Mohon tunggu...
Doni Riw
Doni Riw Mohon Tunggu... wiraswasta -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anomali Batik

2 Oktober 2012   04:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:23 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Doni Riwayanto

Artikel ini ditulis pada tahun 2009 untuk menyambut ditetapkannya hari batik nasional. Dan pernah dipublikasikan di harian KEDAULATAN RAKYAT (minggu/11/10/09).

Gemuruh euforia atas pengakuan batik sebagai peninggalan dunia asli Indonesia oleh UNESCO, yang diikuti oleh penetapan tanggal 20 Oktober sebagai Hari Batik Nasional (HBN) masih menyisakan gaungnya. Fenomena maraknya batik merupakan sebuah anomali.

Batik tak ubahnya seperti kesenian tradisional di Indonesia pada umumnya. Kondisi lumrahnya, sebagian kesenian tradisional kini mulai keropos karen berbagai hal. Mulai dari kurangnya perputaran dana dalam pergerakan roda seni tradisi, diikuti kemiskinan absolut bagi sebagian besar pelakunya, disusul minat generasi penerus yang kian menurun, dan akhirnya terbengkalai karena minimnya energi untuk mengelolanya. Ujung-ujungnya dimanfaatkan oleh “tetangga” untuk mengambil alih kekayaan terpendam tersebut.

Seni tradisional memang tengah menghadapi tantangan berat dalam menghadapi iklim modernitas. Budaya pop adalah budaya yang paham benar psikologi masa. Bagaikan zat cair yang dengan leluasa berubah bentuk, selalu beradaptasi dan lolos dari kemandegan. Tak heran jika sejarah seni pop hanya berupa kronologi saja. Namun dengannya, budaya pop mampu bertahan sebagai mainstream kebudayaan masyarakat modern.

Inovasi sungguh sebuah langkah strategis dalam bertahan menghadapi tuntutan hidup yang kian dinamis dalam masyarakat yang begitu cepat bosan. Sebuah karya tanpa inovasi akan cepat digilas jaman dalam waktu yang relatif cepat. Sementara menjaga keotentikan seni budaya tradisional adalah ruh seni tradisi itu sendiri. Tanpa substansi, yang berujud nilai-nilai otentik yang khas dari budaya tradisional, muspralah semua usaha tersebut.

Untuk mengalir dalam kehidupan modern yang dinamis, para pelaku seni tradisi dihadapkan kepada dua pilihan sulit. Bersiteguh dengan karya otentik tanpa peduli lingkungan, dengan efek semakin terasing dari masyarakatnya, atau berkompromi dengan lingkungan, namun sedikit mengendurkan nilai otentik yang sungguh merupakan nilai essensial di mana tradisi mesti dijaga.

Kondisi tersebut tidak bisa disikapi secara heroik dengan idelisme yang naif. Mengganggap bahwa ada cara bijak yang bisa menjamin persandingan harmonis antara inovasi dengan keotentikan. Sebuah benda dengan skala 100%, tak mungkin memiliki dua kandungan yang sama-sama bernilai 100%. Paling maksimal hanya mampu 50%-50%. Artinya ketika dilakukan sebuah inovasi, maka di sisi lain niali otentiknya akan berkurang. Begitu pula sebaliknya. Dan komposisi ideal itulah yang secara arif mesti dirumuskan para pelaku seni tradisi untuk menjawab tuntutan zaman.

Tiga Kepentingan

Setiap produk seni budaya dihadapkan pada tiga kepentingan. Kepentingan menjaga nilai otentitas, kepentingan ‘luhur’ pengembangan nilai-nilai seni murni, serta kepentingan pasar dalam rangka menghidupi diri dan bertahan mengarungi arus jaman. Ketiganya diperlukan dalam rangka menjaga stabilitas eksistensi produk seni tersebut dari berbagai sisi.

Seni budaya tradisional di satu sisi memiliki kaidah baku yang mesti dipertahankan, namun di sisi lain juga memiliki ‘kewajiban’ untuk berkembang dalam nilai-nilai estetis sebagai keniscayaan produk seni budaya. Sementara itu, tidak kalah penting adalah bertahan hidup menghadapi perkembangan jaman.

Masalah yang terakhir, masalah bertahan hidup, berkaitan erat penerimaan masyarakat. Pada tahun 80an, para pemain ketoprak tobong masih bisa bertahan hidup karena produk seni budaya yang digelutinya masih laku di jual di pasar. Dan kini ketika produk seni tersebut tak lagi diterima, jangankan menghidupkan kesenian tersebut secara semarak, menghidupi diri sendiri secara layakpun hampir tidak mungkin.

Persoalannya kini adalah; bagaimana kesenian tradisional tersebut dapat diterima di ranah umum. Dalam pengalaman yang terjadi pada karya seni pop, diterimanya sebuah produk seni lebih dari sekedar mampu dipenuhinya nilai kebaruan dan perbaikan kualitas produk tersebut. Diterimanya sebuah produk seni dalam masyarakat kontemporer berkaitan pula dengan pencitraan secara masif oleh media.

Sebuah produk musik pop misalnya, bisa saja diterima oleh masyarakat meskipun dia tidak memiliki kualitas istimewa maupun nilai inovasi yang tinggi. Sebuah gaya musik yang pernah populer di masa lalu, bisa saja menjadi laris kembali pada masa mendatang, meski tanpa perbaikan kualitas estetis dan hanya disentuh dengan sedikit saja inovasi semu sebatas kulit. Semua itu bisa terjadi karena pencitraan bertubi-tubi yang dilancarkan ke tingkat kesadaran terdalam suatu masyarakat.

Menyaksikan fenomena tersebut, mestinya menjadikan pelaku seni budaya tradisional tidak berkecil hati. Ketika sebuah produk seni budaya tradisional secara masif dicitrakan trendi oleh media, dengan sedikit inovasi sebelumnya dan tanpa menghilangkan sama sekali nilai otentiknya, maka produk seni budaya tradisional bisa diterima selayaknya budaya populer dalam masyarakat kontemporer namun tetap kental dengan ciri khasnya.

Kini formula ampuh untuk menyemarakkan kembali seni budaya tradisional tersebut menunggu untuk diujud nyatakan. Agar seni budaya tradisional tegak kembali, mampu menjadi tonggak identitas bangsa yang konon besar ini. Sukur-sukur bisa mencuri perhatian masyarakat global yang dampaknya adalah semakin strategisnya nilai tawar bangsa ini dalam pergaulan global.

Tak hanya cup bergantung pada uluran tangan pemerintah, namun dibutuhkan juga kepedulian masyarakat mulai dari pelaku seni budaya tradisi itu sendiri, para begawan budaya perumus strategi kebudayaan, penguasa media, dan tentu saja pemilik modal, untuk bekerja sama menegakkan kembali kesenian tradisional dengan cara yang arif, inofativ, cerdas, dan berdedikasi tinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun