Mohon tunggu...
Edhi Setiawan
Edhi Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tadinya hanya suka membaca, lama-lama jadi ingin menulis. Semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Catatan Masa Kecil: Juwana, ketika Banjir Mengalir Sampai Jauh

9 Mei 2013   18:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:50 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang ada di benak anda ketika mendengar kata “Juwana”? Barangkali sebagian besar orang akan menjawab “bandeng”. Juwana identik dengan bandeng, karena adanya salah satu pusat oleh-oleh di kota Semarang yang berlabel Bandeng Juwana. Dan rasanya memang tidak salah, karena sejak jaman dulu, Juwana terkenal sebagai penghasil bandeng yang konon enak karena tidak “bau tanah”. Juwana bukanlah sekedar bandeng presto, tapi merupakan sebuah kecamatan di kabupaten Pati yang terletak di 80 kilometer ke arah timur dari kota Semarang. Mengapa tiba-tiba saya menulis tentang Juwana? Banyak yang istimewa dari kota ini, tapi satu diantaranya karena saya besar di sana.

Juwana adalah kecamatan yang dinamis, karena secara ekonomi sangat strategis bagi kabupaten Pati. Selain karena posisinya berada di jalur Pantura yang sudah ramai sejak zaman dulu karena dilalui jalan Deandles, Juwana dengan sungai Juwana atau sungai Silugonggo yang merupakan salah satu muara laut utara Jawa telah lama menjadi salah satu jalur perdagangan kayu dari Kalimantan, memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang menampung hasil laut dari kapal-kapal nelayan yang ada. Selain itu Juwana juga merupakan daerah hasil tambak udang dan bandeng yang cukup dikenal, termasuk hasil produksi kerupuk udang dan terasinya yang lezat. Tidak ketinggalan, Juwana pernah dikenal sebagai salah satu pusat industri logam kuningan dan batik khas desa Bakaran. Belum lagi kuliner hasil lautnya yang mak nyus. Inilah yang membuat Juwana yang kecil itu menjadi sangat dinamis.

Sebelum adanya waduk Kedungombo, salah satu trademark dari Juwana adalah banjir tahunan. Jadi, pada waktu itu kalau seseorang dikenal berasal dari Juwana dan tidak bisa berenang, dengan bergurau orang mengatakan, “bagaimana mungkin setiap tahun pekarangan rumah menjadi kolam renang, sampai gede belum juga bisa berenang?” hehe ...

Nah, kali ini saya ingin bercerita tentang banjir. Seperti saya ceritakan di atas, banjir merupakan event tahunan yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Istimewanya lagi, karena Juwana adalah daerah muara yang menerima semua banjir limpahan dari hulu, biasanya banjir bisa berlangsung lama, bahkan lebih dari seminggu. Untung saja, sejak dibangunnya waduk Kedungombo, banjir tidak lagi datang setiap tahun, tapi hanya kalau debit air benar-benar besar saja. Sisa-sisanya dapat dilihat hari ini, yaitu rumah-rumah warga yang dekat dengan DAS Sungai Juwana biasanya dibangun cukup tinggi dari jalan, karena dipersiapkan sebagai rumah yang kebanjiran. Pada masa itu, stasiun kota Juwana yang lama tidak difungsikan, sering menjadi lokasi pengungsian banjir, terlebih saat banjir besar, seperti tahun 1981 misalnya. Hampir sebagian besar kecamatan Juwana terendam banjir. Tentu banjir menimbulkan kerugian yang cukup besar, namun ada sisi-sisi unik dari warga dalam menghadapi banjir, karena dalam situasi banjir itu, tidak semua warga mengungsi. Biasanya warga yang rumahnya terendam kurang dari 1 meter lebih memilih tidak mengungsi, tapi menikmati saja banjirnya.

Beberapa keunikan dalam menyiasati hidup bersama banjir misalnya :


  • Selalu menyediakan beberapa “dingklik” kayu yang difungsikan sebagai jembatan yang tersebar di dalam rumah, sehingga kaki tidak basah dengan air kotor. Setelah mandi di sumur atau di kamar mandi, tinggal naik ke jembatan dingklik, mencuci kaki dengan air bersih dan bebas berjalan dari satu dingklik ke dingklik lainnya.
  • Selalu memasang palang bambu atau kayu terapung di depan pintu rumah. Bukan sebagai anti maling, tapi dipakai sebagai penghalang agar sampah yang terbawa banjir di depan rumah tidak masuk ke dalam rumah.
  • Selalu menyediakan ban dalam mobil bekas, yang dimanfaatkan untuk bermain air atau belajar berenang untuk anak-anak. Tidak perlu ke sungai atau mencari kolam renang (karena memang tidak ada), cukup belajar berenang di depan rumah.
  • Kalau ban dalamnya kebetulan adalah ban dalam truk, bisa dimanfaatkan sebagai perahu anak kecil, cukup memasukkan 1 buah ember cuci pakaian ke lubang di tengah ban, jadilah sebuah perahu. Atau kalau punya lebih dari 1 ban truk, cukup dirangkai menjadi rakit dengan meletakkan selembar daun pintu di atasnya
  • Tidak punya ban dalam ? Solusi belajar berenang atau naik rakit adalah dengan memanfaatkan batang pohon pisang. Alhasil, di musim banjir banyak pohon pisang yang ditebang untuk dimanfaatkan batangnya
  • Untuk anak-anak sekolah yang kebanjiran dan kebetulan sekolahnya tidak banjir, maka solusi untuk dapat tetap berangkat sekolah adalah dengan berlangganan ojek perahu. Biasanya perahu dapat menampung 5 – 8 anak, menjemput dari satu rumah ke rumah lain dan membawa anak-anak sampai ke tempat terdangkal dekat sekolah. Dengan demikian, walaupun bersandal jepit, anak-anak dapat tetap bersekolah dengan seragam lengkap

Itulah sekelumit kisah masa lalu, di mata saya sebagai anak kecil pada waktu itu. Dalam setiap bencana, memang terjadi banyak duka dan kesedihan, namun juga dapat dinikmati sebagai kesenangan dan bahkan dinantikan. Namun selalu ada hikmah dan perjuangan untuk survive, dan pada akhirnya orang dapat hidup bersama bencana itu.

Untuk Kompasioner yang pernah tinggal di Juwana, atau pernah hidup di daerah bencana banjir, silahkan share pengalaman Anda.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun