Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menebar Kebencian, Menuai Badai Cacian

19 Januari 2017   15:19 Diperbarui: 19 Januari 2017   15:43 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
viral kebencian akan menuai cacian(sumber:qureta,spiral kebencian)

Musim semi telah tiba bagi penebar kebencian, mereka  sedang diberi panggung untuk menumpahkan segala kekesalannya oleh ketidakadilan yang lahir dari perasaannya.  Pemerintah sekarang sedang fokus untuk membangun infrastruktur yang sebelumnya tertatih-tatih. Politik sedang mengikuti arah La nina yang berasal dari Timur Tengah. Apapun yang berbau Timur Tengah rasanya wangi bahkan kentutpun terasa wangi. Padahal warisan bau-bauan di tanah Nusantara ini tidak kalah kayanya tetapi mengapa  malah mengimpor wangi-wangian dari negeri seberang yang sedang gencar memproduksi  ideologi radikal.

Padahal  semaian akar wangi, boreh, cendana, kayu putih dan berbagai ramuan tradisional Nusantara jauh lebih bermanfaat dari segi kesehatan mental dan jiwa, mengapa harus menghirup aroma radikalisme yang hanya menyemai dendam kesumat, melahirkan bibit kebencian dan intoleransi. Lihat saja budaya gotong royong, yang tersebar dari suku-suku yang ada di wilayah Timur sampai ujung barat Nusantara ini.Betapa indahnya.

Tidak kurang Kyai  yang ilmunya sudah sundul langit  dan mengerti  Sangkan paraning dumadi, malah dicibir sebagai kyai yang ilmu agamanya masih sedikit untuk memahami  kesejatian ajaran Asli dari wilayah angin Timur Tengah sana. Memang agama-agama Samawi(Yahudi, Kristen, Islam) lahir dari Timur Tengah lalu menyebar ke seluruh jagad, tapi jangan lupa agama lokal juga mempunyai keistimewaan yang mampu membaca tanda-tanda alam dan ramah terhadap gejolak alam semesta yang kadang susah ditebak. 

Tidak usah takabur dan merasa lebih tinggi derajatnya setelah mendalami  ajaran terpilih dari seberang, semuanya harus dilebur dan disesuaikan dengan kearifan lokal. Kelokalan dan kepribumian tidak hanya diukur dari bentuk fisik, struktur wajah, warna kulit di mana suku bangsa berasal. Kepribumian bisa diukur bagaimana kecintaan pada bangsanya mengalahkan egonya yang besar yang merasa sebagai  manusia pilihan karena  berasal dari arus mayoritas yang menguasai  negara.

Menebar kebencian  adalah perbuatan anak-anak yang sedang mencari jati diri, masih labil dalam pemikiran dan  keilmuwan, makanya mulutnya belum bisa direm untuk tidak mengatakan sesuatu  yang muncul dari nuraninya,dari  kata suara hatinya. Penebar kebencian itu adalah orang yang sedang mencari popularitas, ingin mencari panggung dan butuh kasih sayang lebih. 

Sebab sepanjang masa kecilnya mereka tidak mempunyai pijakan kuat dalam keluarganya bagaimana menumbuhkan kepedulian toleransi, membangun kerjasama dan pengenalan bahwa tiap orang itu punya keunikan sendiri-sendiri. Jika menyadari manusia unik sebab dalam setiap pribadi tidak ada yang sama persis mengapa harus memaksakan ideologi untuk sejalan dan sealiran dengan dirinya.

Kita mempunyai selera pada baju yang kita kenakan, bajunya itu diselaraskan dengan bentuk tubuh, warna kulit dan struktur anatomi tiap orang. Akan aneh jika  ada orang yang memaksakan untuk mengenakan baju yang sama ke setiap orang. Begitulah keyakinan. Serahkan saja pada tiap pribadi tidak perlu memaksa bahkan mengancam untuk memberangus keyakinan orang lain.

Mari berjabat erat sebagai pribadi yang merdeka yang sama – sama berjuang, bekerja, mencari sesuap nasi di bumi  Nusantara ini. Jika siapapun menebar kebencian suatu saat badai cacian dan kecaman akan berbalik ke diri sendiri. Lihat sendiri tokoh sekarang yang sedang mabuk kemenangan dan merasa di atas angin. Ia sedang dininabobokan oleh badai yang sedang diciptakannya…saya kuatir ia akan terjerembab oleh ulahnya sendiri yang merasa benar, merasa paling suci dan paling tinggi ilmunya. Dalam istilah Jawa dikenal dengan Adigang, Adigung, Adiguna, tapi biarlah hukum alam akan berbicara…manusia hanya bisa menjalani Lelakoning ngaurip(perjalanan kehidupan) yang sudah tergariskan.

Di sisi Barat, jangan salah mereka juga sedang mengalami kegundahan sebab masyarakat era gadget saat ini lebih senang mendengar suara kegaduhan dan tokoh-tokoh kontroversi yang sedang diberi panggung. Meski arus ketidaksukaan hadir tetap saja suara masyarakat menginginkan tokoh yang tidak biasa yang kesehariannya menebarkan konflik dan menjungkirbalikkan ideologi akan ditegur oleh alam dan kehidupan. Manusia rindu memiliki waktu untuk merasakan damai, saling menyayangi dan saling menghargai. Bersama-sama bergotongroyong membangun bangsa. Mari saling  menghargai iman antar agama,  Agamaku agamaku, agamamu agamamu! Lakum dinukum waliyaddien! Damailah di jiwa, damai di hati dan damai di Bumi.

 Tapi sekarang setiap orang masih menahan nafas, menunggu sampai badai itu reda. Mari kita tunggu. Salam damai.

Jakarta,19 Januari 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun