Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nyontek Itu Dosa Besar

29 Maret 2014   12:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:19 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13960451921529033113

NYONTEK ITU DOSA BESAR

Dosa itu urusan agama. Yang berhak berbicara bagusnya adalah guru agama, agama apapun. Biasanya pernyataan dosa atau tidak dosa dasarnya adalah dogma. Agama tidak boleh ditelusuri secara logika, karena nanti pasti akan menjadi bahan perdebatan yang sangat panjang.

Nyontek itu urusan ujian. Pelakunya adalah siswa atau peserta ujian. Jika siswa pelakunya, maka itu merupakan sebuah bentuk kenakalan siswa, kenakalan anak atau apa saja yang setara dengan itu. Jika pelaku nyontek itu orang dewasa, maka itu merupakan kenakalan orang dewasa. Kenakalan anak-anak bisa dimaafkan. Seharusnya orang dewasa yang memaafkan kenakalan anak-anak, jadi semestinya tidak boleh ikutan anak-anak yang nyontek. Itu logikanya. Sebab kalau orang dewasa nyontek, siapa lagi yang bisa dibanggakan?

Di mana siswa nyontek? Tentu di tempat ada ujian atau mengerjakan soal. Ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan kenaikan kelas, ujian sekolah, ujian nasional. Atau pasca siswa - pra mahasiswa, pada saat ujian masuk perguruan tinggi.

Di mana lagi siswa nyontek? Pada saat mengerjakan tugas. Menyontek LKS kepunyaan teman, menyontek tugas teman, mengkopi file tugas teman (kemudian mengembangkan sedikit sehingga tidak kelihatan kalau itu hasil copy-paste).

Di mana orang dewasa nyontek? Di ujian pegawai, di ujian penyaringan karyawan, di ujian online, di ujian sertifikasi, di ujian penyetaraan Paket A-B-C, di ujian-ujian mahasiswa, di ujian TOEFL, dan di tempat-tempat lain yang saya lupa.

Dosa Besar

Menurut pandangan Islam, dosa besar di antaranya kesaksian palsu, durhaka kepada orang tua, dan syirik. Saya tidak akan membahas yang tiga di atas, sebab saya bukan ahlinya. Marilah kita biasakan untuk tidak membahas sesuatu yang kita tidak ahli.

Kebetulan saya menjadi guru sejak tahun 1989. (Saya katakan “kebetulan” karena cita-cita saya waktu awal SMA adalah menjadi jurnalis . Maaf, curhat). Jadi saya sudah cukup banyak berkecimpung dalam hal contek-menyontek. Mungkin ada heran, bukankah guru harusnya akrab dengan pendidikan? Ini malah akrab dengan menyontek. Begini, sifat dasar manusia itu suka mengingat kejelekan orang lain, walaupun itu hanya sedikit atau kejelekan kecil.Kebaikan yang banyak biasanya tidak tampak, tidak mendapat reward. Orang akan mengatakan: kebaikan itu wajar, jadi untuk apa diberi reward. Inilah pendapat orang-orang yang anti kebaikan.

Menyontek bagi sebagian siswa adalah merupakan sebuah kondisi keterpepetan. Alasan klasik biasanya membantu orang tua. Maksudnya membantu agar orang tua senang karena nilainya bagus, walaupun hasil menyontek. Bagi sebagian lain, menyontek adalah sebuah perjuangan. Yang parah adalah jika siswa menganggap berhasil menyotek adalah pahlawan. Ya, pahlawan. Si pelaku ini dengan bangganya, seusai ulangan tertawa bangga sebagai ekspresi bahwa usahanya tidak diketahui gurunya. Ada dampak negatif yang tumbuh tak disadari. Dampak bagi anak lain, sudah tahu temannya menyontek tetapi tidak memberi tahu guru. Akhirnya terdapat sebuah solidaritas yang salah dalam diri siswa di lingkungan itu.

Ada sebuah pemahaman yang harus diungkapkan (bahkan harus berkali-kali) secara intens kepada siswa sebagai generasi muda. Apa itu? Nyontek. Marilah kita beri pemahaman kepada para siswa kita , kepada anak-anak kita, keponakan-keponakan kita, kepada cucu-cucu kita, kepada anak-anak asuh kita untuk menghentikan menyontek (dari dulu nasehat juga begitu).

Ketika seorang siswa menyontek, maka keinginan hanya satu. Gurunya tidak melihat. Maka ketika ia menyontek, ia berkata (umumnya dalam hati) : mudah-mudahan bapak/ibu guru tidak melihat. Ketika ia mengucapkan “mudah-mudahan” sesungguhnya ia sedang berdoa. Kepada siapa ia berdoa? Bukankah doa itu pasti kepada Tuhan? Mustahil jika manusia berdoatidak kepada Tuhan. Hanya orang-orang yang sesatlupa sajalah ketika berdoa tidak kepada Tuhan.

Jadi, menyontek pasti berdoa. Berdoa pasti melibatkan Tuhan. Kalau sudah berurusan dengan Tuhan, tidak ada hal yang tidak serius. Melibatkan Tuhan pasti berurusan dengan sesuatu yang maha dahsyat. Tuhan diminta untuk membuat agar bapak/ibu guru tidak melihat. Padanan dari “tidak melihat” adalah “buta”. Paling tidak “meleng” / “lengah”.

Mari kita bayangkan betapa kurangajarnya doa para penyontek jika kita maknai lebih dalam :

Ya Tuhan, mudah-mudahan bapak/ibu guru tidak melihat!

Ya Tuhan, mudah-mudahan bapak/ibu guru buta!

Ya Tuhan, mudah-mudahan bapak/ibu guru meleng!

Ya Tuhan, mudah-mudahan bapak/ibu guru tidak melihat!

Ya Tuhan, mudah-mudahan bapak/ibu guru buta!

Ya Tuhan, mudah-mudahan bapak/ibu guru meleng!

Sejak kapan dia menjadi penyontek? Misalnya sejak SD. Berarti sejak saat itulah ia mulai melibatkan Tuhan untuk urusan menyontek. Jika sekarang si penyontek telah kelas XII SMA, maka telah 12 tahun ia berdoa kepada Tuhan memohon agar para gurunya (SD,SMP,SMA) buta. Inilah akumulasi dosa kecil yang lantas menggunung menjadi dosa besar karena dosa itu selalu diulang dan selalu diulang secara disadari.

Mari kita renungkan secara dalam dan kepala dingin. Guru adalah sosok yang paling banyak didoakan jelek oleh para siswa (si penyontek itu). Alangkah sedihnya guru. Guru tidak bersalah apa-apa, didoakan jelek. Guru orang yang selalu memberikan nasehat, memberikan motivasi, memberikan ilmu, membuka wawasan pengetahuan dan bimbingan. Semestinya ia mendapat ucapan terimakasih setiap saat dari para siswa. Bukan sebaliknya didoakan buta.

Mari kita berikan pemahaman semacam ini kepada para siswa. Sampaikanlah dengan seloroh. Saya yakin mereka akan memahami. Siapa tahu siswa tersebut adalah putra putri anda para pembaca, atau adik anda, atau keponakan anda, atau cucu anda, atau anak asuh anda. Hilangkan kejelekan yang ada ketika kejelekan itu telah kita ketahui. Sedini mungkin.

Ya, sedini mungkin. Mudah-mudahan dari ajakan ini, ada sebuah harapan besar untuk membangun karakter terpuji bagi para siswa. Karakter terpuji generasi muda kita.***

Majalengka 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun