Mohon tunggu...
Farhandika Mursyid
Farhandika Mursyid Mohon Tunggu... Dokter - Seorang dokter yang hanya doyan menulis dari pikiran yang sumpek ini.

Penulis Buku "Ketika Di Dalam Penjara : Cerita dan Fakta tentang Kecanduan Pornografi" (2017), seorang pembelajar murni, seorang penggemar beberapa budaya Jepang, penulis artikel random, pencari jati diri, dan masih jomblo. Find me at ketikanfarhan(dot)com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kamu Ingin Menjadi Dokter? Pikirkan 2 Hal Ini

16 Oktober 2017   06:05 Diperbarui: 16 Oktober 2017   23:10 8067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mahasiswa kedokteran | foto : youthmanual.com

Sekarang ini, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa profesi dokter adalah profesi yang serba bisa dan menghasilkan banyak uang. Di situ pun kita mulai mengenal istilahnya kalau dokter adalah calon menantu idaman bagi orang tua, karena beberapa hal. Tentu saja karena status sosial yang menjanjikan, sifatnya yang sering dianggap orang yang perhatian, dan dianggap layak untuk mengurus kesehatan calon mertua kelak. Profesi dokter juga sering disegani oleh banyak orang, apalagi misalnya jika kita punya teman yang diterima kuliah di Fakultas Kedokteran. Sering sekali akan mendengar permintaan seperti ini,

"Bro, entar kalo gue berobat, tolong lah ya digratisin sekali-kali. Biaya teman lah ya."

Bahkan, jika misalnya ada tetangga yang tahu bahwa ada mahasiswa Fakultas Kedokteran di lingkungannya, justru para ibu-ibu arisan atau bapak-bapak yang doyan di ronda langsung mengantre untuk sekadar konsultasi kesehatan. Dan, ada juga yang justru minta obat ataupun ditulisin resep obat ke kita meskipun kita sendiri masih berstatus sebagai mahasiswa kedokteran. Tidak sedikit juga yang minta diperiksa tekanan darah ataupun periksa kadar gula darah karena saking terhormatnya status kita tersebut.

Hal-hal tersebut pun juga saya rasakan sebagai seorang mahasiswa kedokteran yang sedang menjalani program rotasi klinik atau kita sering mengenalnya sebagai ko-ass (co-ass ataupun koas ataupun koskab, entahlah yang mana ejaan yang benar untuk aktivitas kita sendiri). Cukup banyak yang ikut konsultasi beberapa hal terkait kesehatan, entah itu soal pilek, bahkan soal penyakit hati sendiri (di sini saya bermaksud dengan liver). Mungkin, apakah karena sebuah pernyataan bahwa kesehatan itu mahal harganya, sehingga apapun keluhan kesehatan yang ada, mereka akan mencoba cari cara super ekonomis untuk tahu apa sakit mereka dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah dan mengobati sakit tersebut. Salah satunya adalah berkonsultasi dengan mahasiswa yang berkuliah di bidang kesehatan, entah itu kedokteran, ilmu keperawatan ataupun analis kimia.

Namun, meskipun disebut-sebut memiliki karir yang menjanjikan dan status sosial yang tinggi, sebenarnya semuanya itu ibarat puncak dari gunung es. Masih banyak hal yang sebenarnya tidak tampak, dan jika sudah ketahuan, mungkin membuat para "kids zaman now" mungkin berpikir untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran. Hal ini juga turut menjadi concern bagi saya selama menjadi mahasiswa kedokteran, sehinggasaya sendiri pun merasa seolah tergoda dengan hal-hal tersebut. Ada beberapa hal yang akan saya soroti sendiri, namun selain itu, saya sendiri turut memberikan beberapa rekomendasi untuk itu.

  • Masa studi yang sangat lama

Bukan sebuah rahasia lagi bahwa masa studi Anda di Fakultas Kedokteran itu sangat lama, bahkan jika ditilik ulang lagi, masa dari kita untuk memulai kuliah di Fakultas Kedokteran sampai kita bisa bekerja dan memperoleh surat izin praktek sendiri itu, sama dengan mahasiswa jurusan lain untuk tamat S2. Sehingga, jangan heran, di kala kita sedang berusaha sekuat tenaga bertahan di masa ko-ass, mungkin teman-teman seangkatan anda di luar sana pun malah sedang berleha-leha mengurus pekerjaan atau mempersiapkan beberapa dokumen untuk beasiswa S2 di luar negeri.

Tetapi, fakta yang terjadi adalah bahwa jika anda berencana masuk Fakultas Kedokteran, anda pun harus bersiap untuk menunggu 5-6 tahun untuk selesai dalam masa perkuliahan. 3.5-4 tahun untuk masa studi selama S1 dengan gelar S.Ked sebagai hadiah awal dari proses yang menyerupai proses pembelajaran tahap S1 pada ilmu-ilmu lainnya. Mungkin pembeda signifikannya adalah fakta bahwa buku-buku yang dipelajari mungkin lebih tebal daripada buku yang ditawarkan oleh fakultas lainnya.

Namun, hal itu bisa juga diakali dengan meminjam catatan senior pendahulu atau meminta slide-slide kuliah dan mencari serta mengunduh sumber-sumber lainnya di internet. Bagi saya pribadi, masa S1 tentu saja cukup santai, saya sendiri masuk kuliah jam 7 dan pulang tergantung jadwal kuliah. Jika, misalnya ada ujian, kadang ikut juga beberapa review dengan asisten dosen sampai jam 6 sore. Namun, pernah juga, saya pulang jam 1 siang. Berhubung, saya pribadi merupakan tipe mahasiswa butterfly alias kupu-kupu alias kuliah-pulang-kuliah-pulang.

tahap-tahap FK | foto : zenius.net
tahap-tahap FK | foto : zenius.net
Keenakan menjadi mahasiswa butterfly itu tidak akan ditemukan setelah memasuki masa kedua yaitu koass. Masa di mana kita akan selalu masuk pagi dan pulang malam, bahkan bisa juga mungkin kita masuk pagi dan pulangnya besok sore. Meskipun itu hanya satu tahun, namun lebih "menyiksa" masa koass ketimbang masa kuliah S1. Sebuah kesibukan yang cukup menguras segala yang ada di dalam tubuh kita sendiri.

Belum lagi di masa koass itu sendiri, kita akan kerap mendapatkan cemoohan dari beberapa orang, berhubung ketika kita menjadi koass, kita akan berada pada kasta terendah bagi segala pekerja rumah sakit di sana. Jika beruntung, kita akan kerap mendapatkan cemoohan ataupun teguran dari residen (dokter yang mengambil pendidikan program spesialis), konsulen (dokter yang menjadi staf RS), bahkan perawat bangsal ataupun bidan. Tuntutan yang dihadapi pada saat koass pun besar, mulai dari memelajari segala bentuk pasien, baik itu dari penyakit dan segala tetek bengeknya, entah itu dari penyebab penyakitnya, anatomi dan fisiologi terkait penyakit tersebut, hasil laboratorium, bahkan sampai rencana pengobatan dan edukasi pun perlu digali dan dimengerti lebih dalam lagi.

Belum lagi, apa yang kamu dapatkan itu kelak harus dipertanggungjawabkan juga di tangan konsulen yang tidak semuanya baik, ada juga yang galak dan tidak segan memarahi koass di depan pasiennya. Memang, segala bentuk pendidikan yang melelahkan ini dilakukan demi membentuk tenaga medis yang benar-benar bermanfaat atau istilah kerennya disebut "Five-Star Doctor". Hampir menyerupai proses seleksi alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun