikah. Sementara adiknya, Puspita Anggraeni yang juga tak kalah cantik, bernasif sama. Belum menikah.

Banyak lelaki "kebelet" ingin mempersunting Devi atau Puspita. Tapi, gagal. Pasalnya, ketika para lelaki lajang mendatangi kediaman Devi dan Puspita, selalu saja ditanyakan oleh orang tuanya -- sebut saja Raden Mas Bambang Adi Purwa Negoro (bukan nama sebenarnya)- prihal asal usul sang pria. Misalnya prihal suku, agama, kesiapan kediaman pasca nikah hingga pekerjaan sang pria.

Sang pria ditanyai seperti penyidik tengah membuat berita acara pemeriksaan. Wuih, menyebalkan.

Lebih menyakitkan lagi bagi lelaki yang ingin lulus untuk mendapatkan anak gadis itu ketika ditanyai status orangtua. Tanpa aling-aling, Mas Bambang menyebut bahwa kedua puterinya tak akan dinikahkan bila sang pria memiliki darah keturunan etnis Sunda.

"Mengapa?"

Pertanyaan itu selalu juga ditanyai sang pria ketika melakukan penjajakan kalau-kalau si bapak itu punya minat menjodohkan dengan puterinya.  Pria yang awalnya punya keyakinan dapat dijodohkan itu umumnya punya pekarjaan mentereng, manajer misalnya. Bahkan di antara pengusaha muda, bankir dan birokrat eselon elite alias kelas atas.

"Sejarah di Tanah Jawa tak akan melupakan peristiwa perang bubat. Ingat itu? Ungkap Pak Bambang Adi Purwa suatu saat.

Ingat juga, ia mengulangi, orang Jawa itu yang masih memiliki trah kraton punya status tinggi. Jika puteri dari kalangan keluarga kraton tak akan nyambung dengan rakyat biasa. Apalagi dengan etnis Sunda, meskipun ia misalnya punya trah dari Kerajaan Pajajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun