Mohon tunggu...
Dewi Pagi
Dewi Pagi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Say it with poems & a piece of cake...| di Kampung Hujan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

September yang Puber

2 September 2015   16:11 Diperbarui: 2 September 2015   16:11 2805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pic from flickr"][/caption]

Selamat petang saudara-saudariku tercinta. Satu bangsa satu tanah Kompasiana. Senja yang cerah. Senja yang indah. Please, jangan genangi senja ini dengan sembarang meludah. Please, jangan lukai senja ini dengan sampah-sampah. Please, jangan membunuh senja ini dengan sumpah serapah.

Tuan dan Nyonya yang terhormat, mohon wajahnya jangan dulu dilipat. Nanti semua terlihat duplikat. Tak elok dilihat. Perkenankan dan perkenalkan...namaku September. Ya. September. Tanpa imbuhan. Tanpa kata depan bulan. Tanpa kata belakang ceria. Cukup September saja.

Aku satu kata yang dirindukan musim kerontang. Satu kata yang dinanti petani saat paceklik enggan hengkang. Satu kata ketika pawang hujan mulai banjir orderan. Satu kata ketika para pecinta...ah, cinta lagi cinta lagi. Ada apa dengan cinta? Kenapa cinta selalu saja ingin ku usik dengan kata-kata?

Ok. Ok. Baiklah. Baiklah. Kembali kepadaku. Kepada si September. Tanpa bulan tanpa ceria. September yang tengan puasa berbedak dan bergincu. September yang khatam kitab rindu. September yang pernah menjodohkan dua hati bertemu. Eh.

Loh, cinta lagi? Maaf maaf, aku kebablasan lagi. Tadi cinta telusuri punggung jemariku. Ia yang menggerakkanku menulis. Sementara aku ingin bercerita kisah yang lain. Yang hangat. Yang Aktual. Yang Happening. Yang tersuguh di atas pinggan anti karat tahan panas.

Baca. Bacalah ini dulu. Beberapa waktu lalu sempat hatiku tersihir sebuah kisah. Syahdan ada derita buruh yang hidupnya konon menderita luar biasa. Memeras keluh atas tak terbeli susu sedang pantat mereka bertelekan pada kendaraan super mahal (angsuran) yang mereka miliki. Mengumbar keluh tingginya harga sebuah penerangan (baca: listrik) padahal jemari sibuk menari di atas smartphone berbanderol lima jeti. Korelasi yang basi. Ironi yang tak pernah mati.

Kemarin, mereka meminjam namaku sebagai waktunya untuk berdemonstrasi (lagi dan lagi). Huh. Dasar hedon minoritas yang selalu mengatasnamakan kaum buruh secara keseluruhan. Melempar batu di atas air yang tenang, lalu ikut mengobok-obok ketika keruh menerjang. Huffft, letihnya berdebat dengan pemuja gaya hidup.

"Hei! Ssst..."

"Ada apa?"

"Jangan kau tulis tentang mereka!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun