Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gelar Pahlawan Soeharto vs Rekonsiliasi Peristiwa 65

23 Mei 2016   17:18 Diperbarui: 23 Mei 2016   18:37 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini disusun sebagian berdasarkan pengalaman nyata.

Para kawula muda khususnya mahasiswa yang memrotes dan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas mendiang Bu Tin tentu masih ingat tanggapan Presiden RI ke-2 Soeharto ketika menghadapi gelombang demonstrasi dengan mengatakan bahwa “Nabi Muhammad Saw juga ditentang dan dimusuhi sewaktu menyebarkan Islam”. Dengan mengajukan dalil itu penguasa terlama di Indonesia itu seperti hendak membangun sebuah logika bahwa “yang benar ditentang, diprotes bahkan dimusuhi”, lalu ditarik kesimpulan bahwa “yang ditentang, diprotes bahkan dimusuhi pasti benar”. Sebuah logika serampangan dan manipulatif, tetapi persoalannya siapa yang berani membantah dan mengoreksi waktu itu? Dalam pada itu tak salah jika muncul spekulasi sesungguhnya ia sedang bermaksud memojokkan golongan Islam yang saat itu secara politik dalam posisi terjepit bahkan acapkali dicurigai penguasa.

Suasana semakin runyam ketika dalam waktu bersamaan pihak penguasa sedang berbulan madu dengan kelompok Nasrani, ditandai dengan berbagai rentetan peristiwa mulai dari insiden Cicendo, Komando Jihad, kasus Tanjung Priok hingga Petisi 50, dan lain sebagainya. Pernyataan pejabat militer yang secara terang-terangan mengatakan bahwa “pemimpin umat itu (maksudnya Amir Biki cs) akan dipanggil dan ditendang seperti bola” sebagaimana dilaporkan dalam tulisan peneliti Barat, Katherine C. Kolstad, pada saat penanganan kasus Tanjung Priok cukup memberikan sedikit gambaran betapa kerasnya perbenturan penguasa dengan kelompok Islam saat itu. Dan puncaknya adalah tampilnya cendekiawan muslim Nurkholis Madjid yang akrab dipanggil Cak Nur, ikut mendinginkan suhu politik yang kian membara itu dengan slogannya yang terkenal “Islam Yes!”, “Politik No!”. Lepas dari soal dalil dan logika tersebut serta kepemilikannya, sekarang banyak kalangan menilai bahwa keberadaan TMII positif bagi pemupukan rasa kebangsaan Indonesia.

Cara pemahaman dan penerapan tersebut di atas dapat dianalogikan dengan persoalan berikut ini. Ajaran Islam yang bersifat komprehensif (kaaffah), selain diikuti dengan lurus dan benar, kesuciannya kerap kali “disalahgunakan” (baca: dimanipulasi) untuk keperluan atau maksud dan tujuan sempit dan sesaat, seperti misalnya sabda Nabi Saw yang menyebutkan bahwa “Ulama itu pewaris para Nabi”. Dengan dalil dan “senjata” itu tak jarang ulama-ulama, baik tingkat kampung (lokal) maupun nasional, yang mengaku atau merasa dirinya ulama sekadar hendak menikmati privilege di tengah umat, sementara sejauh ini belum jelas ulama seperti apa kriterianya dan bagaimana sesungguhnya definisi ulama yang dimaksudkan sabda Nabi tersebut. Lagi pula jangankan ulama, sedangkan nabi saja ada nabi palsu.

Sungguh keliru jika Partai Demokrat (PD) dan Partai Golkar (PG), lebih-lebih Partai Golkar yang baru saja “recovery” dari simtom “osteroporosis” akibat konflik internal yang akut, bersama PD yang tengah “menjalani pertobatan” setelah banyak kehilangan kursi di DPR RI pada Pileg silam, lantas mengira bahwa dengan mengangkat kembali wacana pemberian gelar pahlawan bagi Presiden RI ke-2 Soeharto dapat memulihkan persepsi dan citra partai di mata masyarakat, hanya karena alasan “membangun tradisi menghargai” sebagaimana yang dikemukakan PG. Sementara PD mengajukan argumen “tak mungkin mencari manusia yang sempurna di muka bumi ini”sebagaimana dikemukakan melalui salah satu unsur pimpinannya Ramadan Pohan, memperlihatkan sepertinya ia tak tahu atau lupa bahwa dalam pemahaman Islam Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna di antara segala ciptaanNya, sehingga Malaikat pun disuruh sujud kepadanya. Karena manusia memiliki kemampuan dan dua potensi kontradiktif secara diametral, suci bak Malaikat atau tersungkur lebih rendah dari binatang dengan sifat hidup hanya untuk mengikuti nafsu. 

Adapun argumen yang dikemukan Menko Polhukam yang menyebutkan jasa Soeharto telah membawa bangsa Indonesia menjadi Negara modern sepertinya kelewat sederhana dan tidak berdasar. Karena Prof Soemitro Djojohadikusumo dari kelompok Berkeley AS yang merupakan salah satu arsitek ekonomi era rezim Orde Baru belakangan seperti “menyesal” telah menerapkan strategi membuka lebar-lebar investasi asing, dan dalam waktu bersamaan membenarkan rekan seangkatannya Syafruddin Prawiranegara yang berpandangan bahwa pembangunan fisik Indonesia lebih cenderung dimulai dengan memanfaatkan modal dalam negeri. Seperti diketahui dan terbukti kemudian bahwa bantuan asing khususnya IMF menjadi bantuan yang mematikan, di mana kekayaan alam Indonesia telah terkuras habis-habisan, sementara hanya sedikit saja rakyat Indonesia yang menikmatinya. Dalam ilmu ekonomi dan permainan catur berlaku prinsip pengorbanan sekecil mungkin untuk meraih manfaat sebesar mungkin. Pendapat Wapres JK dan sosok negarawan Jimly Assidiqy mengenai hal tersebut tampaknya lebih bijak dan cerdas. Untuk menimbang-nimbang “amal” seseorang seperti halnya pada sosok tokoh, mengapa bangsa Indonesia yang notabene mayoritas masyarakat muslim seperti malu-malu atau lupa mengadopsi metode timbangan yang diajarkan Islam sebagai berikut:

1.    Amal baik dan amal buruk, walaupun sebesar biji atom pasti dilihat (ditimbang).

2.    Jika mudaratnya lebih besar dari pada manfaatnya, maka hukumnya diharamkan atau ditolak (seperti pada minuman keras dan permainan judi).

Satu hal yang tak dapat dipungkiri dan bukan hal yang kebetulan bak sebuah lakon sekaligus takdir sejarah adalah, baik ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan maupun pada saat --menurutnya--“lengser keprabon madeg pandito ratu” itu diiringi jatuhnya ribuan korban jiwa yang sebahagian (besar) nya tak mengerti  benar apa sesungguhnya yang terjadi, boleh jadi sebagai tumbal Negara.

Selanjutnya, ribut-ribut mengenai upaya rekonsiliasi khususnya atas peristiwa tragedi 65 baru-baru ini, sebuah simposium digelar yang difasilitasi Lemhanas, sekaligus dimotori Gubernurnya Letjen (Purn) Agus Wijoyo putra Mayjen (Anumerta) Soetojo, dengan tesis utama “hukum sebab akibat”. Bahwa kekerasan yang terjadi pada peristiwa tragedi 65 bukan tanpa sebab sebelumnya atau terjadi dari titik nol. Hanya saja, adalah Prof Salim Said seorang ahli politik dan sejarah ketika membahas dan mencoba menarik benang merah sebab akibat itu, rentang waktunya terlalu jauh muali dari Peristiwa Madiun 1948. Dalam forum yang sama,kelihatannya pandangan yang dikemukakan oleh guru besar sejarah ITS Prof Aminuddin khususnya sejarawan Anhar Gonggong. Menurutnya, proses sebab akibat itu secara dominan dimulai sejak 1960-an.

Peristiwa demi peristiwa yang terjadi bernuansa politik, baik di tingkat daerah maupun nasional, kian menciptakan suasana tegang dan mencekam. Di Jawa Timur sebagai wilayah yang dihuni banyak pondok pesantren dan tentu saja ada kyai yang pada umumnya merupakan tuan tanah yang paling terdampak dengan pelaksanaan Undang-undang Reformasi Kepemilikan Tanah (Land Reform) yang digagas dan didorong pelaksanaannya oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Di wilayah pantai utara Jawa Tengah rakyat biasa yang memiliki tanah persawahan tetapi tidak berdomisili di mana letak sawah berada hanya boleh dimiliki sebanyak 2 Ha, selebihnya harus diserahkan kepada Negara untuk diredistribusi kepada rakyat yang belum memiliki tanah. Di lapangan praktiknya sungguh mencekam. Mungkin sengaja atau terkena hasutan, seperti tak sabar menunggu aksi sepihak mengambil alih tanah milik rakyat oleh pengikut atau simpatisan PKI dan itu artinya konflik horizontal terjadi di mana-mana. Salah satunya yang terkenal adalah peristiwa Bandarbetsi di Sumatra Utara, karena terjadi perkelahian akibatnya salah satu petani tewas pecah kepalanya terkena sabetan cangkul. Bisa dibayangkan betapa mencekamnya waktyu itu,  jika hari ini yang penegakan hukum jauh lebih baik saja masih terjadi sengketa tanah dan lahan seperti di daerah Lampung yang memakan korban jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun