Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kerokan dan Perspektif tentang Hukum yang Membebaskan

16 Februari 2020   01:35 Diperbarui: 16 Februari 2020   01:28 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam laman dpr.go.id tentang tugas dan wewenang DPR, saya tidak menemukan kata: membangun kesadaran. Yang ada adalah 'memproduksi' undang-undang dengan segala ikutannya. Mulai dari menerima dan melakukan review atas rencana undang-undang sampai dengan melakukan pengawasan.

Kalau diikuti secara selintas, sepertinya para 'penghuni' institusi perwakilan rakyat adalah 'the superhumans in the superbody'. Pribadi-pribadi unggul dalam institusi yang hebat dan keren.

Benarkah demikian?

Jawaban skeptis atas pertanyaan di atas adalah 'tidak benar'. Merujuk ke mana? Secara cepat dalam definisi dan deskripsi alm. Gus Dur masih dapat dipakai sebagai rujukan: Taman Kanak-kanak.

Mengapa? Karena ketika negara-negara maju, katakan Finlandia, mulai mengurangi aturan dan membangun kesadaran berbangsa dan bernegara, kita malahan masih sibuk dengan memperbanyak aturan dalam bentuk dan wujud perundang-undangan.

Apakah kita berada dalam kualitas kebersamaan yang lebih baik dari, katakan, Finlandia?

Dari banyak artikel yang beredar, Finlandia sudah menjadi rujukan bagi banyak bangsa lain. Bahkan sepertinya Indonesia akan merujuk pada pola belajar negeri itu. Setelah berpuluh tahun tas anak-anak dipenuhi buku-buku produksi dan proyek entah siapa yang membebani pundak-pundak kecil anak-anak kita.

Banyak orangtua yang kemudian berkonsekuensi membelikan tas yang berkualitas bagus dan awet untuk membawa banyak buku pelajaran. Tetapi orang tua berada dalam ketidakberdayaan untuk melindungi pundak-pundak  kecil yang dibebani dan terbebani muatan yang memenuhsesaki setiap ruang dalam tas.

Hasilnya?

Sebuah studi memberikan rujukan bahwa pelaku korupsi yang ditangkap dan diproses hukum berusia semakin muda dengan latar belakang akademis yang (rata-rata) baik.

Artinya secara kecerdasan pemikiran mereka di atas rata-rata. Sementara kecerdasan sosial dan emosional tidak sepadan dengan kecerdasan pemikiran. Kalangan yang sering mengutip ayat-ayat suci bahkan masih menambah dengan kecerdasan relijius. Entah apa makna kecerdasan relijius itu.

Tadi sore di bilangan Puren, Yogyakarta, disampaikan bahwa dalam Hukum Taurat ada sekitar 600-an kata melarang dengan kata 'jangan'. Lalu ada 200-an dengan kata 'hendaknya'. Lalu banyak lagi lainnya.

Agaknya berapapun jumlah larangan tidak akan secara signifikan dan serta-merta menaikkan kualitas hidup bersama. Seperti di Indonesia, dengan lembaga tinggi yang memproduksi entah berapa ratus aturan lengkap dengan konsekuensi hukum yang telah dan akan diketoklegalkan. Toh, citra tidak positif sebagai negara dengan tingkat korupsi tinggi dan kerusakan lingkungan yang cepat masih disandang negeri ini.

Agaknya juga jumlah ratusan perundangan yang dimiliki negeri ini tidak juga membebaskan untuk menjadi negeri yang berkehendak lebih bebas secara konstruktif. Setiap tambahan satu undang-undang seperti menjadi tambahan satu belenggu mata rantai. Alih-alih negeri ini semakin terbebas, malah semakin terbelenggu dengan dirinya sendiri.

Ketika terjadi penggerebekan tindak asusila di hotel dengan tertuduh seorang politikus di Sumatera Barat tempo hari, misalnya, kejadian itu tidak lantas menjadi peristiwa yang melegakan. Yang ada adalah kecurigaan: mengapa digerebek, siapa yang menggerebek, untuk apa digerebek, serta kecurigaan atas adanya banyak motif lain yang menyertai. Betapa terpenjaranya kita.

Seperti tunjangan sangat besar untuk intensif tidak serta-merta menaikkan kualitas pendidikan. Seperti juga benchmarking anggota DPR justru membangun pandangan yang semakin skeptis bahwa itu tidak lebih dari pemborosan anggaran negara.

Apalagi kemudian banyak terungkap bahwa mereka hanya berwisata secara legal dengan fasilitas keuangan negara. Secara gamblang, neraca keuangan negara yang defisit tidak juga menyentil kesadaran. Elias Daniel Mogot (17 tahun) dan Ignatius Slamet Riyadi (22 tahun) yang secara gemilang menjaga negeri ini nyaris hanya menjadi dongeng dari masa lalu.

Setiap lahir aturan baru agaknya adalah hanya menjadi peninggi tembok penjara yang semakin mengasingkan dari hal fundaental yang menjadi landasan hidup bersama yang bernama: kesadaran. Kesadaran adalah kata kunci dari hidup bersama yang berhasil, bukan bejibunnya aturan ini-itu yang diproduksi secara masif.

Banyak hal perlu dibuat lebih sederhana. Seperti ciri orang pandai adalah membuat persolan rumit menjadi lebih sederhana untuk dipecahkan. Sementara orang yang pura-pura pandai membuat persoalan yang sederhana menjadi semakin rumit.

Mengapa kita tidak belajar dari filosofi kerokan yang membuat penderitaan hidup dapat lebih sederhana untuk diselesaikan?

| Puren | 15 Februari 2020 | 18.45 |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun