Mohon tunggu...
Oedin Only
Oedin Only Mohon Tunggu... Administrasi - Pemberdaya dan Petani

Berkeseharian dengan Desa dan Petani | Berutinitas dalam Pemberdayaan Penyuluh, Pelaku Utama dan Pelaku Usaha | Menyenangi Opini, Analisis dan Literasi | Ingin Berfocus Sebagai Penggiat Analisis Politik Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Berkelas Global | Juara I Lomba Blog KPK 2012

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Simbol Ekonomi Petani, Untuk Apa Semestinya?

15 September 2019   14:25 Diperbarui: 15 September 2019   15:03 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari videohive.net

Hampir di banyak desa, khususnya di tempat saya, bangunan rumah beton bukan hal asing dan tabu.  Dan entah prakarsa siapa, bangunan beton sering kali diklaim sebagai simbol ekonomi sebuah keluarga.  Bila rumahnya beton, tanpa persetujuan pemilik, si pemilik dianggap berduit lebih atau mapan.  Bila hal ini menjadi paramater maju atau tidaknya desa, maka banyak desa di tempat saya layak menyandang predikat itu.

Tak hanya terkait bangunan, hal visual lain berupa perhiasan, pakaian, alat transportasi, alat komunikasi warganya, juga dianggap sebagai indikator sejahtera. Bahkan, ada yang beranggapan pula, seringnya makan di warung, bolak balik belanja di kios adalah penilaian ekonomi keluarga itu sukses.  Cara pandang ini banyak menjalari petani di lingkungan saya, entah di lingkungan anda ?

Dan menariknya, kadang hal ini menjadi giat kompetisi ekonomi, hasil panen dan pendapatan usaha ternak yang didapat, sebagian besarnya untuk mencukupi itu atau untuk menjadikan lebih yang sudah diraih, bukan semata aspek manfaat yang dituju, tapi mulai bertambah pada aspek gengsi dan prestise, tapi yang membuat miris catatan hutang dan cicilan bulanan di bank menjadi list pengeluaran rutin yang dianggap wajar.

Rasa iba, seringkali membuat luluh petani dewasa merespon rengek putra putrinya. Pergaulan di sekolah, pertemanan di luar desa, penampakan dan gambaran pendidik, pengaruh iklan dan tayangan TV, turut berkontribusi membentuk persepsi baru tentang gaul, maju dan keren. Dengan rasa iba itu, orang tua berupaya menyenangkan anaknya, membelikan handphone, motor, bahkan pakaian branded, sebagai simbol remaja kekinian, padahal itu tak masuk dalam anggaran pengeluaran di pembukuan.

Bertani sering dianggap sebagai pilihan kalah, dari sekian banyak profesi yang tak mampu diraih. 

Berkebun dianggap pilihan lumrah yang tak perlu sekolahpun orang bisa belajar dan terampil.

Dan bersekolah dianggap sebagai jalan, agar anak-anak petani kelak hidup enak dan nyaman, tak perlu berprofesi petani, jadilah ASN entah guru, penyuluh, polisi, tentara, dan kerja kantoran yang lain, asal bukan petani.

Bertani itu cape, kulit gosong, tubuh bau dan sebagainya pertimbangan yang sengaja atau tidak sering diwariskan turun temurun dan manjur.  Padahal itu gambaran petani dulu, sekarang bertani begitu mudah dan praktis dengan dukungan alat dan mesin pertanian, mulai alat mengolah tanah, tanam, panen, hingga pasca panen semuanya pakai mesin, praktis, cepat, tak capek dan bisa tetap tampil keren.

Tapi persepsi keliru tentang alsintan yang merugikan dan merusak lapangan kerja, lebih dominan ketimbang manfaatnya.  Hingga di beberapa tempat alat itu semata dijadikan pajangan di serambi rumah atau gudang-gudang desa. Padahal bila dimanfaatkan, sangat mendukung untuk berusaha tani.

Adalah wajar bila menjadikan simbol ekonomi sebagai sesuatu yang visual dan terlihat. Dan amatlah wajar pula petani atau siapapun punya hasrat untuk memilikinya. Tapi tentu, amatlah tidak bijak bila upaya atau proses meraihnya justru menempuh cara-cara menyimpang dan membebani.  Amatlah tak arif bila tujuannya semata itu, tak ditindaklanjuti dengan prilaku dan gaya hidup bersahaja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun